Sepasang Mata yang Melihat Surga

Akhirnya, aku pulang. Nasib ibu, kali ini benar-benar tidak bisa membuatku tenang. Aku merasakan gagang telepon seperti mengambang dan masih menempel di telingaku. Telepon dari kakakku, pada malam itu, membuatku gemetar.

"Ibu tak lagi bisa menerawang. Bahkan, Ibu tidak lagi bisa membedakan antara uang dan kain rombengan. Jika kau tak ingin tangan Ibu tertusuk jarum atau jatuh, pulanglah walau sejenak. Aku ingin kau yang memutuskan...," kata kakakku dalam pembicaraan lewat telepon.

"Jika keadaan Ibu sudah seperti itu, besok pagi aku akan pulang," jawabku sebelum menutup telepon.

Dalam perjalanan pulang, tak henti-henti aku merenung. Apa ibu sudah buta?

Setelah menempuh perjalanan dua belas jam, aku tiba di kampungku tepat petang hari. Aku melewati lorong sempit, gang kecil yang dulu jadi tempatku bermain, sebelum sampai di rumah mungil yang teronggok di ujung gang, rumah warisan mendiang ayah. Ketika aku menginjakkan kaki di beranda, kucium sekelebat kenangan masa lalu. Pintu rumahku terbuka setengah. Aku masuk dengan langkah setengah letih.

Aku melihat ibu duduk di kursi ruang tengah. Kaca mata tebal yang sudah hampir sepuluh tahun dikenakan Ibu masih menempel gagah, tepat di depan mata ibu. Kaca mata tebal itulah yang selama ini membantu ibu bisa melihat. Sebab, ibu sejak kecil memang sudah minus. Tetapi kali ini bola mata ibu menerawang
jauh. Aku mendekati ibu, mencium lembut tangannya.

"Kau ini siapa?" Sebuah suara serak keluar dari bibir ibu, membuatku tercekat.

Aku diam, memandang mata ibuku dengan tajam. Dalam hati, aku kembali merenung; apakah ibu sudah buta? Tetapi, tak mungkin aku mengucapkan kata yang tak enak didengar itu.

"Apa Ibu sudah lupa dan tak lagi mengenal suaraku?"
"Ya, Tuhan..." Tangan ibu mengusap-usap rambutku. "Kamu akhirnya pulang."

Tak ada lagi kilatan cahaya yang memancar dari mata ibu. Mata ibu keruh, serupa warna limbah prabrik yang mengenangi aliran sungai di belakang kontrakanku di Jakarta.

Kakakku keluar dari kamar, setelah mendengar ibu berbicara denganku. Ia menjabat tanganku dan aku sudah membuat keputusan. "Ibu harus menjalani operasi. Aku ingin ibu bisa melihat kembali."

"Tidak usah, Nak. Ibu sudah tua. Tak ada gunanya kau membuang-buang uang untuk membiayai operasi ibu."
"Tidak, Bu. Ibu harus bisa melihat lagi. Itulah kebahagianku sebagai anak. Aku bahagia jika ibu bisa melihat lagi. Aku bahagia ketika ibu bisa melihatku pulang dan tersenyum menyambutku."
"Tetapi, ibu tak ingin menyusahkanmu."
"Aku tidak akan pernah merasa disusahkan. Kalau ibu tidak memberiku kesempatan kali ini untuk membalas jasa kebaikan ibu selama ini kepadaku, kapan lagi aku akan bisa membalas ibu?"

Ibu diam lama, seperti berpikir. Dan aku sudah memutuskan akan melakukan apa pun demi penglihatan ibu. Bukankah surgaku itu ada di telapak kaki ibu? Bagaimana aku akan bisa masuk surga jika aku tidak berkorban untuk ibu.

"Ibu harus menjalani operasi!" ujarku.

Ibu masih diam.

"Ibu tak boleh pasrah begitu saja. Ibu harus berusaha. Dan kini..., ibu tidak usah lagi memikirkan yang lain. Ibu harus operasi!" kakakku ikut menyakinkan ibu.

Ibu luluh, mengangguk pelan.

***

DULU, waktu aku masih duduk di bangku kelas enam SD, ibu sebenarnya pernah menjalani operasi mata akibat katarak. Bahkan katarak yang diderita ibu tergolong kritis. Ibu hampir tidak bisa melihat. Tetapi ketika itu tidak ada kendala bagi keluarga kami karena ayahku saat itu masih hidup. Akhirnya ayah memaksa ibu menjalani operasi di kota propinsi. Operasi yang dijalani ibu saat itu masih dengan teknik lama, karena lensa ibu diangkat untuk pengambilan katarak dan bola mata ibu kemudian dijahit.

Ibu butuh waktu yang cukup lama untuk kembali pulih, tidak saja agar bisa melihat lagi tetapi juga butuh banyak waktu istirahat selepas menjalani operasi. Ibu tidak diizinkan memasak untuk menghindari kepulan asap. Ibu juga dilarang mengangkat barang berat, bahkan tak diizinkan mengerjakan apa pun. "Kalian harus mandiri! Sebab ibumu tak diizinkan dokter melakukan apa pun!" alasan ayah saat ibu tak lagi memasak untuk kami.

Di saat ibu menjalani masa pemulihan itulah, aku dan kakakku belajar memasak. Kadang kakakku memasak sayur asam, aku memasak mie instan dan ayahku baru memasak untuk kami sekeluarga sepulang dari kerja. Ayahku sebagai pedagang keliling kerap berangkat kerja pada saat fajar menyingsing dan baru pulang selepas Dhuhur. Itulah masa-masa setengah sulit bagi keluarga kami. Tatkala aku harus mengerjakan Pekerjaan Rumah, aku tidak bisa meminta bantuan ibu. Dengan sabar aku harus bisa menerima kenyataan jika ibu belum bisa membaca pekerjaan rumahku, apalagi di malam hari.

Aku pernah diajak ayah untuk mengantarkan ibu kontrol. Di sebuah ruangan, dokter yang menangani ibu melakukan pengetesan dengan meminta ibu membaca huruf di dinding rumah sakit yang dinyalakan. Huruf yang menyala itulah yang harus disebutkan oleh ibu. Setelah melewati dengan sukses, ibu akhirnya dinyatakan pulih. Aku tahu, ibu waktu itu mengalami ketakutan luar biasa. Ibu takut jika operasi yang dijalani itu gagal dan ibu tak bisa melihat. Tapi ibu masih bisa melihat kembali. Meski demikian, ibu masih menyimpan kenangan ketika dokter sempat berkata kalau mata ibu suatu saat nanti bisa kembali mengalami hal serupa, setidaknya mata yang sebelah.

Bertahun-tahun, ibu memendam kenangan itu. Hingga ayah meninggal, dan dengan terpaksa ibu membesarkanku dan kakakku seorang diri. Aku kemudian bisa kerja di Jakarta, tapi kakakku tinggal di rumah menemani ibu. Kini, apa yang dulu ditakutkan ibu menjadi kenyataan. Mata ibu yang sebelah mulai berair, kerap silau tatkala terkena sinar dan tidak lagi bisa melihat dengan jelas. Padahal, mata ibu yang dulu pernah operasi nyaris sudah tak bisa melihat.

Tatkala aku mengantar ibu untuk menjalani operasi, dokter yang menangani ibu sempat diam setelah memeriksa mata ibu. Lama, dokter itu tak kunjung memberi jawaban. Aku melihat, dokter yang sudah setengah tua yang duduk di depanku itu seperti berat berkata dengan jujur.

"Apa pun yang terjadi pada ibu, aku akan berusaha untuk membuatnya pulih lagi. Jadi, apa sebenarnya yang menjadi kendala bagi dokter untuk melakukan operasi?"
"Tidak ada yang jadi kendala," dokter itu berkata dengan suara tenang seolah tidak memendam sesuatu. "hanya saja, operasi kali ini butuh kecermatan yang akurat sebab mata ibu Anda tergolong kritis dan agak lain. Jika sekadar katarak ringan, bisa operasi dengan sayatan kecil yang tak butuh waktu sampai sepuluh menit. Tapi, kali ini di dalam bola mata ibu Anda, seperti ada benda yang aneh."

Aku memandang bola mata dokter itu tanpa berkedip.

"Pasti Anda ingin bertanya benda apa itu? Jujur, aku tak mampu mengatakan benda itu seperti apa. Bentuknya bulat seperti batu mutiara tetapi memancarkan cahaya kehijauan..."
"Dokter ini mengada-ngada atau serius?"
"Di dunia ini, tidak ada dokter yang tidak serius. Jika dokter tidak serius, ia tidak pantas menjadi dokter. Ia lebih pantas jadi pelawak."

Aku sempat ingin tersenyum tetapi raut muka dokter itu membuatku tercenung. Apa yang dikatakan dokter itu benar? Ah, aku tak yakin. Tapi, aku mendesak dokter itu segera melakukan operasi kalau prosedur yang dijalani sudah memungkinkan ibu masuk ruang operasi.

"Berdoalah untuk ibumu, besok ibu Anda sudah bisa menjalani operasi. Tetapi, sepanjang aku menangani orang yang menderita penyakit mata, terlebih katarak, hanya mata ibu Anda yang mengalami hal ganjil seperti ini."

***

SEHARI setelah ibu menjalani operasi, dokter masih belum memberi izin ibu untuk membuka balutan yang menutupi matanya. Mata ibu yang sebelah sudah kabur dan bisa dikata tidak bisa melihat. Saat aku menjenguk, ibu berbaring di atas ranjang. Aku menawari ibu untuk menyuapi makan siang. Tapi, ibu menolak. "Ibu tak lapar, Nak."

Hening melingkupi ruangan rumah sakit. Ibu diam, tidak bersuara. Hingga akhirnya, beliau membuka suara yang mengejutkanku. "Nak, ibu mau bercerita tentang apa yang ibu lihat. Tetapi, jangan katakan jika ibu dusta."

"Ibu ini ada-ada saja. Jelas tak mungkin aku menuduh ibu bohong."
"Siapa tahu, kau menuduhku dusta karena Ibu tak bisa melihat."
"Apa yang ingin Ibu ceritakan?"
"Malam kemarin ibu merasakan hening. Angin bertiup kencang, sebelum kemudian sunyi. Ibu sempat kaget lalu meraba-raba ke ranjang. Ibu yakin, saat itu ibu ada di rumah sakit. Tetapi, dengan mata yang tertutup seperti ini, ibu entah mengapa seperti ada di surga. Ibu melihat langit yang hijau. Tidak itu saja, ibu bahkan melihat hamparan tanah penuh pohon, dan tanaman, daun-daun yang segar, basah, dan menentramkan. Ibu bahkan bisa menyentuhkan dengan jari ibu dan seperti sedang bermimpi. Tapi, ibu sadar, ibu tak sedang bermimpi. Tetapi, ibu memang benar-benar di surga. Ada aliran sungai yang mengalir; sungai itu mengalirkan susu dan madu.... Ibu merasa bisa melihat segala yang tak pernah ibu bayangkan sebelumnya. Dan ibu takjub. Ternyata, itulah surga. Ibu tak bisa menceritakan keindahan apa yang ibu lihat..."

"Lalu, apalagi yang Ibu lihat?"
"Ibu melihat segalanya, kecuali satu..."
"Apa yang tidak Ibu lihat?"

Ibu diam, lama.

Hingga aku kembali bertanya, "Apa yang tidak Ibu lihat?"

"Ibu tidak melihatmu, Nak."
"Ah, mungkin Ibu salah lihat..."
"Tadi sudah Ibu katakan, Nak. Jangan menuduh Ibu dusta hanya karena ibu tak bisa melihat."
"Tapi bagaimana mungkin Ibu tak melihatku ada di surga? Bukankah ibu pernah bercerita bahwa surga itu ada di bawah telapak kaki ibu dan anak yang berbakti akan bisa memasuki surga dengan kebaikan yang ia lakukan kepada ibunya?"
"Justru itulah yang ingin aku tanyakan, Nak."

Aku diam. Aku merasa ada yang aneh dengan kata-kata ibu.

"Jujur, dari mana uang yang kau gunakan untuk membiayai operasi ibu?"

Degggg! Jantungku berdegup kencang. Hatiku berkecamuk, apakah aku harus bercerita dengan jujur jika uang yang aku gunakan untuk biaya operasi itu hasil penggelapan uang di kantor? Tangan ibu meraba-raba. Setelah menemukan tanganku, ibu menggenggamnya dengan erat.

"Nak... ibu bercerita yang sebenarnya tapi jangan katakan Ibu berdusta karena mata Ibu tidak bisa melihat. Justru dengan mata ibu yang tertutup seperti ini, Ibu bisa melihat surga."

Aku tertunduk lemas, dan kuraih telapak kaki ibuku. Rasanya, tidak ada pilihan lain kecuali aku harus mencium kaki ibuku...

***

N. Mursidi (2012)
DKC CBP IPNU-KPP IPPNU Kab. Trenggalek

Biasanya hari ahad dimanfaatkan sebagian orang untuk refreshing setelah enam hari dalam seminggu sibuk dengan berbagai macam rutinitas. Namun, tidak demikian dengan rekan-rekanita anggota DKC CBP IPNU-KPP IPPNU Kab. Trenggalek. Hari ini, Ahad 28 April 2013 kami menggelar silaturahmi dengan bersama-sama menembus rimba mencari jejak-jejak "Telaga Jarum" di desa Jajar Kec. Gandusari Kab. Trenggalek  yang keberadaannya sudah mulai dilupakan.

Agenda hari ini merupakan salah satu bentuk kebulatan tekad kami untuk mencintai alam lingkungan kami serta dalam rangka memupuk solidaritas guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara tercinta "Indonesia".

Ditempat lain Pimpinan Cabang IPNU Kab. Trenggalek juga menghadiri acara Musda KNPI Kab. Trenggalek dan dialog kebangsaan bersama HTI kab. Trenggalek.

Peserta yang ikut hari ini merupakan alumni Diklatama DKC CBP IPNU-KPP IPPNU Korwil Timur yang dilaksanakan 12-14 April beberapa minggu yang lalu. Dan sebagai informasi bahwa saat ini DKC CBP IPNU-KPP IPPNU Kab. Trenggalek juga tengah mempersiapkan agenda Diklatama untuk Korwil Barat.
Membebaskan atau Membatasi

Kenapa kita dilarang mabuk-mabukan? Bagi yang terang cara berpikirnya, maka dengan jelas bisa tahu bahwa peraturan, dilarangnya hal tersebut demi kebaikan kita sendiri. Peraturan tersebut justeru membebaskan manusia. Eh kok bisa? Peraturan kok membebaskan? Dilarang kok membebaskan? Iya, bisa, membebaskan dari kemungkinan berbuat lebih buruk akibat pengaruh minuman keras. Membebaskan dari dampak merusaknya. Semua akal sehat pasti paham, betapa besarnya resiko dan potensi merusak orang mabuk. Kalau tidak merusak orang lain, maka jelas merusak diri sendiri.

Tapi bagi yang sempit dan gelap cara berpikirnya, maka dengan jelas, seketika menolak larangan tersebut. Ada banyak argumennya, mulai dari dia merasa memiliki manfaat, bisa menghangatkan tubuh, bisa jadi obat, bisa bikin kreatif, hingga argumen putus asa: urus saja urusan masing-masing. Bagaimana mungkin kita disuruh urus saja masing-masing? Ketika si pemabuk ternyata mengendari kendaraan bermotor, lantas membuat kecelakaan maut di jalan? 

Jika kalian masih remaja, maka penting sekali memahami sebuah peraturan, sebuah larangan, ataupun sebuah perintah, dari sudut pandang positif. Karena tanpa sisi positif itu, apapun bisa dibantah, apapun bisa dibalik-balik semaunya saja. Dan kunci pertama kali memahaminya adalah: peraturan justeru membebaskan.

Kenapa wanita disuruh mengenakan kerudung? Kenapa wanita harus dipisah dari laki-laki? Ini jelas sekali tergantung dari kaca mata orang memahaminya. Bagi yang paham, maka dia bisa menjelaskan bahwa peraturan tersebut justeru 'membebaskan' wanita. Peraturan itu justeru menjaga wanita agar bebas berkegiatan, tidak pernah menghilangkan hak beraktivitas, hak mengembangkan diri, apalagi hak pendidikan, dsbgnya, yang sekaligus memberikan batas, proteksi atas kehormatan mereka. Indah sekali, bukan? Membebaskan sekaligus proteksi efektif. Tapi bagi yang tidak mau paham, maka dia bisa membawa bertumpuk amunisi argumen bahwa itu membatasi, diskriminatif, tidak sehat, dsbgnya. 

Kenapa kita yang masih remaja dilarang keluar malam-malam? Bagi yang paham maka segera tahu kalau itu justeru akan 'membebaskan' kita. Membebaskan kita dari dampak buruk pergaulan, hal-hal sia-sia, bahkan boleh jadi kegiatan yang merusak dan menjerumuskan. Itu jelas sekali sebuah pembebasan. Bagi yang tidak mau paham, maka peraturan itu baginya jelas sekali: membatasi, memasung, tidak demokratis, memangnya zaman bahuela? memangnya ini negeri militer? memangnya ini diktator? terserah-serah saya dong. Selalu begitu. 

Juga untuk semua peraturan2 lain yang bertujuan baik, lurus dan tidak melanggar kaidah agama, norma dalam masyarakat. Sama posisinya. Sama penjelasannya. Pun sama cara orang2 menanggapinya.

Nah, saya tidak akan berpanjang lebar, karena jelas, tulisan ini hanya bagi yang mau memahaminya. Bertanya, mencari jawaban. Bukan bertanya, untuk menebalkan argumen masing-masing. Maka saya akan menutupnya dengan kalimat simpel: orang-orang yang bahkan memuliakan dirinya sendiri pun tidak mau, maka tidak akan pernah bisa memuliakan sebuah peraturan yang bertujuan baik.

-Tere Lije Note-
Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja)

TAUHID DALAM DUA KALIMAT SYAHADAT

Tauhid yang harus diketahui orang mukallaf yang menjadi kandungan dua kalimat syahadat sebagai berikut :
اشهد أن لااله الا الله وأشهد أن محمدا رسول الله

1. Makna لااله الا الله adalah
لا مستغنى عن كل ما سواه ومفتقر اليه كل ما عداه الا الله

Artinya : Allah tidak membutuhkan pada lain-Nya dan selain Allah selalu membutuhkan kepada-Nya

2. Makna ألوهية adalah
استغناء الإله عن كل ما سواه وافتقار كل ما عداه اليه

Artinya : Allah tidak membutuhkan pada selain-Nya dan selain Allah selalu membutuhkan kepada-Nya, artinya tidak dapat lepas dari Allah.

Konsep
استغناء الإله عن كل ما سواه

(Tidak butuhnya Allah pada yang lain) memuat 28 aqidah sebagai berikut :
1. وجود
2. قدم
3. بقاء
4. مخالفة لحوادث
5. قيامه بنفسه
6. سمع
7. بصر
8. كلام
9. سميعا
10. بصيرا
11. متكلما
12. تنزهه عن الغرض فى افعاله واحكامه
(Segala perbuatan dan hukum Allah bersih dari tujuan yang menguntungkan Allah)
13. تنزهه عن وجوب شيئ عليه فعلا وتركا
(Allah bersih dari beban kewajiban segala sesuatu, dengan melakukan atau meninggalkan)
14. تنزهه عن كون شيئ من الممكنات يؤثر بقوة أودعها الله فيه
(Dan Allah bersih dari segala suatu yang mungkin wujudnya dapat berpengaruh kepada sesuatu dengan kekuatan yang diberi Allah ).

Dan ditambah 14 aqidah yang menjadi kebalikan dari 14 aqidah diatas. Berarti jumlah keseluruhan adalah 28 aqidah.

Sedangkan konsep افتقار كل ما عداه اليه (Selain Allah selalu membutuhkan kepada-Nya ) memuat 22 Aqidah yang umumnya sifat-sifat, sebagai berikut :
1.حياة
2. قدرة
3. إرادة
4. العلم
5. حياً
6. قادراً
7. مريداً
8. عالماً
9. وحدانية
10. حدوث العالم بأسره
11. ان لا تأثير لشيئ من الكائنات فى أثر ما بطبع
(Segala sesuatu yang mungkin wujudnya, tidak memiliki pengaruhi sama sekali dengan sendirinya)

Dan kebalikan sifat-sifat di atas. Berarti jumlahnya ada 22 aqidah.

Aqidah-aqidah tersebut ditambah dengan 28 sama dengan 50. Sehingga kalimat لااله الا الله memuat 50 aqidah.

Selanjutnya makna أشهد أن محمدا رسول الله memuat 12 aqidah sebagai berikut :

Wajibnya sifat :

1.الصدق للرسول والأنبياء( kejujuran para Rasul dan Nabi )
2.الأمانة(dapat dipercaya)
3.التبليغ (menyampaikan amanah Allah)
4.الفطانة (cerdas)

Dan 5,6,7,8 kebalikan empat sifat diatas, kemudian :

9. Iman kepada para Malaikat
10. Iman kepada Kitab-kitab Allah
11. Iman akan datangnya hari akhir
12. Memiliki sifat-sifat manusiawi tanpa mengurangi derajat keluhuran mereka.

Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa kalimat لااله الا الله محمدا رسول الله memuat 62 aqidah, 12 terkandung dalam kalimat محمدا رسول الله dan 50 aqidah dalam kalimat لااله الا الله. Demikian keterangan dalam I’anah al-Tholibin I/106

Selanjutnya, tauhid terbagi menjadi tiga bentuk, yakni tauhid fi’li, tauhid sifati dan tauhid dzati. Sedangkan iman terbagi dalam lima tingkatan , yakni iman bi al-muqallad, iman bi ad-dalil, iman bi al-i’yan, iman bi al-haqq dan iman bi al-haqiqah.

Antara Iman dan Islam


Ditinjau dari bahasa, Iman adalah membenarkan (tashqid), sedangkan Islam adalah kepasrahan (taslim) tanpa pembangkangan. Islam lebih umum dari pada Iman karena Iman termasuk rangkaian Islam yang paling mulia. Setiap bentuk tashdiq adalah taslim, namun tidaklah setiap taslim adalahtashdiq. Islam standar ukurnya pada lahiriah anggota badan, tetapi Iman semata hanya dalam hati.

Dalam nash syari’ah, Al-Qur’an maupun hadis, penggunaan dua kosakata itu terkadang diungkapkan dengan arti yang sama, terkadang keduanya adalah dua hal yang berbeda, terkadang diantara keduanya ada sisi saling memasuki (tadakhul, overlapping).

Islam dan Iman adalah sinonim

Sebagaimana firman Allah
فَأَخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيهَا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ . فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ – الذريات 35-36

Lalu Kami keluarkan orang-orang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri.

Yang dimaksud adalah rumah nabi Luth dan keluarganya. Para ahli tafsir sepakat yang ada hanya satu rumah.
وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِنْ كُنْتُمْ آَمَنْتُمْ بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ – يونس 84

Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.”

Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda.

Sebagaimana firman Allah Surat Al-Hujurot : 14
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ - الحجرات 14

Orang-orang badui itu berkata :”Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): ” Kamu belum beriman, tetapi katakanlah : ” kami telah tunduk “, karena iman belum masuk di hatimu.

Iman dalam ayat tersebut yang dikehendaki adalah at-tashdiq, membenarkan dengan hati saja. Sedangkan islam yang dimaksud adalah berserah dalam dhahir dengan lisan dan sejumlah anggota badan. Bukti lain, perbedaan makna iman dan Islam adalah Hadis Jibril ketika ditanya tentang Iman beliau menjawab :
أَنْ تُؤْمِنَ بِاَللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْحِسَابِ وَبِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Yakni, engkau beriman pada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, parea utusan-Nya, hari akhir, pembangkitan setelah mati, hisab, qadla’ dan qadar.

Dan ketika ditanya tentang Islam beliau menjawab :
الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إنْ اسْتَطَعْتَ إلَيْهِ سَبِيلًا

Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa bulan Ramadan, dan berhaji ke baitullah jika engkau mampu.

Keduanya sama-sama mengungkapkan Islam dengan kepasrahan lahir dengan perkataan dan pengamalan.
أَنَّهُ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى رَجُلاً عَطَاءً وَلَمْ يُعْطِ الآخَرَ فَقَالَ لَهُ سَعْدٌ يَا رَسُوْلَ الله تَرَكْتَ فُلاَناً لَمْ تُعْطِهِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَقَالَ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَ مُسْلِمٌ ؟ فَأَعَادَ عَلَيْهِ فَأَعَادَ – رواه البخاري ومسلم

Hadist Sa’ad ra, bahwasanya Rasulullah saw. memberikan pemberian pada seorang lelaki, yang tidak beliau berikan pada lelaki lainnya. Sa’ad bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa Anda memberi Fulan, dan tidak memberi pada yang satunya?” Rasulullah menjawab, “Apakah dia muslim?” Sa’ad mengajukan pertanyaan serupa sekali lagi, dan beliau menjawab dengan jawaban serupa. (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam dan iman berbeda tapi saling memasuki ( الاختلاف والتداخل)

Hadist Ahmad dan Thabrani dari haditsnya Umar bin Anbasah dengan sanad shoheh bahwa Rasulullah SAW ditanya :
أَيُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الإِسْلاَمُ فَقَالَ أَيُّ الإِسْلاَمُ أَفْضَلُ فَقَالَ الإِيْمَان

Amalan apakah yang paling utama? Rasulullah saw. Menjawab, “Islam”, kemudian ditanyakan lagi, “Islam yang bagaimana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman”.

Ditinjau dari hukum syara’, islam dan iman adalah dua hukum akhirat dan dunia. Adapun di akhirat dikeluarkan dari neraka dan tidak abadi di neraka karena sabda Nabi :
يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ مِنْ إِيْمَانٍ - رواه البخاري ومسلم

Akan keluar dari neraka, orang yang di hatinya terdapat sebiji dzarrah (atom) dari iman (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya saja, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa hukum dikeluarkan dari neraka tersebut disebabkan iman yang bagaimana, apakah hanya sekedar keyakinan, atau keyakinan dalam hati sekaligus ikrar dengan lisan, ataukah ditambah pula dengan pengamalan ? Yang jelas, jika ketiga-tiganya, yakni keyakinan dalam hati, ikrar dengan lisan dan pengamalan dengan anggota badan, tentu saja tidak ada perbedaan pendapat, bahwa hal tersebut akan menyelamatkan seseorang dari keabadian di neraka.
  • Mengucapkan dua kalimat syahadat, tapi dalam hatinya tidak percaya. Tidak diragukan lagi, bahwa dalam urusan akhirat mereka adalah penghuni neraka selama-lamanya. Sedangkan mengenai statusnya terkait dengan urusan duniawi, dia dihukumi Islam dalam hal semisal menjadi imam, memegang kewenangan perwalian atas orang Islam dan sebagainya. Karena kita tidak tahu keeradaan hati mereka. Bagi kita perlu mempunyai dugaan bahwa tidak mengucapkan dua kalimat syahadat kecuali membenarkan dalam hati, sedangkan yang diragukan hanya hukum di dunia di antara mereka dan Allah swt.
  • Jika seseorang berikrar dengan lisan disertai keyakinan dalam hati, serta sebagian amal, serta melakukan dosa besar (sebagian dosa besar menurut Mu’tazilah) maka ia telah dinyatakan keluar dari iman, tetapi bukan kafir, sekedar fasiq. Mereka ada di antara dua posisi (manzilah bainal manzilatain) dan selamanya di neraka. Pendapat ini adalah kesalahan besar menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.
  • Jika seseorang membenarkan dalam hati dan mati sebelum mengikrarkan dengan lisan, serta belum beramal dengan anggota badan, maka hal ini merupakan permasalahan yang diperselisihkan. Bagi yang berpendapat bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat adalah syarat kesempurnaan iman, maka orang ini mati sebelum iman. Pendapat ini salah, karena Rasulullah saw. bersabda:
يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ مِنْ إِيْمَانٍ - رواه البخاري ومسلم

Akan keluar dari neraka, orang yang di hatinya terdapat sebiji dzarrah (atom) dari iman (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian hadis Jibril tidak mensyaratkan kecuali hanya tashdiq kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan seterusnya..

Seseorang yang membenarkan dalam hati, dan ada kesempatan mengucapkan dua kalimat syahadat, namun tidak mengucapkannya, padahal ia mengetahui hukum wajib mengucapkannya, maka hal ini ada dua kemungkinan :
  1. Karena ingkar, maka tergolong kafir
  2. Karena malas, maka menurut pendapat yang adzhar (lebih jelas dalilnya) dia masih tergolong mukmin dengan dasar hadis Nabi di atas. Pendapat kedua mengatakan kafir, karena ucapan dengan lisan adalah rukun. Hal ini karena dua kalimat syahadat bukan hanya melambangkan ungkapan hati, melainkan sebagai perwujudan aqidah lain. Golongan Murji’ah yang ekstrim berpendapat bahwa orang yang demikian ini sama sekali tidak masuk neraka, karena mereka berpendapat bahwa orang mukmin walaupun durhaka, tidak masuk neraka.
Kesimpulan pembahasan di atas, bahwa Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda, tapi terdapat keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Perinciannya sebagai berikut :

  1. Mukmin yang sempurna jika disertai dengan pengamalan dengan anggota. Muslim yang sempurna jika disertai dengan pembenaran dalam hati
  2. Mukmin di hadapan Allah, tetapi diperlakukan kafir di dunia jika membenarkan dalam hati dan tidak mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisan setelah memiliki kesempatan mengucapkannya.
  3. Muslim dalam pandangan hukum dunia, selama mengucapkan dua kalimat syahadat, lebih-lebih mengamalkan dengan anggota badan atas segala perintah dan menjauhi larangan, sebelum terbukti melakukan sesuatu yang mengakibatkan kufur sebagaimana beberapa hal berikut:
    • Mengingkari ajaran yang dibawa Rasulullah yang telah disepakati para ulama dan diketahui secara masyhur (ma’lum dlaruri). Seperti mengingkari Al-Quran, kitab-kitab samawi (Taurat, Zabur dan Injil), para malaikat-, hukum-hukum Allah, janji-janji-Nya, Hari Kiamat, Surga, Neraka, siksa kubur dan sebgainya, tidak mempercayai sifat wajib bagi Allah atau Rasul-Nya secara ma’lum dlaruri, shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadlan serta ibadah haji bagi yang mampu.
    • Menganggap adanya sesuatu yang oleh syari’at ketiadaannya ditetapka melalui kesepakatan ulama, meski tidak masyhur di kalangan ummat. Seperti menganggap Allah tidak adil, Allah zhalim, Allah bersifat dengan sifat yang oleh kesepakatan ulama’ ditetapkan mustahil bagi-Nya dan masyhur, meyakini adanya Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad SAW.
    • Menghalalkan keharaman sesuatu yang mujma’ ‘alaih yang diketahui di kalangan ummat, seperti zina, mabuk dan judi.
    • Mengharamkan sesuatu yang ditetapkan kehalalannya oleh syari’at melalui ijma’ para ulama yang maklum di kalangan ummat, seperti mengharamkan shalat dan zakat.
    • Meyakini kewajiban sesuatu yang disepakati tidak wajibnya secara syara’ serta menjadi kesepakatan para ulama yang ma’lum dlaruri, seperti menambah satu rakaat atau sujud dalam shalat fardlu.
    • Setiap perbuatan, perkataan, keyakinan yang sengaja melecehkan terhadap kitab, Nabi, Malaikat, simbol keagungan agama, hukum, janji dan ancaman Allah. Bila tidak sengaja melecehkan, maka tergolong pelaku bid’ah (mubtadi’ah).
-----------------------------
Oleh : H. M. Azizi Hasbullah
Sumber : lbm.lirboyo.net
Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja)

AQIDAH AHLUSSUNNAH ADALAH TEOLOGI ASY’ARI DAN MATURIDI

Jika dalam bidang fiqh Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) menjelma dalam cakupan empat madzhab, maka dalam bidang teologi, Aswaja juga memiliki keidentikan dengan madzhab tertentu, dalam hal ini hanya tertentu pada madzhab teologi Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Mengapa demikian? Karena kedua tokoh inilah yang pertama kali merumuskan secara baku, pokok-pokok akidah yang sesuai dengan faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau berdua sangat ketat membentengi akidah imam madzhab empat, karena berkeyakinan atas kebenaran mereka pada jalur sunah Rasulullah dan para sahabatnya. Imam Asy’ari mengikat dirinya pada madzhab fiqh As-Syafi’i, sedangkan Abu Manshur Al-Maturidi mengikat dirinya pada madzhab fiqh Imam Abu Hanifah.

Kenyataan bahwa Aswaja hanya tertentu pada pengikut faham Asy’ari dan Maturidi ini dikuatkan oleh pernyataan sejumlah ulama’. Diantaranya adalah Al-Imam al-Alim al-Alamah as-Sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Husaini. Ulama’ yang dikenal dengan Syaikh Murtadla Az-Zubaidi dalam kitab beliau Ittihaf Sadat al-Muttaqin syarah Ihya’Ulumiddin karya Al-Ghazali dalam fasal kedua dari muqaddimah syarah ‘aqaid menyatakan sebagai berikut :
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة فَالْمُرَادُ بِهِمْ أَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّة

Jika diungkapkan Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang dikehendaki adalah pengikut faham Asy’ari dan Maturidi.

Demikian pula pernyataan Syaikh Ahmad bin Musa al-Kayali dalam Hasiyah syarah al-’Aqa’id karya Najmuddin Umar bin Muhammad An-Nasafi :
الأَشَاعِرَةُ هُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة أَيْ بِحَيْثُ إِذَا أُطْلِقَ هَذَا اللَّفْظُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة لَمْ يَنْصَرِفْ إِلاَّ إِلَيْهِمْ

Para pengikut Al-Asy’ari adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Artinya, jika diungkapkan Ahlussunnah Wal Jama’ah, tidak akan diarahkan kecuali pada golongan tersebut.

Pada awalnya, Syaikh Abu Hasan Al-Asy’ari belajar ilmu kalam dari Abu Ali Al-Jaba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Setelah meyakini kebenaran ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, Abu Hasan Al-Asy’ari lah orang pertama yang menantang akidah tokoh Mu’tazilah tersebut. Berdiri di hadapan massa, di atas mimbar masjib Bashrah, dengan lantang beliau menyatakan keluar dari madzhab Mu’tazilah. Setelah itu beliau rajin menyusun karya yang menegaskan pendirian Ahlussunnah wal Jama’ah dan meng-counter pendirian Mu’tazilah.

Dalam sejumlah sumber, dikisahkan perdebatan antara Abu Hasan Al-Asy’ari dengan Abu Ali Al-Jubai dalam rangka menolak dan membatalkan pendapat Mu’tazilah, sebagai berikut :

Al-Asy’ari : Bagaimana pendapatmu tentang tiga orang saudara yang telah meninggal dunia, yang satu orang taat, yang kedua meninggal dalam keadaan maksiat, dan yang ketiga meninggal saat masih kecil?
Al-Juba’i : Yang taat diberi pahala dan masuk surga, yang durhaka disiksa dan masuk neraka, kemudian yang kecil ada di antara surga dan neraka (manzilatun baina manzilataini) artinya tidak diberi pahala dan tidak disiksa
Al-Asy’ari : Jika yang kecil mengatakan ”Wahai Tuhanku mengapa Engkau mengambil nyawaku ketika aku masih kecil. Jika saja Engkau biarkan aku hidup, aku akan taat dan masuk surga”. Lalu, bagaimana jawaban Allah swt.?
Al-Juba’i : Allah swt menjawab, “Aku tahu jika kau hidup sampai dewasa maka kau akan durhaka sehingga masuk neraka, maka yang terbaik bagimu adalah kau mati ketika masih kecil”.
Al-Asy’ari : Jika yang mati dalam keadaan durhaka mengatakan, ”Wahai Tuhanku jika engkau tahu aku akan durhaka, mengapa Engkau tidak mengambil nyawaku ketika aku masih kecil, sehingga Engkau tidak memasukkan aku ke dalam neraka?” Lalu apa yang dikatakan Allah swt.?

Antara Teologi Asy’ari dan Maturidi


Abu Hasan Asy’ari dan Maturidi sepakat dalam masalah sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Allah swt., bagi Rasul dan malaikat-Nya, serta sepakat dalam sifat jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya, walaupun keduanya berbeda dalam cara penalarannya.

Keduanya berbeda pendapat dalam tiga permasalah aqidah yang tidak sampai membahayakan. Pertama, dalam permasalahan istitsna’ (pengecualian). Yakni perkataan seseorang “Saya beriman, Insya Allah (jika Allah menghenmdaki)”. Menurut Asy’ariyah diperbolehkan, menurut Al-Maturidiah tidak diperbolehkan.

Kedua, dalam permasalahan takwin, (secara harfiah bermakna mewujudkan, bentuk mashdar dari amar kun, “jadilah”). Menurut Maturidi takwin (mewujudkan) seperti memberi rizqi, menjadikan hidup mati, memberi rizqi sejalanQudroh, semua kembali pada sifat azali, yaitu sifat takwin (mewujudkan) dan takwin bukan mukawwin (yang menjadikan). Menurut Asy’ari takwin tidak berbeda dengan Qudroh dengan memandang hubungan Qudroh dengan hubungan yang khusus. Mewujudkan adalah sifat Qudroh dengan memandang hubungan kepada makhluq. Memberi rizqi adalah sifat Qudroh dengan memandang hubungan dengan mendatangkan rizqi. Wallohu A’lam.

Ketiga, status keimanan seseorang melalui taqlid, sekedar mengikuti orang lain yang dipercayainya tanpa mengetahui dalil atau argumentasi rasionalnya. Menurut kalangan Maturidiyyah, keimanan seorang yang ikut-ikutan adalah sah, sehingga orang-orang awam sudah bisa disebut dengan ‘arif (orang yang ma’rifat kepada Allah) dan masuk surga. Sedangkan menurut kalangan Asy’ariyyah ber-ma’rifat (beriman dengan keyakinan yang tumbuh dari dalil) adalah wajib, tidak cukup hanya dengan taqlid.

Mengenai status keimanan dari muqallid ini, di antara ulama’ Asy’ariyyah terdapat tiga pendapat, yaitu (1) statusnya mu’min tapi berdosa, karena meninggalkan kewajiban ber-ma’rifat melalui dalil, (2) statusnya mu’min, dan tidak berdosa kecuali jika ia mampu bernalar pada dalil namun ia tidak mau melakukannya, (3) Tidak dianggap mu’min sama sekali.

Aqidah-Aqidah yang Disepakati Ahlussunnah Wal Jama’ah


Sejumlah masalah terkait aqidah, di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah disikapi dengan beragam pendapat. Sejumlah aqidah masih menjadi kontroversi pendapat, sejumlah aqidah lainnya telah disepakati. Aqidah-aqidah yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah yang menjadi standar sesat bagi orang-orang yang tidak meyakininya, adalah sebagai berikut (baca: Al-Farqu baina al-Firaq):
  1. Pengakuan terhadap adanya hakikat dan ilmu (pengetahuan yang mengantar pada keyakinan) secara khusus dan umum. Artinya: mereka sepakat adanya ilmu ma’ani (sifat yang berwujud yang andai hijab atau penghalang dibuka akan dapat dilihat).
  2. Keyakinan kebaruan alam dengan segala macam pembagiannya, yang berupa sifat atau jisim(materi, zat). Artinya, mereka sepakat bahwa alam adalah semua yang selain Allah. Sedangkan semua yang selain Allah dan selain sifat-Nya adalah makhluk (ciptaan). Mereka sepakat bahwa Pencipta alam bukanlah makhluk (ciptaan), bukan dari jenis alam, bukan pula jenis dari juz (partikel) alam.
  3. Pengetahuan tentang Pencipta alam dan sifat-Nya yang dzati. Mereka sepakat bahwa segala hal yang baru (hawadits) pasti ada penciptanya. Maka sesatlah golongan Qodariyah yang mengatakan bahwa perbuatan (yang juga termasuk hal baru, hawadits) tiada yang menciptakan.
  4. Sifat-sifat yang ada pada dzat Allah yakni ilmu, hayat, qudrat, iradah, sama’, bashar dankalam, berupa sifat yang azali dan abadi.
  5. Nama-nama Allah adalah tauqifi (dogmatik) didasarkan pada pengambilan dari Al-Qur’an dan hadis, tidak dengan dengan cara qiyas, sebagaimana dipahami Mu’tazilah yang menyatakan bahwasanya Allah adalah مطيع لعبده (yang taat pada hamba-Nya) jika Allah mengabulkan apa yang dikehendaki hamba-Nya. Mereka juga menyebut Allah dengan محبل للنساء (yang menghamili perempuan) tatkala Allah menjadikan perempuan hamil.
  6. Pengetahuan tentang keadilan dan kebijaksanaan Allah. Dia yang menciptakan materi dan sifat, baik dan buruknya. Allah yang menciptakan usaha hamba. Tiada pencipta selain Dia. Hal ini berbeda dengan golongan Qadariyyah yang berpendirian bahwa Allah sama sekali tidak menciptakan sesuatupun dari usaha para hamba. Berbeda pula dengan golongan Jahmiyyah atau Jabariyyah yang berpendirian bahwa para hamba tidak punya upaya atas terwujudnya perbuatan. Pendirian moderat yang dipedomani ahlussunnah adalah bahwa para hamba memiliki usaha mewujudkan perbuatan, akan tetapi Allah lah yang menciptakan usaha itu.
  7. Allah mengutus para utusan (rasul) yang mempunyai sifat ma’shum (terpelihara) dari dosa kecil dan dosa besar, sebelum menjadi utusan atau sesudahnya. Antara rasul dan nabi terdapat perbedaan.
  8. Adanya mu’jizat dan karamah. Semua Nabi pasti dikukuhkan dengan mu’jizat, sedangkan wali terkadang memiliki karamah, terkadang juga tidak.
  9. Islam dibangun atas lima dasar dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Barangsiapa mengingkari salah satunya atau menginterpretasikan dengan makna lain, maka ia dihukumi kafir.
  10. Status hukum perbuatan mukallaf ada lima, yakni wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.
  11. Allah mampu meniadakan / membinasakan alam secara keseluruhan, atau sebagian jisim atau materi dan menetapkan sebagian yang lain. Sesatlah golongan Qadariyah yang mengatakan Allah tidak mampu merusak sebagian alam dengan menetapkan sebagian yang lain.
  12. Tentang khilafah dan imamah (kepemimpinan). Pendirian Imamah hukumnya wajib guna mengatur segala hal terkait kepentingan umat. Ahlussunnah sepakat bahwa pembentukan imamahmerupakan hal yang bernuansa ijtihadi (interpretable). Dalam permsalahan khalifah, Rasulullah tidak pernah melakukan penunjukan terhadap orang-orang tertentu secara eksplisit. Maka sesatlah kaum Rafidlah yang menyatakan bahwa Rasul telah mengangkat Ali bin Abi Thalib ra.
  13. Tentang iman dan Islam. Ahlussunnah sepakat bahwa standar asal keimanan adalah pada tataran keyakinan dan ikrar dalam hati, sementara ketaatan atas amaliah wajib tidak berpengaruh pada status asal keimanan seseorang.
  14. Tentang status kewalian
  15. Musuh-musuh agama, ada dua golongan. (1) Golongan yang menampakkan diri sebelum adanya kekuasaan Islam, seperti penyembah berhala, pemuja matahari, rembulan dan bintang-bintang, pemuja setan dan lain-lain. (2) Golongan yang menampakkan diri setelah adanya kekuasaan Islam, yaitu orang-orang kafir yang bersembunyi di balik lahiriah keislaman mereka akan tetapi menikam kaum muslimin dalam keadaan lengah seperti Sekte Ghulat (sekte sempalan Rafidlah Sabaiyyah), Bayaniyyah, Mughayriyyah, Manshuriyyah, Janahiyyah, Khaththabiyyah, dan lain-lain.

-----------------------------
Oleh : H. M. Azizi Hasbullah
Sumber : lbm.lirboyo.net

ANTARA ASWAJA DAN MADZHAB EMPAT

Awal kurun kedua hijriyyah sampai pertengahan kurun keempat (sekitar tahun 320 H.) adalah masa-masa keemasan fiqh Islam. Pada masa-masa itu, sebagian besar kaum muslimin mengamalkan detil syari’at Islam dalam berbagai problematika kehidupan mereka dengan langsung merujuknya pada Al-Qur’an, dan sunnah Rasulullah saw. Selain karena kemampuan penggalian hukum dari kedua sumber itu masih mereka miliki, hal ini juga disebabkan karena perburuan berbagai riwayat tafsir dan hadits masih sangat dimungkinkan. Kesemangatan menekuni keilmuan syari’at mendorong mayoritas mereka melestarikan riwayat-riwayat tafsir dan hadits, rumusan-rumusan baku fiqh dari fatwa-fatwa shahabat dan ulama’ generasi setelahnya, berikut pencetusan teori ushul fiqhnya, dalam lembaran-lembaran karya tulis. Lahirlah banyak sekali karya tulis tentang keilmuan syari’at dari tangan-tangan para ulama’. Jadilah, masa itu sebagai era ijtihad dan era pembukuan keilmuan syari’at (tadwin).

Pada pertengahan abad keempat hijriyyah, himmah (kesemangatan) para ulama untuk berijtihad mutlak dan merujuk pada sumber hukum, Al-Qur’an dan sunnah, mulai mengendur. Kemampuan untuk berijtihad mutlak semakin menurun, di sisi lain, mereka mencukupkan diri dengan hasil rumusan fiqh dari ulama’-ulama’ pendahulu. Akhirnya, mereka cenderung mengikatkan diri pada imam-imam mujtahid agung terdahulu yang telah populer dan diyakini kebenarannya. Pada mulanya, madzhab-madzhab fiqh yang terbentuk amat banyak. Namun seiring dengan perjalanan waktu, yang bertahan dan tetap eksis mendapat kepercayaan umat hanyalah empat madzhab, hingga sekarang. Yakni madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali.

Dan, jika pada perkembangannya, Aswaja didentikkan dengan mengikut pada salah satu dari empat madzhab fiqh di atas, maka hal ini bisa kita nalarkan sebagai berikut : Bahwa saat ini kemampuan berijtihad mutlak hampir tidak mungkin, sehingga yang menjadi kewajiban dalam standar amaliah fiqh bagi setiap orang adalah bertaqlid. Sementara, dalam bertaqlid harus selektif, memilih tokoh panutan (muqallad) yang memiliki kapasitas memadahi. Selain imam madzhab empat yang telah populer, ada sejumlah ulama’ mujtahid yang juga memiliki kapasitas intelektual memadahi. Permasalahannya adalah tidak ada jaminan validitas periwayatan dari pendapat imam-imam mujtahid selain empat imam madzhab. Adapun pendapat-pendapat empat imam madzhab, karena banyaknya pengikut yang selalu melestarikan madzhab imamnya dengan menggiatkan berbagai aktivitas penulisan karya, maka hal inilah yang menjadi jaminan bahwa periwayatan madzhab-madzhab empat adalah valid dan dijamin kesahihannya.

Penyebab Berhentinya Aktivitas Ijtihad

Selanjutnya, kecenderungan terhentinya gerakan ijtihad serta trend mencukupkan diri dengan mengikuti rumusan-rumusan mujtahid sebelumnya, setidaknya dipengaruhi empat faktor. Pertama, terpecahnya kaum muslimin dalam sekat-sekat daulah (negara) yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak terjalin hubungan harmonis di antara negara-negara tersebut. Kecenderungan yang terjadi, di antara negara-negara itu justru saling menguasai. Pemerintahnya pun tersibukkan dengan urusan pertahanan, kekuasaan, dan perluasan wilayah. Orientasi memajukan keilmuan syari’at Islam pun terbengkalai.

Kedua, fanatisme yang amat kental dari masing-masing madzhab. Upaya pencarian dalil dari Al-Qur’an dan hadits diarahkan sebatas untuk memperkuat pendapat imamnya masing-masing, bukan upaya pencapaian derajat ijtihad mutlak. Bahkan jika terdapat ayat atau hadits yang bertentangan dengan hasil rumusan imamnya, berarti ayat atau hadits tersebut adalah dalil yang interpretatif, harus ditakwil dengan makna lain, atau dalil yang mansukh (dianulir kandungan hukumnya), sebagaimana ungkapan Abu Hasan Al-Kurdi dari ulama’ Hanafiyah, “Setiap ayat atau hadits yang bertentangan dengan pendapat madzhab kita, harus ditakwil atau telah di-naskh”. Sehingga bagi mujtahid yang tidak memiliki banyak pendukung, pendapat-pendapatnya tidak terbukukan dan tidak dijadikan rujukan, seperti Dawud Al-Dhahiri.

Ketiga, penutupan pintu ijtihad oleh sebagian ulama. Ini bermula dari tidak adanya rumusan baku tentang persyaratan melakukan ijtihad. Ketika saat itu pintu ijtihad terbuka lebar, sementara kemampuan berijtihad di kalangan kaum muslimin relatif menurun dari masa ke masa, maka ijtihad dilakukan oleh sembarang orang dengan kemampuan seadanya. Akibatnya, terjadi kerancuan di antara beragam hasil ijtihad. Apalagi jika hal ini diterapkan dalam tataran kebijakan publik, seperti dalam ranah peradilan, maka terjadilah penghalalan harta, bahkan nyawa, dengan mengatasnamakan ayat Al-Qur’an dan hadits. Belum lagi adanya gejala bahwa aktivitas ijtihad mulai diintervensi oleh kepentingan politik dan kekuasaan yang akhirnya, ijtihad hanya dijadikan perantara untuk bersembunyi di balik kedok legalitas syari’at. Dengan latar belakang inilah, para ulama memilih jalur aman dengan mencukupkan pada pendapat madzhab-madzhab mujtahid terdahulu yang telah mapan dan dapat dipertanggungjawabkan. Akhirnya, sebagian ulama’ mendeklarasikan tertutupnya pintu ijtihad untuk membuntu pintu masuk sejumlah oknum yang ingin menyalahgunakannya.

Keempat, menyebarnya virus akhlaq atau krisis moral di kalangan sebagian ulama’ kaum msulimin, seperti sifat takabbur, ananiyah (egoisme) dan hasud. Jika ada seorang ulama’ yang mengikrarkan ijtihad, maka segera saja ia diserang oleh ulama’ lain, dengan melontarkan tuduhan “sekedar mencari popularitas”. Syaikh Jalaluddin As-Suyuthi misalnya, begitu mengikrarkan diri sebagai mujtahid, segera saja ia dihujani pertanyaan ujian oleh banyak ulama’. Akhirnya ia memilih bertaqlid pada Imam Syafi’i. Dengan latar belakang seperti ini, setiap orang yang mencetuskan ketetapan hukum akan dengan hati-hati mengatakan ”Saya bukan berijtihad, tapi hanya mengutip pendapat-pendapat orang terdahulu”.


-----------------------------
Oleh : H. M. Azizi Hasbullah
Sumber : lbm.lirboyo.net
Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja)

Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) pada zaman sekarang diklaim kelompok Asy’ariyyah dan Maturidiyyah serta mazdhab empat saja, mengapa demikian? Padahal, keberadaan dua kelompok serta empat madzhab tersebut tidak pernah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, bahkan imam-imam mazdhab baru lahir jauh setelah periode Nabi Muhammad SAW.Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan kajian yang mengupas tuntas tentang permasalahan ini. Risalah ini sekedar sebagai pengantar memahami hal tersebut.

Berlatar belakang dari sejumlah hadis, diantaranya adalah hadis yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud IV/210, Rasulullah saw. bersabda :

فَإنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ المهديين الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ - رواه أبو داوود

Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelah wafatku, ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegangan dengan sunnahku dan sunah khulafa’ al-rasyidin (khalifah-khalifah atau para pengganti Rasul yang beroleh petunjuk), berpeganglah dengannya dengan kuat dan gigitlah dengan gigi gerahammu. (HR. Abu Dawud)

Dalam Sunan Tirmidzi V/26 juga disebutkan sabda Rasul :
وَإِنَّ بَنِى إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى – رواه الترميذي

Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya, “Siapakah golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Golongan berideologi dengan ajaran yang aku dan sahabatku ajarkan”. (HR. Tirmidzi)

Juga disinggung dalam Sunan Ibnu Majah XI/1322, bahwa Nabi bersabda :
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ . – رواه ابن ماجه

Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada pada genggaman-Nya, sungguh akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Satu golongan masuk sorga, 72 golongan lainnya masuk neraka. Ditanyakan pada beliau : “Siapakah satu golongan yang masuk sorga, ya Rasulullah?” Beliau menjawab :” jama’ah (golongan mayoritas, yakni mereka yang sesuai dengan sunnah para sahabat). (HR. Ibnu Majah)

Dalam Al-Milal wa al-Nihal hlm. 13, disebutkan sebuah hadis, bahwa Rasul bersabda :
سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً النَّاجِيَةُ مِنْهَا وَاحِدَةٌ وَالْبَاقُوْنَ هَلْكَى. قِيْلَ وَمَنْ النَّاجِيَةُ ؟ قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة، قِيْلَ وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّة وَالْجَمَاعَة ؟ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي، الْجَمَاعَةُ الْمُوَافِقُوْنَ لِجَمَاعَةِ الصَّحَابَةِ -رواه ابن ماجه.

Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat satu golongan, dan sisanya binasa. Ditanyakan pada Beliau, “Siapakah golongan yang selamat, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlussunnah wal Jama’ah” Ditanyakan pada Beliau “Siapakah Ahlussunnah wal Jama’ah itu?” Beliau menjawab, “Golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku. Al-Jama’ah adalah mereka yang bersesuaian dengan jejak golongan Sahabat. (HR. Ibnu Majah)

Pada zaman Rasul saw. tidak ada perselisihan diantara para sahabat. Akan tetapi, dengan mukjizatnya, Rasul telah mengetahui bahwa akan ada perpecahan pada masa setelah beliau wafat. Karenanya, beliau menyampaikan peringatan dan menggariskan bahwa golongan yang selamat adalah orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran khulafa’ ar-rasyidin dan golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rosul saw. dan sunah para sahabatnya.

Sepeninggal beliau, pernyataan tersebut terbukti, umat Muhammad saw. mengalami perselisihan. Awal-awalnya dipicu oleh sejumlah sebab, diantaranya. tentang kewafatan Rasulullah saw. Sebagian sahabat berpendapat bahwa Muhammad saw. tidak meninggal, namun diangkat, sebagaimana Nabi Isa as. Namun perselisihan reda ketika Abu Bakar as-Shiddiq tampil dan membacakan firman Allah swt. :
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ - الزمر : 30

Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). (QS. Az-Zumar : 30)

Dan Abu Bakar berseru, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Dan, barangsiapa yang menyembah Tuhan Muhammad, maka sesungguhnya Dia Maha Hidup, tidak akan pernah mati.”

Perselisihan kedua terjadi terkait pemakaman Rasulullah saw. Penduduk Mekah menginginkan Rasul dimakamkan di Mekah, karena merupakan tempat kelahiran beliau. Sementara itu, penduduk Madinah menginginkan beliau dimakamkan di Madinah sebagai tempat hijrah dan tempat tinggal sahabat Anshar. Pihak ketiga menginginkan beliau dimakamkan di Baitul Maqdis karena merupakan makam nenek moyangnya, yakni Nabi Ibrahim as. Perselesaian ini terselesaikan setelah Abu Bakar as-Shiddiq kembali tampil dengan menyitir hadis Rasulullah saw :
إِنَّ الْأَنْبِيَاءُ يُدْفَنُونَ حَيْثُ يُقْبَضُوْنَ

Sesungguhnnya para nabi dimakamkan di mana ia diwafatkan

Akhirnya, Rasulullah saw dimakamkan di ndalem beliau di Madinah.

Perselisihan ketiga terjadi dalam kaitannya dengan imamah (kepemimpinan). Bermula dari kaum Anshar yang membaiat Sa’ad bin ‘Ubadah sebagai khalifah. Begitu kaum Muhajirin mengetahui hal ini, mereka yang dipimpin Abu Bakar, Umar, dan ‘Ubadah, memasuki balai pertemuan kaum Anshar sehingga terjadi perdebatan sengit. Kaum Anshor menginginkan agar masing-masing dari kedua kelompok ini memiliki pimpinan sendiri. Persengketaan selesai setelah Abu Bakar kembali tampil dengan menyampaikan sebuah pernyataan:
نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ

Kami (bangsa Quraisy) yang menjadi pemimpin, dan kalian (golongan Anshar) sebagai menjadi menteri (pembantu). Kepemimpinan di tangan bangsa Quraisy.

Maka kemudian dibaiatlah Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah.

Pada masa kepemimpinan beliau, yang selanjutnya diteruskan oleh Umar bin al-Khaththab belum nampak adanya perselisihan yang berarti di kalangan umat Islam, kecuali sebagian kecil kelompok yang benar-benar menyimpang, seperti kelompok yang menolak membayar zakat, orang-orang yang mengikrarkan dirinya sebagai nabi seperti Musailamah al-Kadzdzab, segerombolan orang-orang yang murtad seperti Thulaihah yang kemudian masuk Islam kembali pada masa kholifah Umar, dan lain-lain.

Sebelum Khalifah Umar wafat karena ditikam Abu Lu’lu’ al-Majusi, beliau sempat merekomendasikan enam orang sahabat yakni Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubadah, untuk menentukan penggantinya. Akhirnya, terpilihlah Utsman bin Affan. Setelah beliau resmi dibai’at sebagai khalifah, muncullah ketidakpuasan dari sebagian golongan. Mereka sengaja memecah belah persatuan umat Islam dengan mengadakan gerakan pemberontakan hingga terjadilah tragedi pembunuhan Khalifah Utsman pada tahun 35 H.

Selanjutnya, Ali bin Abi Thalib tampil sebagai khalifah setelah mendapatkan dukungan bai’at dari penduduk Madinah. Meski demikian, perselisihan yang cikal bakalnya telah ada sejak masa kepemimpinan Utsman, bukan malah mereda, bahkan semakin meruncing. Dalam menyikapi tragedi pembunuhan Utsman, umat Islam terpecah dalam tiga golongan. Golongan pertama, menuntut segera diadakan pengusutan pembunuh Utsman sebelum diadakan pergantian pergantian khalifah. Mereka adalah orang-orang dekat Utsman, diantaranya Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Thalhah, Zubair, Ummul Mu’minin Aisyah dan Amr bin ‘Ash. Golongan kedua, berpendapat bahwa pergantian khalifah harus segera dilaksanakan, setelah itu baru melakukan tindakan pengusutan pembunuh Utsman. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang sependapat dengan beliau. Golongan ketiga, menganggap bahwa pemberontakan yang berujung pada pembunuhan Utsman telah prosedural, sehingga tidak perlu dilaksanakan qishash.

Perseteruan di antara mereka, terutama antara kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kubu Mu’awiyah tidak dapat diselesaikan dengan damai. Akhirnya, meletuslah pertempuran antara kedua kubu hingga menimbulkan banyak korban. Saat kubu Mu’awiyah mulai terdesak, mereka mengajukan tawaran damai dengan mengadakan tahkim (penyelesaian dengan juru hukum) dengan menunjuk wakil dari masing-masing kubu. Pada mulanya, Ali menolak tawaran ini, karena dianggap hanya sebagai siasat belaka. Pendapat ini amat didukung oleh sebagian pengikutnya. Namun atas desakan sejumlah sahabat senior yang bijaksana, akhirnya Ali menerima tawaran tahkim. Kubu Mu’awiyah mengajukan ‘Amr bin ‘Ash sebagai wakil, sementara kubu Ali mengajukan Abu Musa al-Asy’ari, seorang yang terkenal sufi. Namun demikian, tahkim tetap saja tidak menghasilkan sebuah kesepakatan.

Dari latar belakang sejarah ini, lahirlah sejumlah aliran teologi. Pengikut Ali bin Abi Thalib yang tidak menyetujui tahkim akhirnya membelot dan justru mengadakan perlawanan terhadap Ali sekaligus juga Mu’awiyah. Kelompok pembelot ini kemudian dikenal dengan sebutan Khawarij (secara harfiah berarti orang-orang yang keluar atau membelot). Mereka tidak mau menerima fatwa dan riwayat hadis dari Utsman, Mu’awiyah dan para sahabat yang menyetujui tahkim. Para sahabat tersebut dianggap kafir karena menyetujui tahkim, yang menurut Khawarij, termasuk dosa besar. Karenanya, termasuk salah satu ideologi Khawarij adalah bahwa orang yang melakukan dosa besar, atau orang yang tidak segolongan dengan mereka, dianggap kafir. Golongan Khawarij ini selanjutnya terpecah menjadi dua golongan. Masing-masing dari keduanya saling mengkafirkan.

Di sisi lain, terdapat golongan yang sangat fanatik terhadap Ali bin Abi Thalib ra. dengan mendukung dan mengagungkan beliau secara berlebihan. Golongan ini disebut Syi’ah (secara harfiah bermakna pengikut, yakni pengikut Ali). Mereka berkeyakinan bahwa legalitas kepemimpinan Ali berdasarkan nash Al-Qur’an dan wasiat Nabi Muhammd saw. Sedangkan Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman dianggap merampas jabatan itu. Akibatnya, mereka tidak mau menerima hadits ahkam dan fatwa-fatwa dari selain Ali bin Abi Thalib. serta keluarganya. Dengan rasa fanatik berlebihan ini, mereka berkeyakinan bahwa andaikan Ali ra. bersalah atau berbuat dosa, tidaklah mengapa, karena beliau adalah orang yang beriman. Hingga sekarang pun, mereka berkeyakinan bahwa jika orang sudah beriman, tidaklah mengapa melakukan kemaksiatan, sebagaimana pula orang kafir, tidak ada artinya melakukan ibadah, karena mereka belum beriman. Dalam perkembangannya, Syi’ah ini terpecah menjadi lima golongan yaitu Kaisaniyyah, Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghaliyyah dan Isma’iliyyah. (Keterangan selengkapnya mengenai Syi’ah dan Khawarij beserta sekte-sekte sempalan dari keduanya, ada di bagian akhir risalah ini)

Golongan ketiga adalah golongan mayoritas yang kerap disebut Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Mereka adalah golongan yang masih memiliki komitmen terhadap sunnah Rasulullah saw. serta semua sahabat tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Semua sahabat memiliki sifat adalah (keadilan). Adapun perseteruan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyah merupakan masalah ijtihadiyyah (interpretable). Jika ijtihadnya benar maka akan mendapatkan dua pahala dan bagi yang salah mendapatkan satu pahala, sebagaimana jaminan dari sebuah hadis :
مَنْ اجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ , فَإِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

Barangsiapa yang berijtihad, dan hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Jika hasil ijtihadnya salah, maka dia mendapatkan satu pahala.

Dalam perkembangannya, terdapat satu lagi golongan yang lahir pada penghujung abad pertama hijriah, yakni Mu’tazilah (secara harfiah bermakna yang menyendiri, hengkang). Bermula dari forum halaqah Hasan al-Bashri, seorang ulama’ besar dari kalangan tabi’in. Salah seorang murid beliau yang bernama Wasil bin Atha’ al-Bashri, mengajukan pertanyaan kepada gurunya itu, mengenai nasib orang-orang yang melakukan dosa besar, yang menurut Khawarij telah divonis kafir, sementara menurut golongan lain masih dianggap orang-orang beriman, akan tetapi “hanya” melakukan dosa besar. “Bagaimana menurut Anda?” demikian Wasil menanyakan pada Hasan al-Bashri. Belum sempat dijawab, Wasil menjawab pertanyaannya sendiri ”Menurut saya, para pelaku dosa besar tidak bisa disebut beriman, tetapi juga dan tidak kafir. Mereka berada pada posisi antara surga dan neraka (manzilatun bainal manzilataini)”. Setelah itu Wasil keluar dari forum halaqah Hasan al-Bashri dan menyendiri (i’tizal) mendirikan kelompok sendiri dan menyebut diri mereka sebagai ahlut tauhid wal adli. Mereka berkeyakinan bahwa seseorang bisa masuk sorga jika beramal. Tanpa amal wajib, seseorang akan masuk sorga.

Bersambung ke - Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja) : Kajian kesejarahan, Konsepsi dan Penerapan Aswaja dalam Keseharian (Bag-2)

-----------------------------
Oleh : H. M. Azizi Hasbullah
Sumber : lbm.lirboyo.net
Demokrasi Dalam Islam

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel Melacak Jejak-jejak Demokrasi Dalam Islam Bag. 2

Hilangnya Sikap Demokratis dari Masyarakat Islam.

Kebebasan dan sikap demokratis mulai hilang dalam Islam seiring dengan berakhirnya kekuasaan khalifah keempat, Ali bin Abi Talib.

Setelah Ali terbunuh, pengikutnya membai’at anaknya Al Hasan bin Ali sebagai khalifah. Al Hasan bukanlah seorang kuat disamping ia selalu menghindar dari konfrontasi politik. Dengan alasan demi persatuan ummat Islam, maka ia menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, lawan politik Ali yang juga keluarga dekat Utsman.

Ketika Muawiyah berkuasa inilah kebebasan dan sikap demokratis yang diajarkan Nabi Muhammad (Saw.) mulai terpasung. Dengan menggunakan jargon-jargon agama yang totalistik (al jabariyah) dan ketajaman pedang, Muawiyah berusaha memperoleh legitimasi kekuasaan dari rakyat dan mempertahankannya. Muawiyah selalu mengatakan bahwa kekuasaannya merupakan kehendak Tuhan, karena itu tak ada seorang pun yang boleh mengambilnya.

Pada masa Muawiyah pula terjadi pewarisan kekuasaan pertama dalam sejarah Islam. Muawiyah telah mengubah sistem pemerintahan Islam dari demokrasi (pemerintahan yang dikelola bersama-sama dengan sistem syuro/musyawarah) menjadi monarkhi. Kekuasaan Muawiyah ini dikenal dengan “Dinasti Bani Umaiyah”, dan ia memindahkan ibukota Islam dari Kufah di Irak ke Damaskus, Syiria.

Pada masa Muawiyah dan keturunannya penindasan kejam terhadap kelompok oposisi dimulai, khususnya terhadap para pendukung keluarga Ali. Tindakan represif Bani Umaiyah ini belum pernah terjadi dalam sejarah Islam sebelumnya.

Ketika Dinasti Umaiyah runtuh dan digantikan dengan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, balas dendam politik terhadap para pembantai keluarga Ali tak terelakkan. Begitulah seterusnya, setiap penguasa muslim menggunakan agama untuk mengekalkan kekuasaannya dan membuang jauh-jauh kehendak rakyat. Dan hampir setiap pergantian kekuasaan selalu disertai pertumpahan darah.

Penguasa Mamalik di Mesir bahkan menggunakan militer untuk memisahkan kekuasaan dengan rakyat, sehingga rakyat tidak dapat berhubungan langsung dengan penguasa. Politik Mamalik ini mirip dengan apa yang dilakukan Orde baru di Indonesia, menggunakan militer untuk melindungi kekuasaan dan menyekat kekuasaan dari rakyat. Begitu pula pada jaman Ottoman, institusi khilafah yang agung dan demokratis hanya berupa nama. Para khalifah Ottoman merupakan raja-raja yang tidak memperoleh legitimasi kekuasaan dari rakyat.

Semenjak jaman Muawiyah ummat Islam tidak pernah menikmati kebebasan dan demokrasi dalam kehidupan nyata. Kebebasan dan demokrasi hanya ada dalam teks-teks suci. Para penguasa muslim yang despotis berkuasa tanpa legitimasi rakyat dan selalu memerangi kehendak mereka.

Dalam suasana despotis dan penuh ketakutan semacam ini maka teori-teori politik tidak pernah berkembang baik dalam Islam, akibat kondisi yang tidak mendukung. Oleh sebab itu kita tidak banyak menjumpai literatur Islam yang membahas tentang politik dan tata negara (fikih as siyasah), dibanding dengan buku-buku yang berbicara tentang ibadat (fikih al ibadah), konsep pembersihan hati (tasawuf), ilmu tauhid (ilmu kalam).


Sebab-Sebab Hilangnya Demokrasi dari Masyarakat Islam.

Ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab hilangnya kebebasan dan demokrasi dari masyarakat Islam.

Faktor pertama adalah kekejaman para penguasa muslim pada masa lalu. Sikap despotis ini telah membentuk sebuah masyarakat yang miskin tata negara. Karena para ilmuwan muslim tidak banyak menulis perihal sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan ideal, akibat kerasnya tekanan penguasa.

Faktor kedua adalah hilangnya sistem konstitusi sebagai tempat berpijak bagi kehidupan bernegara. Tradisi membangun konstitusi sebenarnya telah diajarkan oleh Nabi Muhammad (Saw.) tatkala membangun negara Madinah. Konstitusi negara Madinah bernama “Piagam Madinah” (Watsiqah Al Madinah) hingga kini masih dapat dijumpai dalam literatur Islam. Namun entah mengapa tradisi berkonstitusi pada praktek kenegaraan kaum muslimin selanjutnya hilang. Hilangnya tradisi konstitusi ini berdampak pada hilangnya demokrasi dan timbulnya pertumpahan darah yang runyam pada setiap kali peralihan kekuasaan. 

Faktor ketiga adalah pengekangan kebebasan yang merupakan pilar utama demokrasi. Setiap penguasa Islam pada masa lalu (hingga saat ini) memilih mazhab atau aliran agama tertentu sebagai aliran resmi negara dengan menyingkirkan aliran-aliran lain. Sebagaimana pada beberapa kurun Dinasti Abbasiyah yang bermazhab Mu’tazilah (rasionalis). Pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir bermazhab Syi’ah. Begitu pula dengan kondisi negara-negara Islam moderen, seperti Kerajaan Arab Saudi dan Iran.

Pengekangan kebebasan ini pada satu sisi untuk memperoleh dukungan dan legimitasi dalam rangka memperkuat kekuasaan. Namun di sisi lain, keberpihakan ini merupakan pemberangusan kebebasan yang merupakan dasar demokrasi. Penerimaan ataupun penolakan sebuah aliran keagamaan dalam tradisi asli Islam bukanlah dengan menggunakan kekuasaan dan politik, melainkan melalui tradisi keilmuan dalam bentuk dialog, debat, dan retorika dengan dalil-dalil ilmiah yang meyakinkan.

Faktor terakhir adalah sikap beragama yang menyimpang di kalangan kaum muslimin. Sikap beragama yang menyimpang ini pada akhirnya menimbulkan ekstrimitas; ekstrim dalam berinteraksi dengan keduniaan dan esktrim tidak peduli dengan urusan keduniaan.

Sikap ekstrem pertama menumbuhkan despotisme jika berkuasa, dan sikap ekstrem kedua tidak peduli dunia. Kedua sikap ini kontraproduktif, karena Nabi Muhammad (Saw.) mengajarkan keseimbangan hidup antara urusan dunia dan akhirat. (FK).

-----------------------------------
Oleh : Farhan Kurniawan (Mahasiswa fakultas Ushuluddin Universitas Al AzharKairo)
Sumber : bongkarhti.blogdetik.com
Demokrasi Dalam Islam

Artikel ini merupakan kelanjutan dari kelanjutan dari artikel Melacak Jejak-jejak Demokrasi Dalam Islam Bag. 1

Perjalanan Demokrasi dalam Masyarakat Islam Pasca Nabi Muhammad (Saw.). 

Sepeninggal Nabi Muhammad (Saw.) nilai-nilai demokratis yang beliau ajarkan mulai pudar. Hal ini terjadi akibat pertentangan dan persaingan kekuasaan yang menghebat.
Pada peralihan kekuasaan setelah wafatnya beliau ke tangan penggantinya Abu Bakar proses demokrasi dapat berjalan baik meski agak alot. Karena setiap kabilah Arab merasa berhak memegang tampuk kepemimpinan. Di balai pertemuan Bani Saadah di Madinah, Abu Bakar terpilih dengan dukungan mayoritas melalui bai’at atas kepemimpinannya.

Berdasarkan pengalaman peralihan kekuasaan pada masanya yang alot, maka Abu Bakar menunjuk penggantinya secara langsung sebelum ia wafat untuk memegang tampuk khalifah.

Abu Bakar digantikan Umar bin Khattab. Takut terjadi kericuhan dan kealotan dalam peralihan kekuasaan selanjutnya, Umar menunjuk enam orang untuk bermusyawarah menetapkan penggantinya. Pergantian kekuasaan setelah Umar berjalan lancar, dan terpilihlah Utsman bin Affan, meski ada rasa ketidakpuasan di antara orang-orang yang ditunjuk hingga menimbulkan friksi-friksi tajam.

Setelah Utsman terbunuh akibat ketidakpuasan daerah-daerah, peralihan kekuasaan menjadi semakin berdarah-darah. Pemilihan penggantinya Ali bin Abi Talib jauh dari tata cara yang sempurna.

Pada masa ini, sikap politik ummat Islam terbagi menjadi empat. Dua kekuatan besar menjadi mainstream yaitu: pendukung Ali dan pendukung khalifah terbunuh Utsman bin Affan yang diwakili oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.

Pandangan politik pendukung Ali selanjutnya terlembaga menjadi sebuah ideologi dan sekte agama, yaitu Syi’ah.

Kelompok ketiga adalah orang-orang yang anti kelompok pertama dan kedua, kelompok ini menamakan diri Khawarij. Khawarij berusaha melakukan pembunuhan politik terhadap tokoh-tokoh kelompok pertama dan kedua, karena beranggapan bahwa mereka adalah biang keladi perpecahan ummat. Selanjutnya kelompok keempat adalah orang-orang yang tidak mengambil peran dalam konflik politik ini. Mereka menghindar sambil menyerahkan permasalahan ini kepada Allah untuk diselesaikan pada Hari Pembalasan, kelompok ini bernama Murji’ah.

Munculnya empat golongan ini terjadi pada akhir masa kekuasaan para sahabat dekat Nabi Muhammad (Saw.).

Dalam sejarah Islam pemerintahan empat sahabat dekat beliau merupakan rujukan kedua, sebagai bentuk pemerintahan ideal pasca pemerintahan Nabi Muhammad (Saw.).

Bersambung ke Melacak Jejak-jejak Demokrasi Dalam Islam Bag. 3

-----------------------------------
Oleh : Farhan Kurniawan
Sumber : bongkarhti.blogdetik.com
Demokrasi Dalam Islam

Islam dan Demokrasi

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Aristoteles dalam bukunya “Organon” bab Retorika ketika menyandingkan bentuk-bentuk pemerintahan dalam: Demokrasi, Oligarki, Aristokrasi, dan Monarki mendefinisikan pemerintahan demokrasi sebagai jika kekuasaan dalam pemerintahan itu dibagi-bagi menurut pemilihan atau kesepakatan.

Ibn Rusyd (Averroes) seorang filosof muslim Andalusia termasyur sekaligus pensyarah buku-buku Aristoletes menerjemahkan demokrasi dengan “politik kolektif” (as siyasah al jama’iyah).

Sedang dalam ilmu sosiologi, demokrasi adalah sikap hidup yang berpijak pada sikap egaliter (mengakui persamaan derajat) dan kebebasan berpikir.

Meski demokrasi merupakan kata kuno, namun demokrasi moderen merupakan istilah yang mengacu pada eksperimen orang-orang Barat dalam bernegara sebelum abad XX.

Orang-orang Islam mengenal kata demokrasi sejak jaman transliterasi buku-buku Yunani pada jaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para filosof muslim jaman pertengahan seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd ketika membahas karya-karya Aristoteles.

Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak jaman Nabi Muhammad (Saw.), termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syuro), kebebasan mengkritik penguasa, kebebasan berpendapat.

Sikap bebas dan demokratis merupakan ciri kehidupan yang hilang dari tengan-tengah sebagian besar ummat Islam pada saat ini, baik dalam bermasyarakat maupun bernegara.


Nabi Muhammad SAW. dan Sikap Demokratis.


Buku-buku sejarah mencatat bahwa di luar otoritas keagamaan yang menjadi tugas utamanya, Nabi Muhammad (Saw.) merupakan tokoh yang demokratis dalam berbagai hal. Bahkan ketika terjadi kasus-kasus yang tidak mempunyai sandaran keagamaan (wahyu) beliau bersikap demokratis dengan mengadopsi pendapat para sahabatnya, hingga memperoleh arahan ketetapan dari Allah.

Sikap demokratis Nabi Muhammad (Saw.) ini barangkali merupakan sikap demokratis pertama di Semenanjung Arabia, di tengah-tengah masyarakat padang pasir yang paternalistik, masih menjunjung tinggi status-status sosial klan, dan non-egaliter.
Beberapa contoh yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad (Saw.) merupakan seorang demokrat adalah:

Ketika Nabi Muhammad (Saw.) diminta suku-suku Arab menjadi penguasa sipil (non-agama) di luar status beliau sebagai pemegang otoritas agama, beliau mengambil pernyataan setia orang-orang yang ingin tunduk dalam kekuasaan beliau sebagai tekhnik memperoleh legitimasi kekuasaan. Pernyataan setia ini dikenal dalam sejarah Islam sebagai “Bai’at Aqabah I & II”. Dari titik ini para ulama Islam sejak dulu menegaskan bahwa kekuasaan pada asalnya di tangan rakyat, karena itu kekuasaan tidak boleh dipaksakan tanpa ada kerelaan dari hati rakyat. Pernyataan kerelaan itu dinyatakan dalam bentuk “pernyataan setia” atau bai’at.

Berdasarkan prinsip ini maka ajaran Islam menolak kudeta atau merebut kekuasaan secara inkonstitusional, karena kudeta merupakan bentuk pernyataan sepihak sebagai penguasa. Sedangkan legitimasi kekuasaan harus diperoleh dari rakyat secara sukarela tanpa ada paksaan apapun.

Setelah Nabi Muhammad (Saw.) bermigrasi ke Madinah, beliau mengangkat budak kulit hitam Ethiopia yang bernama Bilal menjadi pengumandang panggilan shalat (azan). Posisi ini merupakan sebuah kedudukan prestisius bagi seorang budak kulit hitam dalam belantara kabilah-kabilah Arab yang terhormat.

Ketika beliau membentuk negara pertama kali dalam Islam, yaitu negara Madinah yang multi agama. Beliau tidak menggunakan Al Quran sebagai konstitusi negara Madinah. Karena Al Quran hanya berlaku bagi orang-orang yang mempercayainya, yaitu kaum muslimin. Beliau menyusun “Piagam Madinah” berdasarkan kesepakatan dengan orang-orang Yahudi sebagai konstitusi negara Madinah. Pada masa negara Madinah ini pula beliau mengenalkan konsep “bangsa” (al ummah) sebagai satu kesatuan warga negara Madinah tanpa membedakan asal-usul suku.

Nabi Muhammad (Saw.) mendirikan negara Madinah ini berdasarkan kontrak sosial (al ‘aqd al ijtima’i) antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi, Kristen, dan kaum Arab pagan yang berdiam di Madinah. Piagam Madinah berisi prinsip-prinsip interaksi yang baik antarpemeluk agama; saling membantu menghadapi musuh yang menyerang negara Madinah, menegakkan keadilan dan membela orang yang teraniaya, saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama.

Sewaktu Perang Badar, perang pertama kali dalam sejarah Islam antara kaum muslimin dengan orang-orang Arab pagan, Nabi Muhammad (Saw.) menanggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat sahabatnya dalam menyusun strategi perang yang jitu.

Bersambung ke Melacak Jejak-jejak Demokrasi Dalam Islam Bag. 2

-----------------------------------
Oleh : Farhan Kurniawan
Sumber : bongkarhti.blogdetik.com