Beasiswa Kursus Bahasa Inggris (IPNU)
IPNU Trenggalek - IPNU Jawa Timur bekerjasama dengan Perth Institute (PI) Pare Kediri memberikan Beasiswa Kursus Bahasa Inggris kepada kader IPNU/IPPNU di seluruh Jawa Timur. Beasiswa ini berupa bebas biaya pendidikan selama 1 bulan di Perth Institue, Jl. Anyelir No. 55a Tulung Rejo Kec. Pare Kab. Kediri Jawa Timur.


Syarat Pendaftaran :
  1. Usis 19-27 Tahun;
  2. Aktif mengikuti kegiatan IPNU;
  3. Tidak sedang mendapatkan beasiswa dari pihak lain.
Ketentuan :
  1. Mengisi Formulir pendaftaran;
  2. Fotocopy ijazah terakhit 2 lembar;
  3. Fotocopy transkrip nilai ijazah terakhir 2 lembar;
  4. Fotocopy sertifikat kegiatan IPNU/IPPNU (Makesta, Lakmud, dll);
  5. Fotocopy KARTANU 2 lembar;
  6. Surat keterangan aktif di IPNU/IPPNU dari PC IPNU/IPPNU setempat;
  7. Surat rekomendasi dari PC IPNU/IPPNU setempat;
  8. Foto 3x4 memakai almamater IPNU/IPPNU sebanyak 4 lembar.
Tempat Kursus
Perth Institue, Jl. Anyelir No. 55a Tulung Rejo Kec. Pare Kab. Kediri Jawa Timur

Lain-lain:
  1. Pendaftaran terakhir tanggal 5 November 2013.
  2. Pengumuman hasil : 7 November 2013.
  3. Mulai pendidikan : 10 November 2013.
  4. Download brosur disini.
Hal-hal terkait silahkan hubungi Student Crisis Center (SCC) Jatim : (031)92040456/ 085755556713 atau kunjungi website IPNU Jatim.
IPNU Trenggalek Kisah Sahabat Bilal

IPNU Trenggalek - Setelah Rasulullah SAW wafat pada tahun ke-11 H, Bilal merasakan hari-harinya dipenuhi dengan kerinduan dan kenangan hidup yang mendalam bersama Nabi. Tak tahan itu terus mengganggu hari-harinya, ia pun berhijrah ke Syam (Suriah, sekarang). Namun, kenangan dan kerinduannya akan Rasul selalu ada dalam benaknya.

Suatu malam, ia bermimpi. Orang yang dikasihinya hadir dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Rasul bertanya kepadanya. “Kebekuan apakah ini hai Bilal? Bukankah sudah waktunya engkau mengunjungiku?” Maksudnya sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal.

Spontan Bilal terjaga dari tidurnya. Ketakutan dan kesedihan tidak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Secepat kilat ia meraih tunggangannya. Meluncur menuju Madinah Al-Munawarah. Sesampai di kuburan Rasulullah, tanpa terasa air matanya tumpah. Ia bolak-balikkan wajahnya di atas pusara kekasihnya (Nabi SAW).

Al-Hasan dan Al-Husain, cucu Rasulullah, mengetahui hal itu. Mereka mendatangi Bilal. Segera Bilal memeluk dan mencium rindu keduanya. Sejurus kemudian, mereka berkata, “Duhai Bilal, kami ingin sekali mendengarkan lantunan azanmu laiknya engkau azan untuk kakek kami di Masjid ini dulu.” Bilal kemudian mengumandangkan azan, sesuai dengan keinginan kedua cucu Rasul itu.

Maka ketika ia mengumandangkan, “Allahu Akbar”, Kota Madinah gempar. Saat melanjutkan, “Asyhadu alla Ilaha Illallah” kegemparan itu makin menjadi-jadi.

Kala meneruskan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, para warga Madinah keluar dari rumahnya seraya bertanya-tanya. “Bukankah Rasulullah telah diutus?” Maksudnya mereka heran dan kaget seolah-olah Rasulullah hidup lagi. Tidak ada hari sepeninggal Rasulullah di Madinah terlihat banyak orang yang menangis baik perempuan maupun laki-laki kecuali hari itu.

Kisah sahabat Bilal ini diriwayatkan -di antaranya- oleh Imam as-Samanhudi dalam Wafa’ul Wafa’ (4/1405) dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq/Sejarah Damaskus (7/137). Kisah ini setidaknya memberi lima pelajaran. Pertama, mimpi bertemu Rasulullah adalah hak. “Dan siapa saja yang melihat Rasulullah dalam tidurnya maka dia benar-benar telah melihatnya SAW, karena setan tidak bisa menyerupainya.” (HR Bukhari-Muslim).

Ahli hadis abad ke-21 dari Lebanon, Abdullah Al-Harari (w. 2008) menafsiri bahwa seseorang yang pernah bermimpi bertemu Rasulullah maka insya Allah ia akan meninggal husnul khatimah.

Kedua, ziarah ke pusara Rasulullah merupakan amalan yang baik. Ketiga, menangis dan mencium pusara Rasulullah sebagai ekspresi cinta dan kerinduan adalah hal yang wajar. Rasulullah bersabda, “Seseorang akan dikumpulkan kelak dengan orang yang ia cintai.” (HR Al-Bukhari).

Keempat, azan hendaknya dikumandangkan dengan suara yang nyaring. Sebagaimana Bilal yang bersuara lantang dan ketika azan naik ke atap Masjid an-Nabawi. Kelima, ziarah kubur dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat …” (HR Al-Hakim).

Semoga kita termasuk orang-orang yang rindu kepada Rasulullah, sebagaimana Bilal rindu kepadanya. Testimoni Umar bin Al-Khattab, “Abu Bakar adalah sayyiduna (pemimpin kita) dan yang telah memerdekakan sayyidana, (Bilal).” Wallahu A’lam. 

Sumber : republika.co.id
Peta Sumber Daya Alam

Sejarah selalu berulang. Apa yang dapat kita pelajari dari peristiwa ’65 selain sejarah itu sendiri dan kepentingan rekonsiliasi? Bagaimana menempatkan, sekaligus mengambil pelajaran, dari kasus ’65 dalam konteks konflik sumber daya alam (SDA) di Indonesia masa kini dan yang akan datang? Tulisan ini melihat beberapa kemiripan diantara keduanya, dan bertolak dari situ tulisan ini merumuskan agenda gerakan.

Asia Tenggara 1930-60

Dalam buku Moral Economy of Peasant Rebellion in South East Asia (Scott, 1976) disebutkan bahwa pada tahun 1930-an terjadi beberapa pemberontakan petani di Asia Tenggara seperti di Vietnam, Burma, Indonesia, dan Filipina (yang sekarang). Prakondisi sosial-ekonomi yang melatarbelakangi pemberontakan petani adalah kolonialisasi dan krisis ekonomi di tahun 1930-an yang diikuti oleh kenaikan pajak yang dikenakan kepada para petani.

Beberapa dekade kemudian kaum pergerakan di masing-masing daerah di Asia Tenggara tersebut menemukan formula nasionalisme sebagai antitesis terhadap kolonialisme, sekaligus mencoba menjawab eksploitasi yang nyaris tanpa batas oleh penjarah di kawasan ini. Indonesia sendiri merdeka sekitar satu setengah dekade setelahnya.

Pasca kemerdekaan di tahun 1945, di bawah Soekarno, Republik Indonesia (RI) melakukan gerakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada tahun 1957-59. Politik nasionalisasi ini berhasil memindahtangankan kepemilikian 90% perkebunan ke tangan pemerintah RI, 62% nilai perdagangan luar negeri, dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank, perkapalan, dan sektor jasa (Kanumoyoso, 2001).

Zaman terus bergulir, pada tahun 1965, dalam kondisi perang dingin yang semakin memanas, melalui sebuah kudeta yang merangkak, Soekarno didongkel dari kursi kepresidenan dan diganti oleh Jenderal Soeharto yang disokong penuh oleh kekuatan global, Amerika Serikat (Klein, 2008). Dan sejak saat itulah secara perlahan kekuatan kapital internasional mencengkeramkan kuku-kukunya untuk menjarah hampir seluruh penjuru negeri, sampai sekarang.

Peristiwa ’65 telah menyebabkan hilangnya pekerja-pekerja kebudayaan terbaik di masanya, dan karena lazimnya dalam semua peradaban bahwa para pekerja kebudayaan adalah para penantang terdepan setiap bentuk eksploitasi dan fasisme, maka kemusnahan mereka secara massal telah memuluskan rezim birokratik-militeristik otoriter Orde Baru untuk berkuasa penuh selama 32 tahun (Supartono, 2000) dengan cara menumpuk hutang luar negeri dan melego kekayaan alam.

Konflik SDA di Indonesia pada tahun 2013

Konflik di bidang SDA adalah salah satu permasalahan besar di Indonesia pasca reformasi. Sepanjang tahun 2013 yang masih berlangsung saja telah terjadi 232 konflik SDA di 98 kabupaten kota di 22 provinsi yang diiring dengan jatuhnya korban sebagain besar dari kalangan kaum tani. Dari sebanyak 232 konflik SDA yang melibatkan petani ini, 69% di antaranya dengan korporasi (swasta), Perhutani 13%, taman nasional 9%, pemerintah daerah 3%, instansi lain 1% (Kompas, 16/02/2013), dan sisa 5% lainnya tidak dijelaskan oleh Kompas.

Kemiripan ’65 dan Pasca-Reformasi

Ada beberapa kemiripan antara apa yang terjadi dalam periode 1930-60-an dengan apa yang terjadi di Indonesia sejak Reformasi 1998 sampai sekarang.

Kemiripan pertama, tengah terjadi perubahan yang mendasar dalam hal tata kelola kenegaraan. Pada kurun 1930-60, gelombang nasionalisme telah meruntuhkan penjajahan yang telah bercokol selama berabad-abad. Kemerdekaan datang, maka berubahlah sistem kolonial menjadi negara-bangsa. Masa pergerakan dan transisi menuju kemerdekaan ini rupanya, seperti yang sudah disampaikan di atas, sampai memengaruhi kehidupan kaum tani dalam hal pajak yang meningkat di zaman kolonial.

Pasca-Reformasi 1998; disadari atau tidak, sedang terjadi juga perubahan besar-besaran dalam hal tata kelola bernegara di Indonesia. Tonggak-tonggak yang paling dapat dilihat adalah desentralisasi yang memberikan kekuasaan lebih besar terhadap pemerintah kabupaten/kota. Akan tetapi, hal yang jarang disadari adalah bahwa konfigurasi triad lama “negara-korporasi-masyarakat” secara perlahan juga mulai berubah menjadi “korporasi+negara-masyarakat”. Negara Orde Baru yang otoriter telah tumbang berganti dengan Negara Pasca-Reformasi yang menjadi perpanjangan tangan kapital.

Ada beberapa fakta pendukung untuk lahirnya konfigurasi baru ini. Hukum yang tadinya berfungsi untuk melayani warga negara dan melindunginya dari tindakan kesewenang-wenangan yang mungkin terjadi, telah berubah menjadi instrumen yang menyukseskan peneterasi kapital lebih dalam di sektor ekstraksi.

Contoh pertama lahir dari kasus Lumpur Lapindo. Pada Agustus 2009, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan perkara (SP3) yang membuat penyelidikan terhadap kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diproses lebih lanjut di pengadilan (Batubara, 2011). Keluarnya SP3 ini menafikan analisis yang menyatakan bahwa bencana Lumpur Lapindo terjadi karena selubung pengeboran di sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) dipasang lebih pendek dari yang direncanakan (Tingay et al. 2008; Batubara dan Utomo, 2012; Batubara 2013), dan dengan demikian, ia adalah sebuah bencana industri, alias kejahatan korporasi.

Contoh kedua datang dari kasus ekspansi PT Semen Gresik (SG) ke Pegunungan Kendeng Utara (PKU) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), dimana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati dicoba disesuaikan dengan kepentingan ekspansi PT SG. Kawasan PKU yang dalam RTRW 1993-2012 Kabupaten Pati, masuk dalam kawasan pertanian dan pariwisata, mau diubah peruntukannya menjadi kawasan industri dan pertambangan dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029. Di sini kita melihat bahwa dokumen RTRW justru mau “disesuaikan”untuk kepentingan ekspnasi PT SG ke PKU di Kabupaten Pati (Batubara, dkk. 2010).

Contoh ketiga adalah kemenangan korporasi dalam kasus uji materiil kasus Lumpur Lapindo dan Sorikmas Mining di Mahkamah Agung (Batubara, 2012).

Dari ketiga contoh di atas, tak ada jalan lain, seseorang harus menyimpulkan bahwa di bidang hukum, isu sudah bergerak dari “tidak adanya penegakan hukum” ke “hukum yang sudah ditunggangi oleh kepentingan ekspansi kapital dan pada saat yang bersamaan mengabaikan kepentingan masyarakat.” Lebih lanjut, negara sudah tidak lagi berfungsi sebagai regulator dalam formasi konvensional triad “negara-korporasi-masyarakat”, tetapi sudah berubah menjadi kacung dalam formasi yang sedang menjadi “korporasi+negara-masyarakat”.

Artinya, untuk melihat kemiripan dengan peristiwa sejarah di tahun 1930-60-an, sekarang ini sedang terjadi perubahan tata kelola kenegaraan kita dari negara Orde Baru yang sentralistik dan sangat kuat, menjadi negara Pasca-Reformasi yang terdesentralisasi dan secara perlahan berubah menjadi perpanjangan tangan kapital. Dan ini, rupanya, menyenggol juga kepentingan kaum tani sehingga memicu munculnya 232 konflik SDA di tahun 2013 yang masih berjalan dengan mayoritas di antaranya (65%) adalah konflik petani versus korporasi(+negara).

Kemiripan kedua adalah menguatnya politik nasionalis. Pada zaman 1930-60-an hal ini ditandai dengan keberhasilan kaum pergerakan kemerdekaan memformulasikan permasalahan mereka di dalam konsep nasionalisme dan dengan itulah mereka keluar dari kungkungan kolonial.

Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi kepala daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) adalah salah satu bukti dari penguatan kelompok nasionalis. Jokowi yang sebelumnya merangkak dari bahwa sebagai pengusaha mebel, menjadi Walikota Solo, dan seterusnya Gubernur DKI, memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi presiden RI pada pemilu 2014 mendatang. Prediksi ini didukung oleh tingkat keterpilihan Jokowi sebagai calon presiden yang sangat tinggi dari berbagai penelitian yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga survei dan menjadi berita di berbagai media.

Kenaikan Jokowi menjadi tonggak menguatnya ideologi nasionalisme yang bahkan pada era Megawati Soekarnoputri pun kehilangan artikulasinya. Alih-alih melakukan politik nasionalisasi seperti halnya Soekarno pada tahun 1957-59 seperti yang disinggung di atas, Megawati malah melakukan hal sebaliknya dengan melego sejumlah BUMN ke pasar internasional. Sebaliknya, Jokowi, meskipun baru saja naik menjadi Gubernur DKI, langsung mencoba menemukan kembali artikulasi ideologi nasionalisme melalui usahanya untuk mengambil alih perusahaan minum yang melayani masyarakat di DKI, Palyja, dari tangan investor internasional yang berasal dari Perancis (Hidayat, 2013).

Kalau Jokowi berhasil dengan percobaannya mengambil alih Palyja di DKI, maka ekstrapolasi yang akan keluar adalah: Jokowi akan menjadi Presiden RI pada tahun 2014, dan akan memulai politik nasionalisasi perusahaan asing yang lebih luas, atau setidaknya ia akan terus-menerus mencoba mengartikulasikan kembali ideologi nasionalisme dalam ranah ekonomi-politik.

Skenario ini mengantarkan kita pada kenyataan bahwa kapital nasional dan internasional pasti tidak akan tinggal diam. Mereka akan bergerak memobilisasi segala sumber daya yang mereka miliki untuk menjaga kepentingan ekstraksinya di Indonesia. Dan, di titik ini, kasus ’65 bukan lagi sejarah, tetapi ia adalah hal yang di depan mata.

Kemiripan ketiga; dalam diskursus mengenai ’65 yang berkembang, kalangan Nahdliyin terlibat sangat jauh sebagai mesin penjagal kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) ataupun kelompok yang berafiliasi (secara struktural dan idelogis) dengannya. Tetapi cara pandang lain bisa juga ditampilkan, bahwa Nahdliyin juga adalah korban dari peristiwa ini karena pada kenyataannya, bukan tidak ada korban ’65 dari kalangan santri. Lebih jauh, Nahdliyin sebagian besar pada waktu itu adalah dari kalangan petani pedesaan dengan tingkat kemelekan yang rendah. Dan dengan demikian, agenda riset yang harus dirangsang di titik ini adalah melihat kalangan Nahdliyin sebagai korban skenario politik kalangan yang lebih melek yang mengambil untung dari peristiwa ’65.

Pola yang sama sudah memperlihat bentuknya dalam berbagai konflik SDA di basis Nahdlatul Ulama (NU). Kita dapat melihat beberapa kasus seperti konflik pembangkit listrik tenaga uap di Kabupaten Batang, kasus konflik rencana pembangunan pabrik semen di PKU Kabupaten Pati, konflik tambang pasir besi Urutsewu di Kebumen Selatan, dan konflik bahan galian C di Kabupaten Mojokerto (FN-KSDA, 2013). Dalam semua kasus yang disebutkan di atas, pola yang terjadi adalah perbedaan aspirasi (kepentingan) antara elit NU dengan kelompok akar rumput yang sebagian besar adalah petani. Di satu sisi, elit NU merestui ekspansi kapital dan, dalam beberapa kasus, bahkan menjadi bagian dari proses ekspansi kapital itu sendiri dengan jalan mengambil posisi perantara; di sisi lain kelompok akar rumput bergerak menolak ekspansi kapital di bidang industri ekstraktif ini karena mereka merasa penghidupannya terganggu. Pola seperti ini juga ditemukan dalam kasus tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi. Bahkan lebih jauh, dalam kasus eksplorasi beberapa perusahaan minyak dan gas (migas) di Madura, Kiai bahkan mengambil posisi memuluskan jalan perusahaan migas untuk membebaskan lahan dan memastikan proses eksplorasi tidak mengalami gangguan. Tak pelak, hal ini kemudian memunculkan istilah “Kiai Migas” di Madura (Hakim, 2010).

Untuk melihat kemiripan dengan kasus ’65, maka dalam kasus konflik SDA sekarang seperti yang sudah diuraikan dalam pragraf sebelumnya, yang bisa kita lihat adalah polarisasi kepentingan di kalangan NU sendiri yang (kira-kira) mengerucut ke konflik elit vs akar rumpur di kalangan santri. Kalau skenario politik nasional di atas berjalan, dalam artian Jokowi naik menjadi presiden di 2014 dan ia konsisten dengan artikulasi ideologi nasionalismenya yan kemudian disusul dengan bergeraknya kekuatan kapital di sektor ekstraktif untuk mengamankan asetnya, maka, kasus ’65 bukan sebuah sejarah masa lalu, tetapi kita harus sudah siap menghadapinya. Karena, tinggal dibutuhkan satu gerakan yang secara aktif melakukan ideologisasi untuk memperruncing friksi elit vs akar rumput di kalangan santri, maka konflik berdarah akan terulang. Ini artinya, kelompok petani-santri di pedesaan akan kembali menjadi korban.

Gus Dur dan SDA

Apa yang bisa diambil dari Gus Dur dalam hal tata kelola SDA di Indonesia? Gus Dur adalah seorang nasionalis tulen. Dalam sebuah orasi di hadapan massa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Malang, sehubungan dengan SDA, Gus Dur menyatakan bahwa “Ada tiga macam sumber alam, itu harus direbut kembali, dipakai untuk memakmurkan Bangsa kita…Satu, sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan laut (Gus Dur, –).”

Pesan di atas sebenarnya terartikulasikan dalam sikap yang lebih konkrit dalam kasus pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Jepara, ketika Gus Dur mengancam akan mogok makan apabila PLTN didirikan di Jepara. Pernyataan ini kemudian memobilisasi kantong-kantong NU untuk mengadakan perlawanan yang lebih masif menolak pendirian PLTN di Jepara (Fauzan dan Schiller, 2011).

Dalam kontestasi terhadap akses dan kontrol terhadap sumber daya yang lebih sengit  dalam kasus Lumpur Lapindo, Gus Dur meminta kepada salah satu kiai rakyat agar tidak menjual tanah mereka. Kelompok ini kemudian yang mengambil sikap paling radikal dalam kasus Lumpur Lapindo dengan memilih tidak menjual tanahnya kepada PT Minarak Lapindo Jaya, kasir PT Lapindo Brantas Inc., seperti yang diperintahkan oleh Peraturan Presiden 14/2007 (Batubara, 2010).

Terhadap gerakan petani internasional yang menyuarakan kedaulatan petani seperti organisasi petani se-dunia, La Via Campesina, Gus Dur sangat respek terhadap usaha para petani membangun gerakan alternatif terhadap penetrasi lembaga keungan dunia seperti International Monetary Fund (IMF) yang sangat merugikan petani (–, 2006).

Dari beberapa nukilan sikap Gus Dur di atas, artikulasinya jelas tanpa tedeng aling-aling. Gus Dur berdiri di belakang Soekarno dalam hal tata kelola SDA.

Agenda Gerakan

Dari penjelasan di atas, maka Nahdliyin tidak punya pilihan lain kecuali: bergerak. Miskinnya kotribusi Lesbumi dalam teks ’65 disebabkan oleh dua hal. Pertama, Lesbumi tidak terlalu aktif pada zaman itu. Kedua, pada zaman sekarang riset dengan mengambil kontribusi Lesbumi dalam kasus ’65 tidak terlalu banyak. Kedua argumen di atas pada dasarnya berujung pada satu titik yang sama: kelompok Lesbumi tidak secara aktif bergerak. Analisis ini sangat masuk akal, karena, kalau kita lihat dokumen Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pembukaannya disebut dengan “Muqaddimah”. Artinya, dari pemilihan kata “Muqaddimah”, secara logis sebenarnya lebih mudah “menarik” Lekra untuk bergabung dengan kalangan agama (santri), daripada untuk menariknya merapat ke kalangan komunis. Secara imajinatif, andai ia adalah “Manifesto”, maka secara logis akan lebih mudah menariknya bergabung dengan PKI. Tetapi, karena kerja pengorganisasian dan pergerakan yang tidak jalan, Lesbumi dan Lekra kemudian menjadi sangat jauh, dan justru sebaliknya, Lekra semakin dekat dengan PKI. Artinya, pengalaman ’65 yang memperlihatkan secara telanjang kurangnya pergerakan di kalangan santri, seharusnya tidak boleh terulang lagi.

Dengan demikian, agenda gerakan yang paling mendesak adalah pengarusutamaan isu konflik SDA di kalangan santri. Pengarusutamaan akan membuat kalangan santri melek dengan persoalan ini, dan dengan itu diharapkan akan meminimalisir friksi kepentingan antara elit dengan akar rumput.

Pengarusutamaan tidak boleh terpenjara di kalangan santri belaka, tetapi harus menjangkau kalangan yang lebih luas seperti kelompok “nasionalis” yang lain. Untuk kelompok nasionalis isu ini sebenarnya bukan isu yang baru, yang belum dilakukan adalah keluar dari skema korporasi dan negara predatoris yang sudah menjadi perpanjangan tangan korporasi serta membangun sebuah anjungan yang dari situ agenda gerakan bersama didifusikan.

Keluar dari skema korporasi bukanlah hal yang mudah, meski tentu saja ia bukan hal yang mustahil untuk dikerjakan. Kebangkrutan sistem korporasi datang dari dalam dirinya sendiri karena terlalu ekstraktif dalam memasilitasi akumulasi kapital pada satu atau sekelompok kaum kapitalis. Kapitalisme di sini, mengikut substansi yang disampaikan Marx (1982) mengambil pengertian yang paling mendasar sebagai proses yang melibatkan “uang yang bergerak” (money in motion) dimana orang membeli bukan untuk mengonsumsi, tetapi untuk menjual kembali agar mendapatkan nilai lebih dari sebuah komoditas. Korporasi, melalui eksploitasi terhadap SDA dan perkerjanya sendiri untuk mendapatkan nilai lebih komoditas, telah menjalankan pola ini selama berpuluh-puluh tahun. Ekstraksi SDA pada dasarnya adalah sebuah proses yang menceraikan para petani dari akses dan kontrol terhadap SDA seperti tanah. Proses ini, dalam kajian kontemporer, lazim disebut sebagai “akumulasi lewat jalan perampasan”, accumulation by dispossession (Harvey, 2003).

Kalau pada zaman pergerakan kemerdekaan RI, para kaum pergerakan telah menemukan rumus gerakan dalam bentuk nasionalisme sebagai antitesis terhadap kolonialisme yang menjadi struktur tata kelola pada waktu itu, maka Pasca-Reformasi, kita dapat mengajukan “kooperasi” sebagai antitesis terhadap “korporasi” yang melakukan akumulasi kapital dengan jalan merampas akses dan kontrol SDA dari tangan-tangan pemiliknya yang sah: petani. Kedaulatan petani dalam tata kelola SDA di sini diartikan sebagai kemerdekaan penuh di pihak petani untuk menentukan secara politik tata kelola yang layak bagi SDA yang mereka miliki.

Mengapa “kooperasi”? Pertama, kita mulai dari terminologi. Dalam Bahasa Indonesia, “kooperasi” berarti “bekerjasama”, sedangkan “koperasi” berarti “perserikatan yang bertujuan memenuhi keperluan kebendaan para anggotanya dengan cara menjual barang-barang kebutuhan dengan harga murah”. Terma “kooperasi” secara sadar dipilih sebagai antitesis terhadap “koperasi” karena tiga alasan: (1) Dalam konteks Orde Baru, lembaga-lembaga koperasi sudah dikooptasi oleh rezim birokratik-militeristik otoriter, koperasi tidak lagi menjadi lembaga yang melayani anggotanya, tetapi menjadi lembaga ekonomi tempat korupsi bersimaharajalela sekaligus menjadi mesin ideologisasi Negara Orde Baru; (2) Pasca-Reformasi, Undang-undang nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian membonsai “kooperasi” menjadi lembaga ekonomi semata dengan membaginya menjadi koperasi produsen, konsumen jasa, dan simpan pinjam. Pembonsaian ini menyebabkan koperasi kehilangan semangat gerakannya, menyimpang dari apa yang diharapkan DN Aidit yang membayangkan koperasi sebagai alat perjuangan kelas (1963). Spesifikasi lewat UU nomor 17/2012 ini pada dasarnya diambil dari spirit kapitalisme yang mengasumsikan bahwa spesifikasi dalam berbagai bidang akan meningkatkan produktivitas sebuah sistem, dalam hal ini koperasi; (3) Dengan dua argumen di atas, terma “kooperasi” yang diadopsi dari tulisan Mohammad Hatta (1954) terasa lebih pas tinimbang “koperasi”.  Dan dengan adanya usaha penegakan kedaulatan pemilik yang sah SDA lewat pengambilan kebijakan peruntukannya yang dimungkinkan lewat rapat tahunan anggota kooperasi, maka tata kelola yang tersentral atau cuma menjadi bagian dari usaha dakwah dalam bentuk kongsi dagang (Jarkom Fatwa, 2004) dapat dihindari.

Kedua, kita dapat melihat argumentasi ideologis seperti yang ada dalam UUD ’45. UUD ’45 menyatakan bahwa seharusnya perekonomian negara dikelola dengan azas kekeluargaan, dalam hal ini kooperasi adalah bentuk yang paling memungkinkan. Kenyataannya, Pasca-Reformasi yang menguat justru korporasi. Dengan demikian, ini adalah momen untuk mengembalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke khittah-nya dengan memberikan ruang pengelolaan SDA lewat kooperasi.

Ketiga, apakah mungkin mengelola bisnis besar di bidang SDA dengan struktur kooperasi? Hal ini bukan tanpa preseden. Kota Santa Cruz, Bolivia, yang memiliki 1,2 juta populasi, mengelola suplai air minum dengan pola kooperasi sejak tahun 1979, dan hingga saat ini merupakan salah satu penyedia air minum untuk publik yang terbaik di Amerika Latin. Semua pelanggan adalah anggota dari Cooverativa de Servicios Publicos Santa Cruz Ltda (SAGUAPAC) dimana para anggota memiliki hak untuk memilih pengurus kooperasi mereka.  Tata kelola popular seperti ini sudah muncul di beberapa tempat lain seperti Kemitraan Publik di Ghana, dan Kemitraan Publik-Pekerja di Dhaka (Brennan, et al. 2004). Di Cochabamba dan La Paz/El Alto, Bolivia, pasca “Perang Air” awal tahun 2000-an, privatisasi sumber daya air ditolak kehadirannya di kedua kota dan memberikan alternatif berupa tata kelola Kemitraan Publik, meskipun masih menyimpan kelemahan di sana sini seperti efektivitas pelayanan dan pegawai yang tidak profesional (Spronk, 2007), kelemahan yang juga sangat mungkin dimiliki oleh sektor privat.

Pengarusutamaan tata kelola SDA oleh kooperasi adalah langkah awal yang perlu dilakukan di tingkatan Nahdliyin untuk mewujudkan kedaulatan di bidang SDA. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengkonsolidasikan berbagai elemen Nahdliyin yang sudah secara jelas menyatakan sikapnya seperti Pengurus Besar (PB) NU, PB PMII, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), dan FN-KSDA.

PB NU, pada 2012, melalui Konferensi Besar (Konbes) di Cirebon, di bidang ekonomi merekomendasikan “renegosiasi kontrak-kontrak karya pertambangan agar memberi manfaat yang lebih besar bagi pemasukan Indonesia dan kesejahteraan warga” (PB NU, 2012). Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) malah memiliki tuntutan yang lebih tinggi. Pada tahun 2012 PMII menuntut dilakukannya nasionalisasi terhadap aset pertambangan dan energi (Anam, 2013 dan Rasyid, 2013). Sementara, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), menyatakan bahwa tujuan akhir dari tata kelola energi adalah kedaulatan dan ketahanan energi nasional. Bahkan lebih jauh, ISNU mendukung dilaksanakannya reforma agraria (Syeirazi, 2013). FN-KSDA sendiri menetapkan “tata kelola SDA yang berkedaulatan dan sebesar-besarnya bermanfaat bagi rakyat Indonesia” sebagai tujuannya (FN-KSDA, 2013). Akan tetapi secara organisatoris, hampir tidak ada gelombang advokasi yang masif dari kelompok NU terhadap warga yang mengalami persoalan konflik SDA. PB NU sendiri lebih banyak bermain di level regulasi seperti judicial review UU Migas, tetapi tidak banyak mendorong pengurus untuk turun ke bawah.

Pola pengambilalihan perusahaan swasta seperti Palyja yang sedang dilakukan Jokowo-Ahok di DKI, mungkin tidak akan berarti banyak karena struktur negara di Indonesia yang masih predatoris, dimana negara lebih berposisi sebagai akumulator kapital yang menindas ketimbang distributor.

Kalau sukses di internal Nahdliyin, maka dalam konteks NKRI, tantangan berikutnya adalah menaikkan yang “parsial” ini menjadi sesuatu yang “universal”, persisnya menggalang aliansi dengan berbagai kelompok ideologi yang lain seperti nasionalis agar kelompok santri tidak bekerja sendiri dalam upayanya menerjemahkan ajaran-ajaran Gus Dur menegakkan kedaulatan di bidang tata kelola SDA.

Sebaliknya, bagi kelompok nasionalis, pengalaman kehilangan artikulasi pasca tahun 1998, dimana terjadi banyak privatisasi perusahaan negara justru di bawah Megawati Soekarnoputri, harus dijadikan pelajaran agar tidak terjebak kembali dalam permasalahan yang sama: ketidaksiapan ideologis dalam mengelola kekuasaan.

Akhirnya, menguatnya artikulasi ideologi nasionalis belakangan ini yang sebenarnya bagus, sekaligus mengundang kekhawatiran. Kemunculan pemimpin populis seperti Jokowi tidak akan membawa Indonesia kemana-mana tanpa disokong oleh konsolidasi ideologi dan pengorganisasian politik yang solid di belakangnya. Dan, setidaknya sampai sekarang, itulah yang terjadi.

-----------

Penulis  : Bosman Batubara
Sumber : gusdurian.net
Sahabat Abu Mahdzuroh
IPNU Trenggalek - Nama beliau adalah Aus bin Rabiah bin Mi’yar bin Uraij bin Sa’ad bin Jumah. Ada yang mengatakan nama beliau adalah Salman bin Samurah, atau Salamah bin Samurah. Ada juga yang mengatakan nama beliau adalah Mi’yar bin Muhayriz. Berkata Abu Umar : Zubair dan pamannya serta Ibnu Ishaq Al Musayyabi bersepakat bahwa nama asli Abu Mahdzuroh adalah Aus. Mereka adalah orang yang paling mengerti dalam hal ansabu quraisy. Pendapat yang mengatakan beliau bernama Salamah adalah keliru.

Adz-Dzhabi, semoga Allah merahmatinya berkata : Abu Mahdzuroh adalah mu’adzdzin masjidil haram, dan termasuk sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dia termasuk orang yang suaranya merdu.

Suatu ketika Nabi menyuruh beberapa orang mengumandangkan adzan secara bergantian. Abu Mahdzuroh berkata, “Aku mendapat giliran terakhir. Ketika usai mengumandangkan adzan, Rasulullah memanggilku, ‘kemarilah !’ kata beliau. Rasulullah mendudukkanku di depanya, melepas serbanku, kemudian mengusap ubun-ubunku, kemudian beliau berdo’a :
اللهم بارك فيه، وأهده إلى الإسلام
“Ya Allah, berkahilah dia dan tunjukkan dia ke jalan Islam”
Beliau memberkahiku hingga tiga kali kemudian bersabda :
اذهب فأذن عند البيت الحرام
“Pergilah, kumandangkan adzan di Baitullah!”
Aku bertanya, “Bagaimana caranya Ya Rasulallah?”

Beliau mengajariku adzan sebagaimana para sahabat. Di waktu shubuh ada kalimat :
الصلاة خير من النوم
Dan beliau mengajarkan iqomah dua kali tiap-tiap kalimat.

Setelah Nabi mengusap ubun-ubunnya, Abu Mahdzuroh berkata, “Demi Allah, tak akan kupotong rambut ini sampai aku mati.

Benar! Abu Mahdzuroh membiarkan rambut ubun-ubunnya memanjang hingga separo tinggi badannya hingga beliau kembali ke rahmatullah karena usapan tangan mulia Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Beliau—semoga Allah meridhoinya—mengumandangkan adzan hingga wafat tahun 54 H. putranya maju menggantikan beliau, kemudian cucunya, turun temurun hingga masa Imam Asy Syafi’i

Tentang panjangnya rambut sahabat Abu Mahdzuroh ini, disebutkan dalam Al Mustadrak ala ash shohihain, juz 4 hal 658 :
أن أبا محذورة ، كانت له قصة في مقدم رأسه إذا قعد أرسلها فتبلغ الأرض ، فقالوا له : ألا تحلقها ؟ فقال : إن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم مسح عليها بيده ، فلم أكن لأحلقها حتى أموت . لم يحلقها حتى مات
Sesungguhnya Abu Mahdzuroh, mempunyai kisah tentang rambut bagian depannya yang panjang. Apabila beliau duduk dan menguraikannya, maka rambutnya menjuntai ke tanah
Teman-temannya berkata, “Mengapa tidak kau potong saja rambutmu?”

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah mengusapnya dengan tangan beliau. Aku tak akan memotongnya hingga mati”.

Demikianlah, beliau tak memotong rambut yang pernah disentuh tangan mulia Rasulullah hingga akhir hayatnya.

Wallahu a’lam bish showab

Sumber: forsansalaf.wordpress.com

Fiqih Haji Dan Umroh
IPNU Trenggalek - Salah satu rukun Islam adalah melaksanakan ibadah haji, dan wajib dilaksanakan sekali seumur hidup. Allah mewajibkan haji bagi kaum muslimin pada tahun ke sembilan Hijrah. Nabi saw. melakukan haji hanya sekali, yaitu haji wada'. Posting kali ini dibuat karena masih banyak orang islam yang awam masalah haji, sehingga orang setidaknya dapat mengetahui tentang masalah haji.

Posting kali ini berisi sedikit pengetahuan tentang ibadah haji dan semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Pembahasan dalam posting kali ini yaitu mengenai definisi haji, dalil haji, syarat haji, rukun haji, wajib haji, sunnah haji, hal-hal yang dilarang dalam ibadah haji, dan penenmtuan miqat haji. Semoga menjadi haji yang mabrur. Amiiin….

PENGERTIAN/DEFINISI HAJI

Pengertian haji banyak ditulis di buku-buku fiqih. Ada beberapa perbedaan di kalangan ulama mengenai pengertian haji ini, namun perbedaan-perbedaan tersebut bukan suatu yang prinsip, melainkan sebatas pada tataran redaksional saja.

Pengertian haji, secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa “Haji adalah berkunjung ke Baitullah, untuk melakukan Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan melakukan amalan - amalan yang lain dalam waktu tertentu (antara 1 syawal sampai 13 Dzul Hijjah) untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT”.

Haji diwajibkan atas kaum muslimin-muslimat yang sudah mampu satu kali seumur hidup.

MACAM/JENIS HAJI

  1. Haji Ifrad yaitu : mendahulukan Haji dari pada Umrah.Yaitu melakukan ihram hanya untuk haji dengan niat haji sejak dari rumah di kampung asalnya.
  2. Haji Tamattu‘ yaitu : mendahulukan Umrah baru kemudian Haji. Dengan arti melaksanakan umrah pada bulan-bulan haram, kemudian melaksanakan haji di tahun yang sama. Dalam hal ini, seorang muslim yang hendak melaksanakan haji tamattu` hendaknya berniat tamattu` sejak ia melangkahkan kaki meniggalkan negerinya,
  3. Haji Qiran yaitu : melaksanakan Haji sekaligus Umrah. Dengan arti menyatukan ihram untuk umrah dan haji pada satu kali bepergian.

Niat ihram untuk umrah dan haji dalam waktu yang sama dari miqat sambil mengucapkan:
" Aku penuhi panggilan-Mu haji dan umrah." Orang yang sedang berhaji qiran, sesampainya di Mekah langsung melaksanakan tawaf tujuh putaran, dengan berlari-lari kecil dalam tiga putaran pertama, kemudian Sai antara Safa dan Marwa. Selanjutnya menurut mazhab Hanafi dia memulai ibadah hajinya seperti haji ifrad tetapi menurut sebagaian besar ulama, haji qiran cukup dengan satu tawaf dan satu Sai, jika sudah selesai ia bertahallul dari umrah dan haji sekaligus.

HUKUM DAN DALILNYA

Haji hukumnya fardu bagi lelaki dan wanita sekali seumur hidup.
Dalil dari Alquran :
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ومن كفر فإن الله غني عن العالمين
Artinya: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."

Allah Taala mewajibkan haji bagi kaum muslimin pada tahun ke sembilan Hijrah. Nabi saw. melakukan haji hanya sekali, yaitu haji wada.

SYARAT-SYARAT HAJI

  • Menurut Mazhab Hanafi

  1. Islam, haji tidak wajib bagi orang kafir, hajinya tidak sah.
  2. Akal, tidak wajib bagi orang gila dan hajinya tidak sah.
  3. Balig, tidak wajib bagi bayi tetapi bila sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk) hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardu haji.
  4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak.
  5. Sehat jasmani.
  6. Memiliki bekal dan sarana perjalanan.
  7. Perjalanan aman.

Tambahan bagi wanita:
  1. Harus didampingi suami atau mahramnya.
  2. Tidak dalam keadaan iddah, baik karena cerai maupun kematian suami.

  • Menurut Mazhab Maliki

  1. Islam, haji tidak wajib bagi orang kafir, hajinya tidak sah.
  2. Akal, tidak wajib bagi orang gila dan hajinya tidak sah.
  3. Balig, tidak wajib bagi bayi tetapi bila sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang baik dengan yang buruk) hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardu haji.
  4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak.
  5. Kemampuan

Tambahan bagi wanita:
Tidak disyaratkan adanya suami atau mahram tapi boleh melaksanakan haji bila ada teman yang dianggap aman, baik bagi wanita muda atau tua.
  • Menurut Mazhab Syafi'i

  1. Islam, haji tidak wajib bagi orang kafir, hajinya tidak sah.
  2. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak.
  3. Taklif (sudah mukallaf, yaitu berkewajiban melaksanakan syariat)
  4. Kemampuan, dengan syarat sebagai berikut:
  5. Ada perbekalan, makanan dan lain-lain untuk pergi dan pulang.
  6. Ada kendaraan
  7. Perbekalan yang dibawa harus kelebihan dari pembayaran hutang dan biaya keluarga yang ditinggalkan di rumah.
  8. Dengan kendaraan yang sudah jelas bahwa tidak akan mengalami kesulitan.
  9. Perjalanan aman.

Tambahan untuk wanita:
Ada pendamping yang aman dengan seorang wanita muslimah yang merdeka dan tepercaya.
  • Menurut Mazhab Hambali

  1. Islam, haji tidak wajib bagi orang kafir dan hajinya tidak sah.
  2. Akal, tidak wajib bagi orang gila, hajinya tidak sah.
  3. Balig, tidak wajib bagi bayi tetapi bila sudah mumayyiz (bisa membedakan yang baik dengan yang buruk) hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardu haji.
  4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak.
  5. Kemampuan

Tambahan bagi wanita:
Harus diikuti oleh mahramnya atau orang yang haram menikahinya selamanya.

Empat Imam Mazhab sepakat mensahkan wali bagi si anak yang belum mumayyiz mewakili ihramnya, menghadirkannya di Arafah, meluntar jamrah baginya serta membawanya thawaf dan sa’i.

RUKUN HAJI DAN UMROH
  • Rukun Haji

Rukun haji adalah amalan-amalan haji yang apabila ditinggalkan maka batal hajinya. Dalam hal ini, di antara para fuqaha terdapat perbedaan pendapat;

A. Menurut Mazhab Hanafi, rukun haji ada dua, yaitu:
  1. wukuf di Arafah; dan
  2. Empat kali putaran dalam thawaf ifadhah sedangkan tiga kali putaran lainnya sekedar wajib.

B. Menurut Mazhab Maliki dan Hambali, rukun haji ada empat, yaitu:
  1. Ihram
  2. Thawaf ifadhah
  3. Sa’i, dan
  4. Wukuf di Arafat (hari Arafah).
C. Menurut Mazhab Syafi’i ada enam,yaitu:
  1. Ihram
  2. Thawaf Ifadhah
  3. Sa’i
  4. Wukuf di Arafat (hari Arafah).
  5. Memotong/menggunting rambut
  6. Tertib

Yang dimaksud tertib di sini adalah mendahulukan ihram dari semua amalan haji. Melaksanakan wukuf sebelum thawaf Ifadhah dan menggunting rambut, melaksanakan thawaf Ifadhah sebelum sa’i kecuali yang telah sa’i pada waktu thawaf qudum (bagi yang melaksanakan haji ifrad atau qiran), maka setelah thawaf ifadhah tidak diharuskan sa’i lagi.
  • Rukun Umrah

Mengenai rukun umrah juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, di antaranya adalah;
A. Menurut Mazhab Syafi'i ada lima yaitu:
  1. Ihram
  2. Thawaf
  3. Sa'i
  4. Memotong/menggunting rambut
  5. Tertib

B. Menurut Mazhab Maliki dan Hambali ada tiga, yaitu :
  1. Ihram
  2. Thawaf
  3. Sa'i

C. Menurut Mazhab Hanafi yaitu empat putaran thawaf, sedangkan yang tiga putaran lainnya hukumnya wajib.

Rukun haji atau umrah kalau ditinggalkan haji atau umrahnya belum selesai (tidak sah)

WAJIB HAJI DAN UMROH

Pengertian Wajib
Menurut bahasa wajib adalah (ثبت ولزم) artinya keharusan dan kepastian.
Menurut istilah adalah perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.
Wajib (haji/umrah) berbeda dengan rukun, karena apabila wajib haji dan wajib umrah ditinggalkan hajinya tetap sah, akan tetapi wajib membayar dam.

Wajib Haji
  • Menurut Mazhab Hanafi ada lima, yaitu:

  1. Sa'i
  2. Mabit (keberadaan) di Muzdalifah
  3. Meluntar jamaah
  4. Menggunting/ memotong rambut
  5. Thawaf Wada'.

  • Menurut Mazhab Maliki ada lima, yaitu :

  1. Mabit (keberadaan) di Muzdalifah
  2. Mendahulukan melontar jamrah aqabah dan menggunting rambut dan thawaf ifadhah pada hari Nahr (10 Dzulhijjah)
  3. Mabit di Mina pada hari Tasyriq (11 s/d 13 Dzulhijjah)
  4. Meluntar jamrah pada hari Tasyriq
  5. Menggunting/memotong rambut

  • Menurut Mazhab Syafi'i ada lima, yaitu:

  1. Ihram
  2. Mabit di Muzdalifah
  3. Meluntar jamrah aqabah (10 Dzulhijjah)
  4. Mabit di Mina dan meluntar jamrah pada hari hari Tasyriq
  5. Menjauhi larangan-Iarangan ihram.

  • Menurut Mazhab Hambali ada tujuh, yaitu :

  1. Ihram dari miqat
  2. Wukuf di Arafah sampai mencapai malam hari
  3. Mabit di Muzdalifah
  4. Mabit di Mina
  5. Melontar jamrah
  6. Memotong menggunting rambut
  7. Thawaf wada'.
Wajib Umrah

Para fuqaha berbeda pendapat mengenai wajib umrah;
  1. Menurut kalangan Syafi’iyah wajib umrah ada dua, yaitu ihram dari miqat dan menghindari semua larangan-Iarangan ihram.
  2. Menurut kalangan Hanafiyah, yaitu Sa’i di antara Shafa-Marwah dan memotong atau mencukur sebagian rambut.

Pada dasarnya sama dengan wajib haji menurut tiap-tiap mazhab kecuali wukuf, mabit dan meluntar jamrah, karena hal ini hanya ada dalam haji.

SUNNAH HAJI

Sunah menurut mazhab Syafi'i adalah semua Sunah: pekerjaan yang diperintahkan Allah tetapi tidak bersifat jazim (tegas), diberi pahala orang yang melaksanakannya, tidak disiksa orang yang meninggalkannya. Sunah, mandub, mustahab dan tathawwu' adalah kata-kata sinonim yang memiliki satu arti.

Sunah Haji:
1. Mandi ketika hendak ihram
2. Membaca talbiah
3. Tawaf qudum buat pelaku haji ifrad atau qiran
4. Bermalam di Mina pada malam Arafah
5. Lari kecil dan membuka bahu kanan ketika tawaf qudum

DAFTAR PUSTAKA
__ Kifyatul Akhyar, hal: 489
__Madzahibul Arba’
__Saleh al Fauzan, Fiqih sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hal: 307
__ Nogarsyah Moede Gayo, Pustaka pintar haji dan umrah, Inovasi, Jakarta:2003
__ HR. Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan Malik dari 'Aisyah RA

Sumber: Note FB  TIM Dakwah Al-Bahjah Asuhan Buya Yahya
Karakteristik Ahlussunnah wal Jama'ah an Nahdliyah (Aswaja)
IPNU Trenggalek - Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:


وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).

Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)

1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.

KH Muhyidin Abdusshomad (Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember)
Sumber : Nu.or.id
Bahaya Taqlid Bahaya Ijtihad
IPNU Trenggalek - Sudah sepekan ini warga kampung Tikusan dan sekitar diguncang keresahan, kebingungan dan ketegangan. Pasalnya, sudah hampir dua pekan ini muncul ustadz baru bernama Syamsuddin Salam Al-Fa’run yang menyampaikan pandangan-pandangan, gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran yang menurutnya progresif, modern dan universal, tetapi menurut warga justru ajaran yang aneh. Selain menganggap bid’ah berbagai kegiatan sesat yang dilakukan warga seperti tahlilan, selametan, sholawatan, ziarah kubur, peringatan maulid Nabi Saw, ustadz Syamsuddin Salam Al-Fa’run mengecam sikap bodoh warga dalam bertaqlid mengikuti ajaran ulama tertentu, di mana keresahan dan kebingungan itu menjadi ketegangan setelah mereka menonton tayangan Khazanah bertema Taqlid  di televisi milik Wahhabi.

Keresahan, kebingungan dan ketegangan warga Tikusan  tidak hanya berhubungan dengan kesenangan ustadz Syamsuddin Salam Al-Fa’run  mencela, mengecam, menghujat, mencaci-maki, dan menjadikan bahan olok-olokan semua tradisi keagamaan yang dijalankan warga, melainkan yang sangat mengherankan dan sulit difahami warga,  ustadz Syamsuddin Salam Al-Fa’run itu adalah warga asli kampung Tikusan bernama Suryono Slamet yang dua-tiga tahun lalu meninggalkan kampung untuk bekerja di ibukota tetapi tiba-tiba pulang dengan identitas ustadz dan namanya diubah menjadi Syamsuddin Salam dengan ditambah Al-Fa’run.

Untuk menghindari ketegangan memuncak, Sufi tua yang mewakili Guru Sufi mengundang ustadz Syamsuddin Salam Al-Fa’run untuk menyampaikan ceramah agama di Pesantren Sufi dengan tema ‘Berbahayanya Taqlid bagi Tauhid’. Dengan diikuti sepuluh orang muridnya ustad Syamsuddin Salam Al-Fa’run menyampaikan ceramah di Pesantren Sufi, yang ternyata selain diikuti para santri juga dihadiri ratusan warga kampung yang berdesak-desak sampai ke halaman.

Dengan keyakinan diri tinggi ustadz Syamsuddin Salam Al-Fa’run memulai ceramah agamanya dengan menayangkan ilustrasi film lewat LCD projector yang diikuti ilustrasi narator yang menghamburkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits yang mendukung pandangannya bahwa Taqlid itu tindakan bodoh yang tidak saja sesat tetapi juga membahayakan Tauhid, karena dengan taqlid orang bisa mengkultuskan dan menyembah manusia lain sebagaimana umat Nabi Luth AS, umat Fir’aun, penganut agama Yahudi, dan berbagai golongan agama yang mengkultuskan imamnya, ulamanya, kyainya, gurunya, ustadznya. Dengan kefanatikan membuta akibat taqlid, pecah perselisihan di antara umat Islam karena masing-masing menganggap benar dan mengunggulkan golongannya, di mana semua penjelasan ustadz Syamsuddin Salam Al-Fa’run diikuti tayangan film FPI saat melakukan sweeping, tawuran pelajar, tawuran antar suporter, tawuran antar warga kampung, aksis demonstrasi ikhwanul muslimin di Mesir, dan lain-lain yang membuat para santri dan warga kampung Tikusan manggut-manggut.

Ketika acara tanya-jawab tiba, ustadz Syamsuddin Salam Al-Fa’run tersentak kaget ketika mendapati hampir seluruh santri dan warga kampung berdiri sambil mengacungkan tangan. Sebelum ditentukan siapa yang bertanya lebih dulu, Marholi yang mengaku bernama Summu Al-Fa’ri, tanpa perduli keberatan santri yang lain  menyampaikan pendapatnya yang pada dasarnya sangat setuju dengan pandangan ustadz Syamsuddin Salam Al-Fa’run. Summu Al-Fa’ri mengaku bahwa ia seorang yang buta huruf Arab yang membaca Al-Qur’an berdasar terjemahan sehingga di dalam memahami Al-Qur’an ia mendapati banyak perbedaan dengan orang-orang pesantren yang taqlid buta terhadap kyai. “Soal tayyamum, misal, santri-santri ngotot harus menggunakan debu yang menempel di kaca jendela, dinding, daun pintu, dan lain-lain. Sewaktu saya usul menggunakan bedak yang lebih suci, usul saya ditolak dengan alasan bedak itu bukan debu. Jadi saya setuju pandangan ustadz, bahwa kita harus bebas berijtihad sesuai kemampuan kita agar kita tidak menjadi bodoh dan dibodohi ulama,” kata Summu Al-Fa’ri.

“Setuju ustadz,” sahut Roben yang mengaku bernama Akhi Summu Al-Fa’ri menyela,”Saya setuju tidak perlu lagi ada ulama, mursyid, kyai, guru, ustadz, karena di era teknologi canggih ini kita bisa belajar mengaji, baca tulis Al-Qur’an, tafsir Qur’an, dan berbagai jenis peribadatan agama melalui program-program yang dikemas dalam software komputer. Karena itu, tanpa perlu, saya sudah bisa memahami ajaran Islam lewat paket-paket pengajian yang bisa kita unduh di You tube. Sungguh, tanpa guru sejatinya kita masing-masing bisa berijtihad.” 

“Saya juga setuju ustadz,” sahut Niswatin dengan suara tinggi. ”Larangan menggambar makhluk hidup dengan alasan nanti di akhirat disuruh memberi nyawa, sudah tidak relevan. Tayangan film yang baru ustadz tayangkan, itu sudah merupakan bukti bahwa manusia dengan teknologinya bisa memberi nyawa kepada gambar-gambar makhluk hidup sampai teknologi itu disebut Bioscoop (gambar hidup). Jadi saya menganggap larangan itu sudah tidak relevan dengan perkembangan evolusi manusia menuju kesempurnaan sebagai makhluk sempurna (human being). Ayo kita kumpulkan semua dalil-dalil agama yang sudah tidak relevan untuk kita tinggalkan jauh-jauh dari kehidupan kita.” 

Mat Koneng, ketua Remas Mushola Al-Fa’sun kampung Tikusan, yang masih adik sepupu ustadz Syamsuddin Salam Al-Fa’run tiba-tiba berteriak keras,”Saya mendukung pandangan saudara saya yang maju dan modern ini. Di tengah perubahan global, kita tidak boleh lagi bergantung kepada ulama, kyai, mursyid, guru, ustadz, imam, atau siapa pun di antara manusia yang dijadikan berhala panutan. Karena itu, saya mohon dengan hormat, agar saudara Suryono Slamet yang berganti nama Syamsuddin Salam Al-Fa’run  itu turun dari mimbar untuk tidak lagi menceramahi jama’ah. Sebab dia sesungguhnya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa yang punya wewenang mengajar, memberi petunjuk, mengarahkan, membimbing, dan menuntun umat yang bebas melakukan ijtihad sendiri. Hidup kebebasan. Hidup liberalisme! Hidup Islam Trans-nasional! Hidup Islam tak bermazhab!”

Suasana gaduh pun pecah. Jama’ah serentak berdiri dan saling berdebat satu sama lain membincang aneka permasalahan dengan membenarkan pandangan masing-masing. Mereka berdebat seru soal khilafiyah, khilafah, demokrasi, suporter bola, premanisme, sekolah, tawuran antar sekolah gara-gara rebutan pacar, pengangguran,  musik rock, dangdut, pop, dan jazz,  dengan bersikukuh kepada kebenaran argumen masing-masing hasil ijtihad sendiri. Beberapa jenak kemudian meletus kegaduhan ketika para santri dan warga kampung Tikusan terlibat adu jotos karena saling bersikukuh mempertahankan kebenaran ijtihadnya.

Melihat suasana bakal kisruh, Sufi tua melompat ke mimbar dan menyambar mike yang tergeletak di depan ustadz Syamsuddin Salam Al-Fa’run yang kebingungan menyaksikan kegaduhan pecah di sekitarnya. Dengan suara tinggi yang menggema di loudspeaker Sufi tua menyerukan sholawat berulang-ulang. Santri dan warga kampung yang terlibat keributan dan bahkan adu jotos berhenti saat sholawat dikumandangkan kali ke empat dan mereka serentak menyahuti sholawat.

Tak menunggu waktu, setelah melihat suasana tenang, Sufi tua berseru mengutip Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 43,”Fas-aluu ahladz dzikri in kuntum laa ta’lamuun – bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu. Ini perintah Allah. Jangan takkabur merasa sudah pintar terus berijtihad sendiri, padahal membaca al-Qur’an saja dari terjemahan. Ketahuilah, bahwa Allah telah bersabda: innamaa yakhsyallaha min ‘ibaadihil ‘ulama – sesungguhnya yang takut kepada Allah daripada hamba-Nya adalah ‘ulama (Q.S.Fathir:28). Jadi keberadaan ‘ulama itu nash di dalam Al-Qur’an. Kalau kalian ramai-ramai mau meninggalkan ‘ulama dan tidak mau bertanya tentang agama kepada mereka karena beralasan sudah modern, maka hapuslah semua kosa kata ‘ulama, ulul albab, ulul ilmi, ahli dzikri, mursyid, wali yang tercantum di dalam Al-Qur’an terus angkatlah diri kalian sebagai nabi-nabi dan rasul-rasul baru karena kalian sudah memiliki kewenangan mutlak untuk menafsir, memaknai, merubah, bahkan menghapus ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan hasil ijtihad kalian.”

Beberapa bentar suasana tenang. Para santri dan warga kampung duduk kembali. Tetapi sebagian di antara mereka terlihat celingukan, mencari-cari ustadz Syamsuddin Salam Al-Fa’run dan murid-muridnya yang ternyata sudah tidak terlihat lagi bayangannya.

Penulis : Agus Sunyoto
Sumber: pesantrenglobal.com
IPNU Trenggalek - Pria tua itu terus memandangi dua potret yang tergantung di dinding rumahnya. Sesekali ia mengelus dada dan menepuk jidatnya, astaghfirullah…kadang terucap lirih dari mulutnya.

” Ada apa toh, mbah. Kok, akhir-akhir ini suka sekali memandang potret Hadlrotus Syaikh dan gus Dur.” tanya santri yang setia melayani

” Gus, gus…Aku ini bingung. Dulu jamane NU ikut politik ..mbah sangat semangat ikut kampanye, rapat agar NU bisa berbicara. Tetapi jam’iyyah malah seperti tak terurus, sekolah, pondok pesantren banyak yang “wujudihi ka adamihi”. Trus… si Durahman menggagas agar NU kembali ke khittah sebagai bentuk keprihatinan akan keadaan jam’iyyah yang tak terurus karena asyik dengan politik maupun karena tekanan dari pemerintahan pak Harto ketika itu.” ujar mbah Kyai

” Si Durahman itu siapa mbah.” tanyanya

” Durahman itu putu dari Hadlrotus Syaikh, anaknya gus Wahid yang jadi menteri agama.” jawab mbah Kyai

” Oohhh gus Dur toh mbah, lha itu kan pernah jadi presiden gara-gara kepencut rayuan poros tengahnya pak Amien.” katanya

” Ya…itu kecelakaan sejarah, Mbah pengin mengingat si Dur itu ketika dia menjadi orang PBNU. Ia yang membebaskan jam’iyyah dari keterikatan politik, sehingga pesantren seperti memiliki semangat untuk bangkit kembali. Dan  pak Harto beserta kodim-kodimnya nggak selalu curiga dengan gerak-gerik pesantren. Semoga almarhum Durahman mendapat tempat disisi Gusti Allah atas jasanya membebaskan dan membangkitkan jam’iyyah NU, kembali ke khittah sebagai jam’iyyah yang dibimbing oleh para ‘alim ulama, baik yang memiliki pondok pesantren maupun yang hanya menjadi kyai kampung. Dan kamu tahu…Gus, Durahman-lah salah seorang yang paling gigih agar jam’iyyah menerima Pancasila sebagai azas tunggal keberadaan organisasi di Republik ini. ” ujar Mbah kyai

” Tetapi ketika pak Harto  lengser dan suasana politik menawarkan segalanya, Durahman lupa. Itu yang Mbah sayangkan, kenapa NU harus memfasilitasi dilahirkannya partai politik. Politik hanya memecah belah jam’iyyah, itu yang dulu dihindari agar jam’iyyah fokus membangun santri, membangun masyarakat tanpa harus terlibat langsung dengan kegiatan politik. Lihat nasib PKB yang memecah-belah ikatan silaturahim keluarga besar mbah Hasyim,  diakui atau tidak. Lihat nasib PKNU dan partai-partai yang didirikan orang NU yang masih ingin bernafsu hidup dalam dunia politik, hidup segan mati tak mau. Partai itu jadi hanya alat tawar menawar kekuasaan, tak lebih. Kini lihat apa yang terjadi menjelang pilgub Jatim.” ujar Mbah Kyai

” Maksud mbah Kyai, Saefullah yang Ansor kembali dibenturkan dengan Khofifah yang Muslimat.” ujar santri

” Hebat juga kamu, ngikut juga berita politik. Lha…Ipul orang NU, si Ifah juga orang NU, masing-masing digunakan oleh orang-orang yang memburu kekuasaan. Apa NU untung ? nggak ! Jam’iyyah malah jadi bahan tertawaan ormas lain. Tuh ! orang-orang NU pada gila kekuasaan. Mbah liat potret Hadlrotus Syaikh, jangan-jangan beliau menitikkan air mata melihat NU jadi rebutan hanya untuk urusan kepentingan dunia. Mbah jadi ingat pesen Kanjeng Nabi SAW; “…nanti ummatku akan bertambah banyak, tetapi kondisinya bagai busa di lautan gampang terombang-ambing dan terpecah-belah”. Bukankah pesen Kanjeng Nabi SAW hampir sama dengan kondisi jam’iyyah kita sekarang ini, buanyak tapi nggak bersatu, buanyak tapi gampang dipecah-belah.” ujar mbah Kyai

” Husnudz-dzon saya terhadap partai politik hampir mencapai titik nol. Lihat yang terjadi di Senayan, bahkan orang partai politik yang mengaku sebagai parpol berazas Islam kelakuannya sama gendengnya dengan mereka yang berasal dari parpol non agama. Lihat yang ditangkepin KPK, tidak sedikit yang mengaku kader muslim. Tentu tidak semua kelakuannya bejad, tetapi yang kelakuannya lurus dan bersih, bisa mbah pastikan mereka tidak akan lama hidup dan bergaul dengan orang-orang parpol. Jadi kalau sekarang jam’iyyah NU dijadikan rebutan oleh orang-orang politik demi memenangkan kursi gubernur Jatim, bukan untuk kepentingan jam’iyyah, bukan untuk kepentingan ummat. Tapi untuk kepentingan KEKUASAAN, tidak lebih.” sambung mbah Kyai

” Tapi kan mbah Kyai, kalau orang NU tidak mau berpolitik, lantas siapa yang bisa menyuarakan kepentingan NU.” ujar santri dengan lirih

” Kepentingan NU itu kepentingan siapa, sepanjang yang dibicarakan itu kepentingan manusia, kepentingan warga negara, kepentingan bangsa, disitulah kepentingan NU. Kalau KPK gencar melawan korupsi, disitu ada kepentingan NU yang sedang diperjuangkan KPK. Kalau anggota dewan dan pemerintah membicarakan bagaimana nasib garam dan petani garam agar bisa dilindungi dari hantaman pasar, disitulah kepentingan NU sedang diperjuangkan. Kalau ada upaya perlindungan dari pemerintah dan jajarannya terhadap mereka yang dizalimi baik karena alasan ekonomi  bahkan alasan keyakinan, maka aspirasi NU sedang diperjuangkan. Asal semua dikerjakan untuk kepentingan kemaslahatan yang lebih luas, disitulah aspirasi NU sedang diperjuangkan.” ujar mbah Kyai

” Kalau elit NU tidak hati-hati, bukan tidak mungkin konflik seperti di Mesir bisa saja terjadi di negeri ini. Dalam skala kecil, jam’iyyah NU di Jawa Timur sedang dipertaruhkan. Sudah pasti para cagub yang bertarung akan berusaha untuk membawa  jam’iyyah NU agar berpihak kepadanya. Si calon A datang ke kyai Anu untuk minta restu sambil  membawa bantuan ke pondok pesantrennya, demikian juga si calon B, C dan D. Semua mendatangi kyai, semua mendatangi pesantren, apakah para calon itu murni memberi bantuan tanpa pamrih, pasti ada maunya. Mbah paham akan dunia politik walaupun sedikit, dalam dunia pulitik, “tak ada makan siang yang gratis.” ucap mbah Kyai

” Maksud mbah, apa yang telah diberikan oleh kaum politisi pasti akan diminta kembali jika perlu berikut bunga-bunganya.” ujar santri

” Ya, itulah dunia politik, dunia yang bisa mencerai-beraikan kesatuan dan persatuan ummat, termasuk jam’iyyah NU.” ujar mbah Kyai

Penulis : Ismail Solichin
Sumber : Kompasiana