Cover Buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita
Judul        : Islamku, Islam Anda, Islam Kita
Penulis     : Abdurrahman Wahid
Penerbit   : Wahid Institute, Jakarta
Cetakan   : I, 2006
Peresensi  : Pekik Nursasongko*

Saya sudah tidak ingat lagi, kapan nama Gus Dur terinternalisasi dalam diri saya. Sejak di pesantren dulu, nama beliau tiba-tiba saja melekat dalam ingatan saya sebagai sosok “dewa” yang dengan lihai menggelitik sosok-sosok lain yang mengaku sebagai dewa.

Saya pernah membayangkan, “Bagaimana jika sosok Gus Dur hadir dalam majlis sidang Wali Songo ketika membahas soal kesesatan ajaran Syekh Siti Jenar?”

Ya, seandainya saja Gus Dur hadir dalam majlis tersebut sambil membawa buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi, sangat mungkin cerita mengenai Syekh Lemah Abang tidak akan berakhir seperti yang banyak ditulis banyak buku. Bagaimana tidak, buku ini mengajak pembacanya untuk merenungi kembali soal Islam dengan prespektif yang sangat “membumi”.

Dengan bahasa yang sederhana, dalam buku “Islamku..”, Gus Dur menolak formalisasi agama untuk mencegah diskriminasi dan penindasan dalam kelas-kelas sosial.

Dan tentu saja sidang para wali tersebut akan mendengarkan tiap ucapan Gus Dur dengan saksama, kemudian merenungkannya dengan kejernihan jiwa.

Terlepas dari setuju atau tidaknya para wali dengan pemikiran Gus Dur, Kanjeng Sunan Kalijaga dan wali-wali lainnya pasti menghargai pemikiran beliau dengan bijaksana.

Tapi sayang, itu hanya andai-andai saya belaka. Sebab, bagaimanapun Gus Dur telah meyelesaikan darma-nya di kehidupan saat ini. Di tengah orang-orang yang enggan untuk mendengarkan ucapan yang hadir dari kedalaman jiwa sang Bapak Pluralisme Indonesia.

Selamat jalan, Gus… Selamat jalan, Sang Guru Bangsa…

*Alumni Pesantren Krapyak Yogyakarta, sekarang bekerja sebagai staf editorial PT Intan Pariwara
K.H. Idham Chalid
K.H. Idham Chalid

Menyebut nama Kiai Idham Chalid, ingatan kita tentu akan melayang pada gonjang-ganjing NU pada tahun 1982-1984, yang melahirkan sekaligus menghadapkan dua kubu tokoh-tokoh nahdliyyin: kubu Cipete dan kubu Situbondo.

Konflik internal NU itu juga yang kemudian membuat Kiai Idham Chalid ianggap kontroversial. Bahkan ia dijuluki “politikus gabus”, karena dianggap tidak memiliki pendirian.

Tak banyak yang mau melihat sisi lain kebijakan-kebijakan Kiai Idham Chalid  yang sebenarnya sangat NU dan sangat Sunni. Sebagai politisi besar NU yang lihai, Kiai Idham Chalid memang memainkan dua lakon berbeda, sebagai politisi dan ulama. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, dan bila perlu kompromistis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel, tapi tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya.

Semua itu ia lakukan sebagai bagian dari upaya kerasnya menjaga stabilitas kalangan bawah nahdliyyin, yang menjadi tanggung jawabnya, agar selamat fisik dan spiritual melewati masa-masa gawat transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yang berdarah-darah.

Strategi politik tersebut dilandaskan pada beberapa prinsip. Di antaranya, luwes, memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi, yang justru membahayakan kepentingan umat. Menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa, demi kemaslahatan umat.

Menurut Kiai Idham Chalid,  NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, daripada berada di luar kekuasaan, yang justru membuat sulit bergerak.

Efek kebijaksanaannya sangat luar biasa. Ia menjadi sangat berakar di kalangan bawah kaum nahdliyyin, terutama di luar Jawa, dan mampu bertahan di kancah perpolitikan tanah air lebih dari tiga dekade. Namun, dalam intrnal nahdliyyin ada anggapan bahwa keterlibatan NU di wilayah politik di bawah kepemimpinannya terlalu besar. Maka, dengan memanfaatkan isu kembali ke khiththah 1926 yang tengah digaungkan kalangan muda NU di Muktamar Situbondo 1984, pihak lawan membuat Idham terjatuh dari kursinya.

Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Ia anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya, H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.

Sejak kecil Kiai Idham Chalid dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR, ia langsung duduk di kelas dua dan bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian berorasi itu kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik.

Selepas SR, Kiai Idham Chalid melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang didirikan oleh Tuan Guru Abdurrasyid, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1922. Kebetulan, saat Idham bersekolah di sana, beberapa guru lulusan Pesantren Gontor, yang terkenal dengan kelebihannya dalam pendidikan bahasa, direkrut untuk membantu mengembangkan pendidikan. Idham, yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan, mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum.

Di mata para siswa dan wali murid, guru-guru alumni Gontor itu sangat hebat. Tak mengherankan, banyak siswa, termasuk Idham, bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang didirikan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Ponorogo, Jawa Timur, itu.

Di Gontor, otak cerdas Idham Chalid lagi-lagi membuat namanya bersinar. Kegiatan favoritnya di pesantren adalah kepanduan, yang kelak ditularkan kepada murid-muridnya di Amuntai dan di Cipete. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.

Tamat dari Gontor, 1943, Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibu kota, kefasihan Kiai Idham Chalid dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.

Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia.

Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan, yang dipimpin Hassan Basry, muridnya saat di Gontor. Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah.

Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai, dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.

Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab Chasbullah berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara.

Dalam Pemilu 1955, NU berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun berikutnya, Kabinet Ali Sastroamijoyo, NU mendapat jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid.

Pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU, menggantikan K.H. Muhammad Dahlan.

Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit Presiden tahun 1959. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.

Pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang, dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam kabinet Ampera, yang dibentuk Presiden Soeharto, ia dipercaya menjabat menteri kesejahteraan rakyat sampai tahun 1970 dan menteri sosial sampai 1971. 
Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP. Dan NU tergabung di dalam PPP.

Idham Chalid menjabat presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua DPR/MPR RI sampai tahun 1977. Jabatan terakhir yang diemban Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung.
M.A. Sahal Mahfudz
K.H. M.A. Sahal Mahfudz

K.H. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah, seluruh kehidupan dan aktivitasnya terkait dengan dunia pesantren, ilmu fiqih, dan pengembangan masyarakat.

Kiai Sahal memang nahdliyyin tulen. Dalam menyikapi berbagai problematik sosial, ia selalu menjunjung tinggi sikap tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (egaliter), yang menjadi ciri khas ulama NU.

Namun, kontribusi pemikirannya yang paling menonjol adalah perhal fiqih sosial kontekstual, yakni bahwa fiqih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan kondisi sosial yang terus berubah. Penampilan Kiai Sahal Mahfudz bersahaja, tenang, dan lugas dalam berbicara tapi tidak terkesan menggurui. Padahal ia adalah nakhoda kapal besar bernama Nahdlatul Ulama dan MUI, yang fatwa-fatwanya sangat berpengaruh.

Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz lahir di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937. Ia putra K.H. Mahfudz Salam, pendiri Pesantren Maslakul Huda, pada tahun 1910. Nasab Mbah Sahal bermuara pada K.H. Ahmad Mutamakin, tokoh legendaris yang diyakini hidup pada abad ke-18, salah seorang waliyullah, penulis kitab tasawuf Serat Cebolek.

Sahal Mahfudz kecil mengaji kepada orangtuanya, sambil bersekolah di Madrasah Diniyyah tingkat ibtidaiyah (1943-1949) dan tingkat tsanawiyah (1950-1953) di lingkungan Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Sambil sekolah di Madrasah Diniyyah, ia juga mengikuti kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).

Tamat MTs, Sahal nyantri di Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur, yang diasuh Kiai Muhajir. Empat tahun kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Di pesantren yang terkenal dengan pendidikan ilmu fiqih itu ia belajar langsung kepada Kiai Zubair. Selain mengaji, ia, yang sudah cukup alim, juga diminta membantu mengajar santri-santri yunior.

Pertengahan tahun 1960, usai menunaikan ibadah haji, Sahal Mahfudz bermukim di Makkah dan belajar kepada Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Tak kurang tiga tahun ia berguru kepada ulama besar Al-Haramain asal Padang itu. Tahun 1963, ia pulang ke tanah air.

Kehadiran ulama muda yang berita kealimannya dalam bidang fiqih sudah mulai tersebar itu segera saja menarik perhatian beberapa lembaga. Sejak 1966 Kiai Sahal diminta mengajar sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi. Puncaknya, sejak 1989, ia dipercaya menjadi rektor di Institut Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Meski hanya belajar di bangku pesantren, sejak muda Kiai Sahal telah menunjukkan bakat menulis. Tradisi yang semakin langka di lingkungan ulama NU. Ratusan risalah atau makalah dan belasan buku telah ditulisnya.

Salah satu karya yang merupakan bukti keandalannya dalam menulis adalah kitab Thariqat al-Hushul (2000), syarah atas kitab Ghayah Al-Wushul, sebuah kitab tentang ushul fiqh karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari. Karena kelebihan tersebut, Kiai Sahal kemudian banyak didekati kalangan media.

Kiprah Kiai Sahal di NU diawali dengan menjadi kahtib Syuriah Partai NU Cabang Pati 1967-1975. Kedalaman ilmunya dan kearifan sikapnya perlahan membawa langkah kaki suami Dra. Hj. Nafisah Sahal itu ke jenjang tertinggi di NU, yakni rais am Syuriah PBNU, untuk periode 1999-2004, dan terpilih lagi di Muktamar Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, untuk periode 2004-2009.

Kiai Sahal sangat teguh dalam menjaga sikap. Saat terpilih menjadi rais am PBNU pada 1999, ia menyampaikan pandangan kenegaraannya bahwa, sejak awal berdirinya NU, warga nahdliyyin berada pada posisi menjaga jarak dengan negara. Karena itu, meski jabatan presiden saat itu diemban oleh K.H. Abdurrahman Wahid, yang juga tokoh NU, Kiai Sahal tetap mempertahankan tradisi tersebut dengan selalu bersikap independen terhadap pemerintah.

Selain di NU, kefaqihan Kiai Sahal juga membawanya ke MUI. Setelah sepuluh tahun memimpin MUI Jawa Tengah, pada tahun 2000 ia terpilih menjadi ketua umum MUI Pusat untuk periode 2000-2005, dan terpilih lagi untuk periode 2005-2010.

K.H. M. Ilyas Ruhiat

Mohamad Ilyas lahir pada 31 Januari 1934. Ia putra pasangan Ajengan Ruhiat dan Siti Aisyah. Ilyas hanya nyantri di Cipasung. Sejak kecil, ia berpembawaan tenang dan sejuk, namun kharisma dan kecerdasannya diakui oleh para ulama di kalangan NU dan non-NU.

K.H. Ilyas memulai kariernya di organisasi NU sejak 1954, terpilih sebagai ketua NU Cabang Tasikmalaya. Saat itu ia merangkap ketua IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) Jawa Barat. Tahun 1985-1989, ia menjadi wakil rais Syuriah NU Jawa Barat.

Tahun 1989, saat muktamar NU di Krapyak, Ilyas terpilih menjadi salah seorang rais Syuriah PBNU. Puncaknya, tahun 1994, pada muktamar ke-29 NU yang berlangsung di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, ia terpilih menjadi rais am PBNU, mendampingi K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai ketua umum PBNU.

Pada saat muktamar NU di Krapyak, K.H. Ilyas menjadi salah satu anggota rais Syuriah PBNU. Kemudian, sejak Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU di Bandar Lampung tahun 1992, ia ditunjuk sebagai pelaksana rais am Syuriah NU, menggantikan Rais Am K.H. Ahmad Siddiq, yang wafat. Kemudian, ia kembali menjadi rais am untuk periode berikutnya, 1994-1999.

K.H. Ilyas menikah dengan Hj. Dedeh Fuadah, dan memiliki tiga anak.

K.H. Muhammad Ilyas Ruhiat, atau kerap disebut “Ajengan Ilyas”, adalah sosok yang sangat santun, lembut, mengayomi, dan menebarkan aura kesejukan. Kepribadiannya mencerminkan tipikal ulama NU sejati: penuh toleransi, bersahaja, dan gandrung pada kedamaian.

Potret kesejukan Kiai Ilyas Ruhiat semakin mengemuka ketika NU diguncang prahara usai Muktamar Cipasung tahun 1994.

Ketika itu perhelatan lima tahunan tersebut berakhir dengan pecahnya kepengurusan PBNU ke dalam dua kubu, pro Gus Dur dan pro Abu Hasan. Bahkan, kelompok kedua itu sempat mengadakan muktamar luar biasa di Asrama Haji Pondok Gede.

Lima tahun kemudian, dengan pendekatannya yang menyejukkan, perlahan warga NU kembali bersatu. Ketika merasa tugasnya untuk menyatukan jam`iyah sudah selesai, bapak tiga anak ini kemudian mengundurkan diri pada Muktamar Lirboyo 1999. Ajengan Ilyas lebih memilih kembali mengajar di pesantrennya di lereng Gunung Galunggung.

Ajengan Ilyas wafat pada Selasa 18 Desember 2007. Pengasuh Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, ini berpulang ke hadirat Allah SWT dalam usia 73 tahun.
K.H. Wahid Hasyim

Gus Wahid, demikian ia biasa disapa, lahir pada Jum’at 1 Juni 1914, dari pasangan K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri NU, dan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas. Ia anak lelaki pertama pasangan tersebut.

Umur 5 tahun, Wahid Hasyim mulai belajar mengaji kepada ayahnya, dan umur tujuh tahun sudah khatam Al-Quran.

Umur l3 tahun, ia masuk pesantren di Siwalan Panji, Sidoarjo, Mojosari, Nganjuk, dan Lirboyo. Setelah itu ia belajar sendiri berbagai ilmu pengetahuan.

Tahun 1932, ketika berumur 18 tahun, ia pergi haji dan bermukim di Tanah Suci selama dua tahun.

Empat tahun sepulang dari Tanah Suci, ia bergabung dengan NU. Di NU ia mulai dari bawah, sekretaris tingkat ranting di Desa Cukir. Namun lompatan panjang terjadi. Tak lama kemudian ia dipercaya menjadi ketua NU cabang Jombang, dan ketika departemen maarif (pendidikan) NU dibuka pada tahun 1940 ia ditunjuk sebagai ketuanya. Sejak itu ia duduk di barisan pengurus PBNU.

Pada umur 25 tahun ia menikah dengan Solichah binti K.H. Bisri Syansuri. Mereka pasangan yang serasi, termasuk dalam dunia politik. Ketika sang suami menjadi menteri, sang istri pun menjadi anggota DPR. Pasangan ini dikaruniai enam anak, empat laki-laki dan dua perempuan.

Bulan Maret 1942, Jepang mendarat. Semua ormas dan orpol Islam dilarang, dan dibentuk MIAI. Kiai Wahid terpilih menjadi ketuanya. Kedudukan itu, belakangan, mengantar dirinya ke pusat perjuangan bangsa Indonesia di zaman Jepang. Ia menjadi anggota Cu Sangi In, kemudian Dokuritsu Zombi Cosakai, hingga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

K.H. Wahid Hasyim adalah salah satu dari sembilan orang yang menandatangani Piagam Jakarta. Sikapnya yang tegas tapi luwes menjadikannya figur yang dapat diterima oleh berbagai kalangan kendati umurnya baru sekitar 30 tahun.

Suksesnya mengintegrasikan kelasykaran golongan Islam ke dalam TRI, dan kemudian TNI, mengantarnya menjadi penasihat Panglima Besar Soedirman hingga terjadi Clash I, pemberontakan PKI Madiun, dan Clash II.

Setelah ayahnya wafat pada 25 Juli 1947, ia mengasuh Pesantren Tebuireng.

Dalam Kabinet Sukiman, ia menjadi menteri agama. Lima kali ia menjadi menteri. Yaitu menteri negara dalam Kabinet Presidentil I (1945), menteri negara dalam Kabinet Syahrir (1946-1947), menteri agama Kabinet RIS (1949- 1950), menteri agama Kabinet Natsir (1950- 1951), dan menteri agama Kabinet Sukiman (1951-1952).

Setelah tidak menjadi menteri, ia aktif dalam Partai NU, yang saat itu baru memisahkan diri dari Partai Masyumi.

Pada 19 April 1953, ia dipanggil ke haribaan Allah SWT dalam suatu kecelakaan lalu lintas di Cimindi, Cimahi, Jawa Barat, dalam usia 39 tahun. Jenazah dimakamkan di Tebuireng, hari itu juga.

Dengan Keppres No. 206/1964 tertanggal 24 Agustus 1964, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional disandangkan kepada K.H. Wahid Hasyim.
K.H. Ahmad Shiddiq
“Ibarat makanan, Pancasila, yang sudah kita kunyah selama 36 tahun, kok sekarang dipersoalkan halal dan haramnya.” Demikian ungkapan K.H. Ahmad Shiddiq mengenai penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, dalam Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo.

NU adalah organisasi Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal, padahal tidak sedikit umat yang menolaknya, apalagi partai Islam. Itulah ketokohan, kemampuan intelektual, dan kapasitas keulamaan Ahmad Shiddiq.

Pujian Presiden Suharto terucap pada tahun 1989 ketika membuka Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta. Sejak itu, di bawah kepemimpinan Ahmad Shiddiq, sebagai rais am, pamor NU semakin terangkat.

Pada Muktamar NU ke-27/1984 di Situbondo, ia berhasil menjadi palang terakhir pemisahan diri yang dilakukan K.H. As`ad Syamsul Arifin terhadap kepemimpinan PBNU hasil Muktamar ke-28. Ia merangkul kembali kiai sesepuh NU yang kharismatis tersebut.

Pada Muktamar NU ke-28 itu ia berhasil menyelamatkan duet dirinya dengan Gus Dur, yang banyak menerima guncangan dari sebagian warga NU sendiri.

Begitu juga mengenai “kembali ke khiththah NU 1926”. Meski bukan satu-satunya perumus, dialah yang disepakati sebagai bintangnya kembali ke khiththah. Pada 1979 ia menyusun pokok-pokok pikiran tentang khiththah Nahdliyah, sebagai sumbangan berharga bagi warga NU.

K.H. Ahmad Shiddiq lahir di Jember tepat seminggu sebelum NU diresmikan berdirinya oleh KH. Hasyim Asy’ari, yaitu 24 Januari 1926. Ayahnya, K.H. M. Siddiq, adalah pendiri Pesantren Ash Shiddiqiyah di Jember. Seusai belajar di Ash-Shiddiqiyah, ia belajar di Pesantren Tebuireng.


Ia diangkat menjadi sekretaris pribadi menteri agama ketika jabatan itu dipercayakan kepada Wahid Hasyim pada 1950. Ketika menjadi ketua Tanfidziyah NU, Abdurrahman Wahid, cucu KH. Hasyim Asy’ari  pun berduet dengannya sebagai rais am PBNU.

Sebelum itu, ia mundur dari DPR hasil Pemilu 1955, karena, “Saya selalu bicara keras soal Nasakom.” Ia hadir kembali sebagai wakil rakyat setelah pemilu Orde Baru pertama, 1971.

Tanggal 23 Januari 1991, K.H. Ahmad Shiddiq berpulang ke rahmatullah pada usia 65 tahun. Sesuai wasiatnya, ia dimakamkan di pemakaman Auliya, Ploso, Kediri, tempat beberapa kyai hafal Al-Quran dikuburkan.
KH. Bisri Syansuri
RUU Perkawinan, yang menyita banyak perhatian umat Islam pada tahun 1974, terselesaikan dan diterima umat Islam salah satunya karena peran besar KH. Bisri Syansuri. Sebagai tokoh utama PPP, ia mengajukan amandemen besar atas RUU yang telah diajukan ke DPR RI. Rancangan tandingan yang dibuat bersama sejumlah ulama itu, setelah mendapat restu dari Majelis Syuro PPP, diperjuangkan di DPR hingga akhirnya disahkan.

Begitu pula ketika ada usaha keras untuk mengganti tanda gambar PPP dari Ka`bah ke bintang pada Pemilu 1977, beliau tampil dominan dan berhasil mempertahankan tanda gambar PPP.

Diakui atau tidak, beliau adalah penerus KH Abdul Wahab Hasbullah, yang kebetulan sahabat karib dan kakak iparnya, baik di NU, PPP, maupun DPR.

Setelah KH Abdul Wahab Hasbullah wafat pada 1971, beliau menggantikan posisi kakak iparnya itu di NU sebagai rais 'am. Tapi memang sejak adanya jabatan rais 'am, yang ditetapkan setelah wafatnya KH Hasyim Asy’ari pada 1947, keduanya menjadi “dwi tunggal” sebagai ketua dan wakil.

KH. Bisri Syansuri, anak nomor tiga dari lima bersaudara pasangan Syansuri dan Maiah, lahir pada 18 September 1886/28 Dzulhijjah 1304 di Tayu, Jawa Tengah, daerah yang kuat memegang tradisi ajaran Islam.

Umur tujuh tahun, beliau belajar agama kepada Kiai Sholeh hingga umur sembilan tahun. Setelah itu beliau empelajari hadits, tafsir, dan bahasa Arab kepada Kiai Abdul Salam, salah seorang familinya yang hafal Al-Quran. Sesudah itu beliau ke Jepara belajar kepada Kiai Syu`aib Sarang dan Kiai Cholil Kasingan.

Umur 15 tahun beliau menuju Bangkalan, Madura, berguru kepada KH.Cholil. Di sinilah beliau  berjumpa dan berteman akrab dengan KH Abdul Wahab Hasbullah.

Dari Bangkalan, beliau menuju Jombang, berguru kepada KH Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Setelah enam tahun, beliau mendapat ijazah untuk mengajarkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad.

Seusai dari Tebuireng, beliau melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Makkah bersama KH Abdul Wahab Hasbullah (1912). Di sana beliau berguru kepada sejumlah ulama terkemuka, seperti K.H. Muhammad Bakir, Syaikh Muhammad Sa`id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, Syaikh Jamal Maliki. Juga kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Syaikh Syu`aib Dagestani, dan Syaikh Mahfudz Termas.

Tahun 1914 beliau mempersunting adik KH Abdul Wahab Hasbullah  Nur Chadijah, di Tanah Suci. Setelah itu, tahun itu juga, Bisri balik ke tanah air dan menetap di Jombang, membantu mertuanya mengurus Pesantren Tambakberas.

Pada 1917, atas bantuan mertua, beliau membuka pesantren sendiri di Desa Denanyar, yang populer dengan sebutan Pesantren Denanyar. Tahun itu pula, kakak iparnya, KH Abdul Wahab Hasbullah  pulang kampung. Bisri ikut terlibat dalam sepak terjang KH Abdul Wahab Hasbullah ketika mendirikan Komite Hijaz dan pembentukan NU pada 31 Januari 1926 di Kertopaten, Surabaya.

Dalam proses pendirian NU, Bisri menjadi penghubung antara KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Hasyim Asy’ari.

Segera setelah NU terbentuk, sebagai pembantu dalam susunan pengurus besar, ia menjadi motor penggerak di Jombang dan daerah pesirir utara Jawa. Posisi itu membuatnya dikenal secara luas.

Rumah tangga Bisri dikaruniai sepuluh anak, tapi ada beberapa yang meninggal waktu kecil. Di antaranya anaknya itu, Solichah, dinikahkan dengan Wahid Hasyim, putra sulung KH Hasyim Asy’ari, gurunya.

Ketika Masyumi terbentuk, beliaupun aktif di dalamnya. Periode kemerdekaan juga membawanya pada fase perjuangan bersenjata. Di pemerintahan, beliau mula-mula duduk di Komite Nasional Indonesia Pusat, mewakili Masyumi. Tahun 1855 beliau terlibat dalam Dewan Konstituante hasil pemilu, mewakili NU. Pada Pemilu 1971 beliau terpilih masuk DPR.

KH. Bisri Syansuri menutup mata beberapa bulan setelah terpilih menjadi rais am NU dalam Muktamar Semarang Juni 1979, tepatnya pada 25 April 1980, dalam usia 94 tahun.

KH. Abdul Wahab Chasbullah
KH. Abdul Wahab Chasbullah lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang. Nasabnya tidak jauh dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dari Kiai Abdus Salam (Siapa dia?).

Ayahnya, Chasbullah, adalah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas. Ibunya, Nyai Lathifah, juga putri kiai kondang (Siapa?).

Pendidikannya dihabiskan di pesantren, mulai dari Pesantren Langitan (Tuban), Mojosari, Nganjuk, di bawah bimbingan Kiai Sholeh, Pesantren Cepoko, Tawangsari (Surabaya), hingga Pesantren Kademangan, Bangkalan (Madura), langsung berguru kepada Mbah Cholil. Kiai Cholil kemudian menganjurkannya belajar ke Pesantren Tebuireng (Jombang).

Pada umur 27, ia pergi ke Makkah dan berguru kepada ulama-ulama besar Indonesia yang bermukim di sana, seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy`ari Bawean. Ia juga belajar kepada tokoh-tokoh besar lain di sana yang bukan orang Indonesia, seperti Syaikh Sa`id Al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened.

Tahun 1921, sewaktu menunaikan ibadah haji bersama istri, sang istri meninggal di Makkah. Kemudian ia menikah dengan Alawiyah binti Alwi. Setelah melahirkan seorang anak, istri kedua ini juga meninggal. Setelah itu ia menikah berturut-turut dengan tiga wanita yang semuanya tidak memberikan keturunan. Empat anak diperolehnya dari istri berikutnya, Asnah binti Kiai Said.

Setelah Asnah meninggal, ia menikah lagi dengan Fatimah binti H. Burhan, seorang janda yang punya anak bernama Syaichu, yang kelak menjadi ketua DPR pada masa Orde Baru. Sesudah itu ia menikah lagi dengan Masnah, dikaruniai seorang anak, lalu dengan Ashikhah binti Kiai Abdul Majid (Bangil), meninggal di Makkah setelah memberinya empat anak, dan yang terakhir dengan Sa`diyah, kakak sang istri, yang mendampinginya sampai akhir hayatnya dan memberinya keturunan lima anak.

Sedikit mundur ke belakang, tahun 1914, ketika berumur 26 tahun, ia mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) bersama K.H. Mas Mansur.

Pada tahun 1916, ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri) di Surabaya. Pengajarnya terdiri dari banyak ulama tradisional muda, seperti K.H. Bisri Syansuri (1886-1980) dan K.H. Abdullah Ubaid (1899-1938), yang di kemudian hari memainkan peranan penting di NU.

Masih pada tahun yang sama, bersama Kiai Hasyim Asy’ari (1871-1947), ia mendirikan koperasi dagang Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) untuk kalangan tradisionalis di kisaran Surabaya-Jombang. Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis, seperti dr. Soetomo.

Sejak 1924, KH. Wahab Chasbullah telah mengusulkan agar dibentuk perhimpunan ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis.

Pada 31 Januari 1926, atas persetujuan Hasyim Asy`ari, ia mengundang para ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya untuk mengesahkan terbentuknya Komite Hijaz, yang akan mengirim delegasi ke kongres di Makkah untuk mempertahankan praktek-praktek keagamaan yang dianut kaum tradisionalis. Pertemuan 15 kiai terkemuka dari Jawa dan Madura itu dilakukan di rumah Wahab Chasbullah di Kertopaten, Surabaya.

Pertemuan tersebut akhirnya juga menghasilkan kesepakatan mendirikan NU, sebagai representasi Islam tradisional, untuk mewakili dan memperkukuh Islam tradisional di Hindia Belanda.

Kemudian, MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia, Dewan Tertinggi Islam di Indonesia), yang terbentuk pada September 1937, juga merupakan gagasan Wahab Chasbullah dan Ahmad Dahlan Kebondalem (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah), dan Wondoamiseno (SI). Federasi organisasi Islam ini bertujuan meningkatkan komunikasi dan kerja sama di antara umat Islam.

Namun kemudian MIAI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuklah Masyumi pada November 1943. Hasyim Asy`ari ditunjuk sebagai ketua umum dan KH. Wahab Chasbullah sebagai penasihat dewan pelaksananya.

Meski Masyumi adalah organisasi non-politik, pada kenyataannya fungsinya setengah politis, dimaksudkan untuk memperkuat dukungan umat Islam terhadap pemerintahan Jepang.

November 1945, Masyumi berubah menjadi parpol. Masyumi menjadi satu-satunya kendaraan politik umat Islam. Hasyim Asy`ari menjadi ketua umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat Keagamaan), Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy`ari, menjadi wakilnya, dan Wahab Chasbullah menjadi anggota dewan.

Selanjutnya, setelah NU menyetujui peran politik bagi Masyumi lewat muktamar di Purwokerto (1946), orang-orang NU tampil di pemerintahan, yakni Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan K.H. Fathurahman Kafrawi. Sedang Wahab Chasbullah menjadi anggota DPA.

Tahun 1947, Wahab Chasbullah menjabat rais am NU.

Benih-benih krisis NU-Masyumi mulai tumbuh pada 1952. Saat itu Wahab Chasbullah menjadi ketua Dewan Syuro. Maka ia sangat gencar mengkampanyekan penarikan diri NU dari Masyumi. Dan secara resmi NU menarik diri dari Masyumi pada 31 Juli 1952. Pada sidang parlemen 17 September 1952, tujuh anggota parlemen dari NU menarik diri dari Masyumi. Di antaranya Wahab Chasbullah, Idham Chalid, Zainul Arifin.

Mereka kemudian membentuk partai sendiri, NU. Akibatnya, Masyumi bukan lagi partai terbesar. “Gelar” itu jatuh ke tangan PNI.

Pada Pemilu 1955, di luar dugaan, NU meraih tempat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak itu kesibukan Wahab Chasbullah lebih banyak pada bidang politik praktis di Jakarta, terutama sebagai anggota parlemen dan rais am NU.

K.H. Wahab Chasbullah wafat tanggal 29 Desember 1971, pada usia 83 tahun, di rumahnya di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang.
Sepeda Tua

Pagi itu, kotaku seperti dilipat. Jalan beraspal bagai ditaburi seberkas sinar kuning keemasan yang jatuh dari selongsong langit. Sekejap, jalanan menjelma menjadi padat. Udara pagi merambatkan kehangatan. Sesekali, bunyi klakson memekakkan telinga. Hampir semua orang di jalan itu bergegas. Serupa sebuah karnaval, penduduk kota seperti berbondong-bondong bak sekawanan burung yang keluar sarang. Tampak, setiap orang yang memadati jalanan seperti dikejar sesosok bayangan hitam; seberkas bayangan yang memanjang dan selalu mengikuti derap langkah kepergian mereka ketika sinar matahari memantul di hamparan aspal.

Di jalan Kajar, jalan kecil di kota mungil yang tak terkenal itu pun mulai ditingkahi lalu lalang sepeda anak-anak sekolah, deru motor para pegawai kantor, mobil pick up yang mengangkut jambu kluthuk dan buah nangka dari gunung, truk yang memuat batu, bahkan derap andong yang merambat pelan mengantar ibu-ibu ke pasar kecamatan, sebuah kota kecil kelahiranku. 

Tapi, tidak semua warga di kota kecil itu sudah bergegas pergi. Di salah satu sudut warung kopi di pinggir jalan itu, aku duduk termangu. Sesekali, aku menatap ke arah jalanan. Ada dua sepeda yang teronggok di depan warung – sepeda onthel tua milik ayah dan sepeda Federal berwarna hijau tua yang akan kami bawa berpetualang. Segumpal resah seperti menimbun keberanianku untuk tidak menoleh lagi tatkala nanti aku menatap aspal jalanan yang cukup panjang dan berkelok yang akan aku tempuh.

Aku memang sudah terbiasa mengayuh sepeda tetapi perjalananku kali ini lain; aku akan menempuh jarak cukup jauh melintasi puluhan kota, ratusan jembatan, dan kerlip lampu merah di setiap perempatan. “Habiskan kopimu. Kita segera berangkat. Keraguan hanya akan membuat kamu tidak akan pernah beranjak pergi,” pinta Yogo, temanku yang akan menemaniku berpetualang kali ini.

Aku terperanjak kaget. Di hadapanku persis, secangkir kopi belum tandas habis kuminum. Segera, kuseruput sisa kopi di cangkir. Sepuluh batang rokok yang sudah kulumuri leletan kopi, tergeletak berjejeran di sebelah cangkirku. Perlahan, aku masukkan sebatang demi sebatang seperti sedia kala dalam bungkus rokok.

“Lagakmu aja sok jagoan! Apa kau sudah siap berpetualang?” tantangku tak mau kalah.
“Tak ada rintangan berat yang perlu untuk ditakuti bagi lelaki yang sedang patah hati,” sumbarnya, seperti tak takut dengan jarak tempuh cukup jauh yang hendak kami lalui. Jarak kurang lebih 250 km dengan mengayuh sepeda onthel.

Aku sadar, kepergianku dengan mengayuh sepeda sudah di pelupuk mata. Aku tak mungkin mundur. Aku tahu, ia juga tak akan mundur lantaran kami berdua seperti tak ingin dikata orang yang takut. Pada akhirnya, kami pun terpaksa harus membuktikan omongan kami yang sudah terlanjur terucap ketika seminggu yang lalu kami berencana tidak berpetualang bersama, melainkan berniat naik bus.

Tetapi rencana itu tiba-tiba berubah dalam sekejap. Rencana berpetualang mengayuh sepeda itu, bermula dari sebuah obrolan kesedihan --yang dialaminya pada malam kelabu seminggu yang lalu. 

“Aku lagi kalut dan dirundung sedih. Sebelum berangkat kuliah aku sebenarnya ingin melepas rindu, maka aku rela jauh-jauh bertandang ke rumah pacarku di Jombang. Maksudku, selain untuk mengobati rasa kangen juga sekaligus pamitan,” ujar Yogo memulai cerita. “Tetapi, malang benar nasibku. Bukan rasa kangenku terobati, justru setelah jauh-jauh menempuh perjalanan ke sana aku tidak bisa bertemu dengan kekasihku.”

Aku diam menunggu ia bercerita lebih jauh.

“Sampai di rumah kekasihku, ayahnya justru yang menerima kedatanganku. Aku diajak duduk. Lama, aku diam... menunggu kekasihku menyambut kedatanganku, tapi tak ada seulas senyum manis kekasihku menyembul dari balik pintu menyambutku. Justru, tak selang lama setelah ayahnya bertanya tentang keluargaku, ayahnya memintaku tak lagi datang menemui anaknya. Alasan yang dikemukakan ayahnya, anak gadisnya sudah dijodohkan dengan seorang tentara yang memiliki masa depan cerah dibandingkan diriku. Seketika itu, hatiku hancur. Siapa yang tak remuk redam mendengar kata-kata ayahnya seperti itu?”

Aku masih diam dirundung empati. Yoga juga diam. Dia sedih dan aku hanyut dengan kisahnya. Kami memang tidak cukup akrab, tidak pernah sekolah di sekolah yang sama. Yogo yang lebih cerdas dariku masuk SMU Negeri 1 Lasem –SMU Negeri di kota kelahiranku. Sedangkan aku yang berotak tumpul, terpaksa terdampar di SMU swasta. Kami seusia dan itu membuat kami kerap dipertemukan dalam sebuah petualangan. Jadi kami hanya teman sepermainan di kala pulang sekolah.

Tetapi, aku tak sanksi, bocah tengil lulusan SMU 1 Jombang yang ada di depanku itu memang tergolong tampan. Wajar jika dia mampu memiliki kekasih yang cantik dan ia pun mencintainya setengah mati. Sewaktu dia belum pindah sekolah ke SMU Jombang, tak sedikit cewek-cewek SMU kota kelahiranku yang menaruh hati padanya. Meski ia tak tergolong tinggi, ia memiliki tubuh atletis dengan rambut lurus yang berkilau. Hidung mancung, dan raut muka bersih yang tanpa jerawat. Siapa cewek yang tak terpesona? Tak bohong, kalau tak selang lama setelah dia pindah sekolah ke Jombang, ia dengan mudah mendapatkan kekasih baru sebab di SMU kota kelahiranku ia kerap gonta-ganti pacar.

Tetapi, sejak dia pindah sekolah ke Jombang itu, kami tak sering bertemu. Hanya sebulan atau dua bulan sekali kami bisa bertemu jika ia kebetulan pulang ke rumah. Dia terpaksa pindah sekolah ke Jombang, karena ia dulu tergolong bebal dan tidak taat pada aturan. Sewaktu sekolah mengadakan ujian kenaikan kelas, ia bersama dua temannya –Wek dan Bahar—kebetulan juga masih tetanggaku membuat ulah yang menghebohkan. Hari itu, kebetulan jadwal ujian matematika tapi sebelum ujian matematika itu dimulai, ketiga murid SMU bebal itu bertaruh di bawah tiang bendera.

Tiga anak SMU bengal itu merogoh uang dari sakunya masing-masing lima ribu rupiah lalu ditaruh di bawah tiang bendera. Perjanjian pun dibuat, siapa yang lebih dulu keluar dari kelas, dialah yang akan berhak mendapatkan uang taruhan itu. Bel ujian pun berdenting. Ketiganya masuk ruang ujian dengan dada berdegup. Tapi Yogo tak pernah peduli dengan nilai berapa pun yang diberikan guru pengampu pelajaran matematika dalam ujian. Tak lama setelah pengawas ujian membagikan soal dan lembar jawaban, Yogo buru-buru mengisi namanya. Ia tidak perlu mengerjakan soal ujian, hanya mengisi namanya dan mengumpulkan kertas lembaran yang masih kosong lalu bergegas keluar ruang ujian untuk mendapatkan uang taruhan lima belas rupiah di bawah tiang bendera.

Tidak mau kalah dan didera panik, Bahar dan Wek ikut-ikutan. Keduanya keluar ruangan. Ketiganya berlari dengan kencang demi mendapatkan “uang taruhan” di bawah tiang bendera. Sekolah pun heboh dengan ulah ketiga murid bengal tersebut, hingga ada keputusan tegas; sekolah akan menaikkan ketiga murid bengal itu dengan syarat pindah sekolah. Yogo memilih pindah ke SMU Jombang sebab itu membuatnya naik kelas. Tapi, Bahar dan Wek memilih tinggal di kelas dua dan tetap bisa sekolah di SMU Negeri 1 kota kelahiranku.

“Aku ingin berpetualang dengan cara yang menantang sebelum aku memutuskan ke Yogyakarta untuk serius kuliah, setidaknya aku ingin melakukan petualangan yang membuatku bisa lupa kesedihanku,” keluh Yogo membuyarkan lamunanku.
“Aku tahu jawaban akan keinginanmu itu!” jawabku tiba-tiba, membuat matanya melotot penasaran.
“Kau jangan bercanda, kali ini aku tidak main-main!”
“Aku juga tidak main-main.”

Ia menunggu jawabanku.

“Bagaimana jika kau dan aku naik sepeda onthel ke Yogyakarta, lagi pula Supri juga minta tolong padaku untuk memaketkan sepedanya. Bagaimana jika kau membawa sepeda Federal Supri dan aku membawa sepeda onthelku?”
“Tantangan petualanganmu aku terima, daripada aku sakit hati seperti ini.”

Obrolan kesedihan itu kemudian membuat kami sepakat naik sepeda menempuh jarak 250 km dari kota kelahiranku ke Yogyakarta. Dan kali ini, kami berdua menikmati secangkir kopi di warung untuk melepas kerinduan terakhir aroma kopi yang mungkin tidak akan kami rasakan lagi dalam waktu cukup lama. 

Aku kembali menatap ke arah jalanan, aroma angit yang sengau dari asap rokok yang dileleti kopi membumbung ke udara meninggalkan aroma ganjil cukup menyengat hidung. Aku tak ingin terkenang aroma sengau leletan kopi di sebatang rokok itu, maka sebelum bergegas pergi untuk merantau ke kota Yogyakarta, aku meluangkan waktu di warung kopi lebih dulu.

Tapi rencana yang telah kami susun tidak akan pernah mematahkan dendam dan kesumat di hati kami. Setelah kami melepaskan rasa kangen terakhir minum kopi, kami berdua siap memanggul tas di punggung yang penuh dengan dendam --pergi mengayuh sepeda dengan jarah cukup jauh.

“Sekarang, saatnya kita harus berangkat, atau kita tak pernah mengukir sejarah dalam hidup kita yang sementara ini,” ajak Yogo seraya mematikan sisa rokoknya yang hampir habis.
“Tak hanya itu, kau juga akan bisa melupakan sedih dan patah hatimu,“ seruku.

Kami berdua kemudian keluar dari warung kopi. Kami berdua meraih sepeda masing-masing, menaiki pedal dan membusungkan dada.

Pagi itu, aku dan Yogo meninggalkan kota kelahiranku dengan mengayuh sepeda. Aku mengayuh sepeda tua –sepeda onthel tua yang dahulu dijadikan oleh ayahku untuk berjualan pakaian ke beberapa pasar kecamatan berdasarkan weton. Kini, sepeda tua itu aku gayuh untuk pergi merantau. Sedang Yogo mengayuh sepeda Federal milik Supri, teman kami yang sedang kuliah di Yogyakarta. Kami berdua mengayuh dengan kencang sepeda masing-masing dan kami tak ingin menoleh; sebab kami memang ingin pergi jauh, jauh seakan-akan kami tak punya rumah untuk kembali pulang. ***

---------------------------------
N. Mursidi / Condet, 2009-2010
*Cerita pendek ini dimuat di koran Minggu Pagi edisi 2 September 2012
Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari

K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa`dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M di Desa Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ia anak ketiga dari 10 bersaudara pasangan Kiai Asy`ari bin Kiai Usman dari Desa Tingkir dan Halimah binti Usman.

Ia lahir dari kalangan elite santri. Ayahnya pendiri Pesantren Keras. Kakek dari pihak ayah, Kiai Usman, pendiri Pesantren Gedang. Buyutnya dari pihak ayah, Kiai Sihah, pendiri Pesantren Tambakberas. Semuanya pesantern itu berada di Jombang.

Sampai umur 13 tahun, K.H. Hasyim belajar kepada orangtuanya sendiri sampai pada taraf menjadi badal atau guru pengganti di Pesantren Keras. Muridnya tak jarang lebih tua dibandingkan dirinya.

Pada umur 15 tahun, ia memulai pengembaraan ilmu ke berbagai pesantren di Jawa dan Madura: Probolinggo (Pesantren Wonokoyo), Tuban (Pesantren Langitan), Bangkalan, Madura (Pesantren Trenggilis dan Pesantren Kademangan), dan Sidoarjo (Pesantren Siwalan Panji).

Pada pengembaraannya yang terakhir itulah, ia, setelah belajar lima tahun dan umurnya telah genap 21 tahun, tepatnya tahun 1891, diambil menantu oleh Kiai Ya`kub, pemimpin Pesantren Siwalan Panji. Ia dinikahkan dengan Khadijah.

Namun, dua tahun kemudian, 1893, saat pasangan ini tengah berada di Makkah, Khadijah meninggal di sana ketika melahirkan Abdullah. Dua bulan kemudian Abdullah pun menyusul ibunya. Kala itu K.H. Hasyim tengah belajar dan bermukim di tanah Hijaz.

Tahun itu juga, K.H. Hasyim pulang ke tanah air. Namun tak lama kemudian, ia kembali ke Makkah bersama adiknya, Anis, untuk dan belajar. Tapi si adik juga meninggal di sana. Namun hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk belajar.

Tahun 1900, ia pulang kampung dan mengajar di pesantren ayahnya. Tiga tahun kemudian, 1903, ia mengajar di Pesantren Kemuring, Kediri, sampai 1906, di tempat mertuanya, Kiai Romli, yang telah menikahkan dirinya dengan putrinya, Nafisah.

Selama di Makkah ia belajar kepada Syaikh Mahfudz dari Termas (w. 1920), ulama Indonesia pertama pakar ilmu hadits yang mengajar kitab hadits Shahih Al-Bukhari di Makkah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci.

Selama hidupnya, K.H. Hasyim menikah tujuh kali. Selain dengan Khadijah dan Nafisah, antara lain ia juga menikahi Nafiqah, dari Siwalan Panji, Masrurah, dari Pesantren Kapurejo, Kediri.

Tahun 1899, 12 Rabi’ul Awwal 1317, ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Lewat pesantren inilah K.H. Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional, yaitu sistem musyawarah, sehingga para santri menjadi kreatif. Ia juga memperkenalkana pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, seperti Bahasa Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi. Bahkan sejak 1926 ditambah dengan Bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia.

Kiai Cholil Bangkalan, gurunya, yang juga dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai Jawa, pun sangat menghormati dirinya. Dan setelah Kiai Cholil wafat, K.H. Hasyim-lah yang dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai.

Menghadapi penjajah Belanda, K.H. Hasyim menjalankan politik non-kooperatif. Banyak fatwanya yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Fatwa yang paling spektakuler adalah fatwa jihad, yaitu, “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.

Dalam paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar K.H. Hasyim adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem madzhab. Paham bermadzhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran Al-Quran dan sunnah secara benar. Pandangan ini erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas muslim yang selama ini disebut Ahlussunnah wal Jama’ah.

Menurut K.H. Hasyim, umat Islam boleh mempelajari selain keempat madzhab yang ada. Namun persoalannya, madzhab yang lain itu tidak banyak memiliki literatur, sehingga mata rantai pemikirannya terputus. Maka, tidak mungkin bisa memahami maksud yang dikandung Al-Quran dan hadits tanpa mempelajari pendapat para ulama besar yang disebut imam madzhab.

NU didirikan antara lain untuk mempertahankan paham bermadzhab, yang ketika itu mendapat serangan gencar dari kalangan yang anti-madzhab.

K.H. Hasyim wafat pada 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947 pada usia 76 tahun.
11 Jumadil Tsani 1235 H - 29 Ramadhan 1343 H 
KH.Cholil adalah Waliyullah yang sangat mempunyai pengaruh paling besar pada saat sebelum hingga awal berdirnya Nahdaltul Ulama. Hal ini terjadi sebab banyak santri-santri yang menjadi pengasuh pondok pesantren besar di Indonesia dan Tokoh-tokoh di NU pada awal berdirinya berguru kepada beliau. Dalam catatan sejarah, Tokoh-tokoh pendiri NU adalah alumni dari pondok pesantren yang diasuh oleh beliau.

Kyai Cholil terlahir pada tanggal 11 Jumadil Tsani 1235 Hijriah di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, yang terletak di ujung barat pulau Madura, Propinsi Jawa Timur.

Sejak kecil, Beliau mendapatkan pendidikan Agama langsung dari orang tua secara ketat. Kyai Cholil sejak kecil memang sudah mempunyai sifat-sifat sebagai calon ulama yang berpengaruh besar. Diantara keistimewaan beliau adalah kehausan akan ilmu, terutama dalam bidang ilmu Fiqh dan Ilmu Nahwu ( Ilmu tata bahasa Arab). Beliau sudah hafal kitab Alfiyah, yang menjelaskan tata bahasa arab ketika masih muda.

Karena keinginan orang tuanya yang sangat kuat untuk mendidik anaknya menjadi ulama, kemudian pada sekitar tahun 1850 an, Kiyai kholil menuntuk ilmu sebagai santri di Pondok pesantren Langitan, Kabupaten Tuban yang di asuh oleh KH Muhammad Nur. Setelah merasa cukup, kemudian Kyai Cholil lanjutkan nyantri di Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Setelah itu kemudian, beliau pindah ke Pondok Pesantren Kebon Candi,Pasuruan dan juga nyantri di tempat Kiai Nur Hasan yang masih termasuk familinya di Sidogiri.

Sejak beliau menjadi pengasuh pondok pesantren di Bangkalan, Madura, banyak pemimpin umat dan bangsa yang banyak di persiapkan oleh beliau. Diantara kiai-kiai tersebut adalah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang, pendiri NU, kakek Gusdur), KH. Abdul Wahab Hasbullah (pendiri Pondok Pesantern Tambak Beras Jombang dan Pendiri NU), KH. Bisri Syansuri (Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan pendiri NU), KH Ma’shum (Pendiri Pondok pesantren Lasem, Rembang), KH Bisri Musthofa ( Pendiri Pondok pesantren Rembang dan Pengarang Kitab) dan masih banyak yang lainya. Kiai Cholil adalah seorang alim dalam Ilmu Nahwu, Fiqh dan tarekat. Beliau juga di kenal hafal al-qur’an dan menguasai segala ilmunya. Termasuk seni baca Al-qur’an tujuh macam (Qiroah sab’ah). Selain kelebihan tersebut, beliau juga mempunyai kemampuan pada hal-hal yang tidak kasat mata (tidak dapat di lihat). Sebab keleibahn tersebut, umat Islam Indonesia meyakini beliau adalah Waliyullah.

Kyai Cholil wafat pada 29 Ramadhan 1243 H pada usia 91 tahun karena usia lanjut. Jejak dan langkahnya kini tetap menjadi monumen pada pejuang penerus dan pengikutnya. Di Indonesia kini ada 6000 lebih pondok pesantren yang sebagian besar mempunyai hubungan budaya dengan NU.

CERITA-CERITA TENTANG KH. CHOLIL

1. Membaca yasin berkali-kali

Pada saat beliau masih menuntut ilmu di pondok pesantren kebon candi dan belajar di KH Nur Hasan harus dilakukan dengan cara tidak menetap, atau kalau dalam dunia santri di sebut santri kalong. Jarak antara pondok Kobon Candi dan Rumah Kiai Nur Hasan sekitar 7 km. selama perjalanan itu, beliau sambil membaca surat yasin sampai tamat berkali-kali.

2. Makan gratis

Kyai Cholil muda adalah sosok pemuda yang mandiri. Pada saat itu, dirinya ingin melanjutkan menuntut ilmu ke Makkah, Arab Saudi. Tetapi tidak ingin meminta biayanya kepada orang tua. Untuk mewujudkan hal tersebut, Kyai Cholil sebelum berangkat ke Makkah terlebih dahulu ngaji di pondok pesantren Banyuwangi. Di pondok tersebut, beliau juga bekerja di kebun pengasuh pondok. Dengan bekerja di kebun sebagai pemetik buah kelapa, beliau di bayar 2,5 sen setiap pohon kelapa. Dengan penghasilan tersebut, uang yang didapatkannya di tabung untuk biaya menuntut ilmu ke makkah. Selain itu, untuk makan sehari-hari, beliau menjadi khodim di dalem pondok pesantren dengan mengisi bak mandi, mencuci pakaian dan melakukan pekerjaan yang lain. selain itu, Kyai Cholil juga menjadi juru masak bagi teman-temannya, dengan seperti itu dirinya bisa mendapatkan makan dengan gratis.

3. Hati-hati ada macan

Pada suatu hari di bulan syawal, Kyai Cholil memanggil semua santri, kemudian beliau mengatakan;
“Santri-santri sekalian.!! Untuk saat ini kalian harus memperketat penjagaan pondok. Karena tidak lama lagi, akan ada macan masuk kepondok kita”.
Sejak itu, setiap hari semua santri melakukan penjagaan yang ketat di pondok pesantren. Hal ini dilakukan karena di dekat pondok pesantren ada hutan yang konon angker dan berbahaya, sehingga kuatir jika yang di maksud macan akan muncul dari hutan tersebut. Setelah beberapa hari ternyata macan yang di tunggu-tunggu tidak juga muncul juga, sampai akhirnya sampai di minggu ke tiga sampai juga belum muncul.

Setelah masuk di minggu ke 3, Kyai Cholil memerintahkan santri-santri untuk berjaga-jaga ketika ada pemuda kurus, tidak terlalu tinggi dan membawa tas koper seng masuk ke komplek pondok pesantren.

Begitu sampai di depan rumah Kyai Cholil mengucapkan salam “ Assalamu’alaikum” ucap pemuda tersebut. Mendengar salam pemuda tersebut, Kyai Cholil justru malah berteriak memanggil santri-santrinya. “ Hai santri-santri, ada macan..macan ayo kita kepung, jangan sampai masuk kepondok” teriak Kyai Cholil  Mendengar teriakan Kyai Cholil  serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir pemuda tersebut yang dianggap Macan. Para santri yang sudah membawa pedang, celurit, tongkat, dan apa saja mengerubuti “macan” yang tidak lain adalah pemuda tersebut. Muka pemuda tersebut menjadi pucat pasi ketakutan. Karena tidak ada jalan lain, akhirnya pemuda tersebut lari meninggalakn komplek pondok tersebut.

Karena tingginya semangat untuk nyantri ke pondok yang diasuh oleh Kyai Cholil  keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Meskipun begitu, dirinya tetap memperoleh perlakuan yang sama seperti sebelumnya. Karena rasa takut dan kelelahan akhirnya pemuda tersebut tidur di bawah kentongan yang ada di mussola pondok pesantren. Ketika tengah malam, dirinya di bangunkan dan dimarah-marahi oleh Kyai Cholil. Namun demikian, setelah itu dirinya diajak oleh Kyai Cholil kerumah dan dinyatakan sebagai salah satu santri dari pondok yang beliau pimpin. Sejak itu, remaja tersebut sebagai santri pondok. Pemuda yang dimaksud diatas adalah Abdul wahab atau Abdul Wahab Hasbullah yang menjadi salah satu pendiri NU. Ternyata apa yang dikatakan oleh Kyai Cholil  akhirnya Abdul Wahab Hasbullah benar-benar menjadi “ Macan” NU

4. Minta didoakan cepat kaya

Pada suatu waktu, Kyai Cholil mempunyai tamu yang berasal dari keturunan tionghoa yang terkenal dengan panggilan Koh Bun Fat, datang untuk keperluan pribadinya. “Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya, karena aku sudah bosan hidup miskin”. Kata Koh Fat yang sedang miskin. Setelah mendengar niat tamunya tersebut, Kyai Cholil meminta Koh Bun Fat untuk mendekat. Setelah mendekat, Kyai Cholil memegang kepala Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat sambil mengucapkan. “Saatu lisanatan, Howang-howang, Howing-Howing. Pak uwang huwang nuwang. Tur kecetur salang kecetur, sugih.. sugih..sugih!”. Saat itu diucapkan oleh Kyai Cholil  tidak ada satupun yang ada memahami makna apa yang diucapkan oleh Kyai Cholil  Namun, dengan kata tanpa makna itu, Koh Bun Fat justru beerubah menjadi pengusaha Tionghoa yang kaya raya.

5. Pintu Rusak

Pada masa penjajahan, ada beberapa pejuang jawa yang bersembunyi di komplek pesantren Demangan. Ternyata hal itu diketahui oleh penjajah belanda, sehingga mengirim tentara untuk memeriksa pondok tersebut. Tetapi karena tidak menemukan para pejuang tersebut, Akhirnya mereka menangkap Kyai Cholil  Belanda berharap dengan seperti itu, para pejuang jawa akan menyerahkan diri. Tetapi yang terjadi malah membingungkan belanda karena banyaknya kejadian yang terjadi terkesan aneh dan ganjil. Mula-mula, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup, Ketika Kyai Cholil di masukan ketahanan. Hal ini membuat tentara belanda harus berjaga siang dan malam agar tahanan tidak kabur. Hari-hari selanjutnya, ribuan orang dari Madura dan jawa mengunjungi Kyai Cholil dengan membawakan makanan. Kejadian tersebut tentu membuat belanda pusing, akhirnya belanda membuat peraturan dilarang mengunjungi Kyai Cholil  Ternyata peraturan tersebut tidak menyelesaikan masalah, karena mereka yang datang akhirnya berkerumun di sekitar rumah tahanan, bahkan ada yang meminta untuk ditahan bersama Kyai Cholil  Karena tidak ingin pusing dan masalah menjadi besar, akhirnya Kyai Cholil di bebaskan tanpa syarat apapun.

6. Tongkat Dan Tasbih Ajaib

Berkaitan dengan cerita Kyai Cholil soal tongkat ajaib, kejadian ini berkaitan langsung dengan sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).

Pada saat itu, Kiai Wahab Hasbulah dalam berbagai kesempatan selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan jam’iayah atau organisasi. Sebenarnya semenjak ide tersebut disosialisasikan, tidak ada masalah yang menghalangi kecuali restu dari KH Hasym Asy’ary. Karena beliau adalah guru dari Kiai Wahab sehingga dirinya merasa perlu mendapatkan restu langsung. Ketika gagasan tersebut dsampaikan, ternyata tidak langsung di setujui. KH. Hasyim Asy’ari perlu berhari-hari dan bulan untuk melakukan sholat Istikharah memohon petunjuk dari Allah, namun harapan itu tidak kunjung datang.

Kyai Cholil sebagai guru KH. Hasyim Asy’ari mengamati kondisi tersebut. Kemudian beliau mengutus seorang santri yang juga masih cucunya sendiri, As’ad untuk menghadapnya.

“Saat ini KH. Hasyim Asy’ari sedang resah, oleh karena itu, antar dan berikan lah tongkat ini kepadanya” Kata Kyai Cholil sambil memberikan tongkat yang dimaksud. “dan jangan lupa bacakan ayat ini surat thoha As’ad.

Setelah itu, As’ad kemudian pergi ke Jombang untuk menyampaikan pesan yang di bawanya serta menyampaikan tongkat. Hari berganti bulan dan bersama perjalanan waktu, organisasi yang sudah dirintis oleh Kiai wahab belum juga terbentuk, sehingga Kyai Cholil mengutus As’ad yang kedua kali dengan membawakan tasbih dan meminta KH. Hasyim Asy’ari untuk mengamalkan Asmaul Husna yang berbuyi “Ya-Jabbar- Ya Qohhar”.

Setelah berjuang di bantu oleh kiai-kiai lain, akhirnya nahdlatul Ulama berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926, atau tepat 1 tahun setelah KH Cholil wafat yang jatuh pada tanggal 29 Romadhon 1343 H. *Rah BsQy
Cover Buku Sufi Ndeso vs Wahabi Kota
Judul: Sufi “Ndeso” Vs. Wahabi Kota, Sebuah Kisah Perseteruan Tradisi Islam Nusantara
Penulis: Agus Sunyoto
Penerbit: NouraBooks, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2012
Tebal: 277 halaman
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*

Tradisi khas Islam Indonesia macam tahlilan, peringatan hari kematian, peringatan Maulid Nabi, talqin mayit dan haul dalam kurun waktu belakangan ini ramai-ramai digugat. Bid’ah jadi kosakata lazim guna melabeli laku yang sudah mendarah daging sejak ratusan tahun silam itu. Model pemahaman keislaman mereka yang menggugat –buku ini menyebut Wahabi- adalah model tekstual dan kaku. Baginya, tradisi-tradisi itu tidak ada dalilnya baik dari Alquran maupun hadis.

Tudingan di atas adalah tudingan sepihak dan alpa sejarah. Buku ini memaparkan secara gamblang ihwal sejarah manis dan damainya masuknya Islam ke Indonesia melalui pendekatan budaya. Sejatinya Islam dapat berkelindan dengan budaya Nusantara. Jalinan itu menghasilkan nilai positif dengan lahirnya budaya baru tanpa meninggalkan esensi dari budaya lama. Dengan begitu, wajah Islam di Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri. Pun, Islam nyatanya  mampu bertegur sapa dan saling mengisi dengan budaya lokal.

Pola penyebaran Islam di Indonesia sudah maklum diketahui sebagai penyebaran tanpa genangan darah dan sabetan pedang. Penyebar Islam merupakan para pedagang asal Arab, Persia, dan India. Interaksi para pedagang asing itu dengan masyarakat Indonesia berkembang menjadi perbincangan keimanan. Ajaran Islam menurut Agus cepat berkembang salah satunya dikarenakan ada kesamaan pandangan terutama dalam ranah tasawuf. Namun, sejarawan memberikan tambahan sejumlah teori seperti melalui jalur pendidikan, pernikahan, kesenian, dan politik.

Kredit poin penyebar Islam tempo dulu adalah kecerdasan mereka dalam menghadapi situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Pendekatan budaya semisal wayang atau arsitektur menara masjid berbentuk candi merupakan bukti bahwa Islam tidak antipati terhadap budaya yang terlebih dahulu eksis.

Inilah win-win solution ala penyebar Islam tempo dulu dalam mengompromikan agama dengan budaya lokal. Lebih lanjut dieliminasinya istilah-istilah ritual agama berbahasa Arab yang kemudian diganti dengan bahasa Jawa seperti salat diganti sembahyang, shaum diganti upawasa, khitan diganti selam sekali lagi juga menunjukkan bahwa ajaran Islam mampu bersinergi dengan kebudayaan (bahasa) lokal.

Tanpa bermaksud mengadu domba, buku ini hanya menyajikan realitas kekinian mengenai suatu kelompok yang membuat gugatan-gugatan terhadap tradisi Islam di Indonesia yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip kelompok ini adalah melarang semua perbuatan kecuali ada dalilnya dari Alquran maupun hadis. Sebaliknya, pelaku tradisi itu juga berlandaskan pada prinsip kebolehan untuk melakukan semua perbuatan kecuali ada dalil Alquran dan hadis yang melarangnya.

Ada dua contoh yang dipaparkan Agus Sunyoto terkait kritik dari Wahabi. Pertama, soal menggelar acara peringatan kematian 7, 40, 100, 1000 hari. Wahabi mengatakan tradisi itu sebagai warisan ajaran Hindu yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Indonesia. Agus lalu menunjuk hidung. Wahabi di sini ia arahkan kepada buku karangan Makhrus Ali yang menggugat tradisi tahlilan, istigatsah, dan ziarah para wali. Agus sebagai salah seorang peneliti sejarah Islam Nusantara tak segan-segan melibas argumen Makhrus tersebut sebagai kengawuran.

Agus berujar bahwa tradisi acara peringatan kematian itu bukanlah mengadopsi dari ajaran Hindu. Bahkan Hindu tidak mengenal tradisi itu. Justru tradisi itu adalah hasil pengadopsian dari amalan Syi’ah yang dibawa oleh penyebar Islam dari Campa ke Indonesia. Jadi, Agus ingin mengatakan bahwa Wahabi buta sejarah, asal bicara tanpa berlandaskan fakta.

Kedua, kekurangsukaan Wahabi terhadap obat medis yang dianggap tidak islami dan mempunyai efek samping karena terdiri dari zat-zat kimia. Sedangkan pengobatan herbal dan bekam diklaim sebagai pengobatan islami. Agus kembali meluruskan pandangan keliru itu. Dikatakan baik obat herbal maupun medis masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Metode pengobatan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tendensi pada agama tertentu.

*Pencinta buku, kelahiran Kudus
Sumber : nu.or.id