Ilmu Menunggu Dan Berharap

Menunggu

Ini selalu saja menjadi pertanyaan banyak orang. Bagaimana sebaiknya menunggu sesuatu? Bagaimana berharap sesuatu? Apa yang harus dilakukan saat menunggu? Apa yang harus dikerjakan saat berharap? Bagaimana kalau ternyata hasilnya sia-sia, mengecewakan?

Saya tidak punya jawaban pastinya; tulisan ini hanya menawarkan beberapa konsep atau pemikiran yang mungkin bisa digunakan sebagai penjelasan, lantas membentuk pemahaman baik. Saya selalu menyukai pendekatan ini, temukan beberapa pemikirannya, jadikan dia kaki-kaki pondasi, lantas baru bangun pemahaman yang kokoh. 

Setidaknya ada tiga poin pemikiran dalam mengelola proses menunggu dan berharap. Here we go:


1. Kita tidak pernah tahu mana yang baik, mana yang buruk.


Ini pondasi paling mendasar. Ditegaskan berkali-kali dalam banyak rujukan. Tapi Bang Tere, saya ingin sekolah di situ, ingin kuliah di sana, saya ingin dia jadi jodoh saya, ingin pekerjaan itu, ingin hasil tersebut. Well, itu manusiawi, namanya juga keinginan. Namun sungguh, kita tidak pernah tahu mana yang baik, mana yang buruk. Bahkan dalam kasus ekstrem, kita harus berangkat naik pesawat, menjenguk Ibu di kampung halaman, sudah menunggu lama, pesawatnya delay, sudah ditunggu lebih lama lagi, pesawatnya malah cancel. Secara kasat mata, berangkat naik pesawat, menjenguk Ibu, itu baik buat kita. Tapi apakah demikian? Belum tentu. Boleh jadi delay-cancel tersebut menyelamatkan nyawa kita, karena di perjalanan ternyata terjadi bencana. 

Nah, apalagi dalam urusan menunggu jodoh misalnya, berharap pada seseorang. Mau dia tampan pol macam anggota boyband, baik hati maksimal seperti Poh si kungfu panda, kaya, dsbgnya, dstnya, kita tidak pernah tahu mana yang baik, mana yang buruk. Boleh jadi pernikahan tersebut malah berantakan, kacau balau.

Pun sebaliknya, untuk hal-hal buruk yang tidak kita harapkan. Kita sudah berharap habis2an lulus kuliah di sebuah kampus; sudah menunggu pengumuman, ternyata tidak diterima. Sedih? Marah? Ayolah, siapa yang bilang tidak diterimanya kita tersebut berarti kabar buruk? Kita saja yang mendefinisikannya demikian. Apalagi saat ujian PNS, teman2 di terima, kita tidak, siapa bilang itu kabar buruk? Kita tidak pernah tahu mana yang baik, mana yang buruk. Pondasi ini harus dalam sekali, tidak bisa digoyah-goyah oleh urusan kecil.


2. Bukan hasilnya, tapi prosesnya.


Nah, pondasi pemikiran kedua adalah: selalu pentingkan prosesnya. Bukan hasilnya. Bicara tentang proses, maka jelas dia melingkupi dari awal hingga akhir. Ujung ke ujung. Ketika orang hanya fokus ke hasil akhir, mudah sekali dia akan kecewa. Menyalahkan orang lain. Tapi saat dia fokus ke prosesnya, kalaupun kecewa, ya tidak terlalu amat.

Kita sudah belajar mati2an untuk lulus SNMPTN, gagal. Nah, lihat prosesnya. Kita sudah belajar; boleh jadi ilmu tersebut berguna untuk tes di kampus lain yang ternyata lebih baik. Kita sudah menunggu bertahun2 seseorang, lihat prosesnya, apa yang kita lakukan saat menunggu? Tidak akan kecewa kalau kita menggunakan seluruh waktu tersebut untuk terus memperbaiki diri. Toh hasil tersebut juga kita tidak tahu baik atau buruk; tapi dengan proses yang dijalani dengan baik hingga ke ujung, kita masih punya sesuatu.


3. Berharaplah kepada yang maha tempat semua pengharapan bermuara.


Pondasi pemikiran ketiga yang melengkapi kaki-kaki konsep ini adalah kepada siapa kita berharap? Kepada siapa kita menambatkan proses menunggu tersebut? Saya tidak akan panjang lebar membahasnya, silahkan direnungkan dengan panjang lebar saja. Baca berulang2 kalimat ini, sambil memejamkan mata: Berharaplah kepada yang maha tempat semua pengharapan bermuara.

Dengan ketiga pondasi ini, maka pertanyaannya sekarang adalah apakah kita perlu jawaban bagaimana menunggu dan berharap yang baik? Saya rasa tidak. Kuasai tiga pondasinya, maka dengan sendirinya akan tumbuh pemahaman baik yang kokoh. 


-Tere Liye Note's-