Puasa Ramadhan Sebagai Sarana Membangun Budaya Disiplin

Ngainun Naim
IPNU Trenggalek - Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya. Spirit utama yang ingin saya angkat dalam tulisan ini sama seperti tulisan sebelumnya, yaitu bagaimana disiplin bisa menjadi budaya. Memang dibutuhkan usaha yang keras dan terus-menerus agar disiplin menjadi budaya dalam masyarakat kita.

Salah satu yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk membangun budaya disiplin adalah melalui puasa di bulan ramadhan. Puasa ramadhan itu perintah Allah kepada umat Islam. Saat puasa, umat Islam dilarang makan, minum, dan melakukan hubungan seks karena dapat membatalkan puasanya. Perjuangan selama sebulan menjalankan ibadah puasa memberikan banyak manfaat kepada umat Islam.

Berkaitan dengan judul tulisan ini, saya akan coba sesuai kemampuan saya untuk menggali nilai-nilai yang dapat dijadikan untuk membangun tradisi disiplin. Kalau hasilnya tidak sesuai pendapat Anda, saya mohon koreksinya. Tetapi jika Anda sepakat, mari kita perkuat dan sosialisasikan demi kebaikan bersama. Penggalian nilai-nilai ini penting sebagai basis untuk membangun langkah-langkah strategis bagi pembudayaan disiplin.

Pertama, mengelola diri. Kemampuan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan itu membutuhkan kemampuan mengelola diri yang baik. Kita bisa saja membatalkan puasa saat tidak ada orang yang tahu. Tetapi saat kita mampu mengelola diri, hal semacam itu tentu tidak kita lakukan. Kita akan tetap bertahan sekuat tenaga agar segala godaan yang dapat membatalkan puasa dapat ditepis. Hal yang sama juga terjadi pada disiplin. Disiplin itu juga membutuhkan kemampuan mengelola diri. Jika kita mampu mengelola diri saat puasa, seharusnya kemampuan ini kita tindaklanjuti dan terjemahkan dalam perilaku hidup sehari-hari.

Kedua, puasa yang berkualitas jika dilandasi oleh kesadaran yang tinggi. Kesadaran itu penting artinya untuk menentukan kualitas sebuah aktivitas. Puasa itu membutuhkan pengetahuan yang memadai agar ibadahnya memenuhi syarat rukun sehingga sah menurut hukum Islam. Tetapi pengetahuan saja belum cukup. Banyak orang yang tahu tetapi tidak menjalankan. Banyak orang yang mengerti tetapi justru tidak menjalankan atau malah melanggar. Karena itu, pengetahuan haruslah dilandasi kesadaran untuk menjalankan. Landasan kesadaran itu penting karena dapat menentukan kualitas pelaksanaan dan penghayatan. Demikian juga dengan disiplin. Banyak orang yang mengetahui dengan baik bahwa disiplin itu penting artinya, tetapi karena tidak dilandasi oleh kesadaran maka disiplin itu pun tidak diwujudkan dalam perilaku. Bahkan tidak jarang—atau justru merasa bangga—saat melanggarnya. Kesadaran akan menjadi landasan yang makin memperkokoh arti dan makna disiplin dalam tataran pelaksanaannya.

Ketiga, pelaksanaan puasa adalah bukti nyata bagaimana menjalankan disiplin yang sesungguhnya. Puasa itu memiliki ketentuan waktu yang sangat jelas; kapan mulai dan kapan di akhiri. Semua orang yang berpuasa menaati aturan ini dengan begitu disiplin. Kurang satu menit pun orang tidak berani berbuka karena memang belum waktunya. Nah, ini jelas pembelajaran yang sangat berarti. Semestinya kedisiplinan ibadah puasa itu tidak berhenti hanya sebatas ibadah puasa saja. Idealnya harus ditindaklanjuti dalam berbagai aspek kehidupan. Puasa sebulan itu merupakan sarana pembelajaran yang sangat berarti untuk menjadi kebiasaan lain yang penuh disiplin.

Keempat, puasa itu memberikan pengharapan kepada yang menjalankannya. Pengharapan itu ada dua, yaitu pengharapan datangnya waktu berbuka dan pengharapan pada kehidupan kelak di akherat. Hal ini bermakna bahwa ibadah puasa itu memiliki nilai eskatologis yang sangat positif bagi manusia agar kehidupan yang dijalani ini memiliki vitalitas dan spirit yang lebih besar. Disiplin sesungguhnya juga memiliki pengharapan. Orang yang sukses adalah orang yang memiliki budaya disiplin yang tinggi. Negara yang maju juga negara yang memiliki budaya disiplin tinggi. Karena itulah, disiplin yang dilaksanakan secara konsekuen juga memiliki titik pengharapan yang tinggi juga.


Empat aspek tersebut hanyalah sebagian dari nilai-nilai yang dapat diaktualisasikan dalam kerangka membangun budaya disiplin. Memang bukan hal mudah untuk melakukannya, tetapi jika kita terus menyadari dan menyosialisasikannya secara luas, saya kira bukan mustahil disiplin akan menjadi budaya. Pada titik inilah, disiplin telah menjadi identitas. Hal ini senada dengan apa yang pernah disinyalir oleh Aristoletes bahwa KITA ADALAH APA YANG KITA LAKUKAN BERULANG-ULANG. Jika kita berulang-ulang telah melakukan disiplin, saya kira itulah jati diri kita. Semoga.

Penulis : Ngainun Naim (Pengajar STAIN Tulungagung Jawa Timur. Bisa dikunjungi di http://ngainun-naim.blogspot.com)
Sumber : Blog Ngainun Naim