Rakernas IPNU Sahkan Modul Kaderisasi
Jakarta, IPNU TrenggalekIkatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) mengesahkan modul kaderisasi pada penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IPNU yang berlangsung Kamis (27/2) di Gedung LPMP DKI Jakarta.

Modul Kaderisasi merupakan salah satu instrumen dari IPNU yang memungkinkan tata tertib pengambilan keputusan untuk melakukan pembinaan dalam satu organisasi kepemudaan.  

Dalam surat keputusan dengan nomor identitas No.3/Rakernas/IPNU/2014 yang berisi tentang pokok-pokok kebijakan dan program kerja kaderisasi IPNU.

Bismillahirrahman’irrahim Rakernas IPNU telah menimbang yang pertama, bahwa kelembagaan organisasi yang kuat, mutlak memerlukan penyelengaraan organisasi yang teratur, yang kedua, oleh karena itu untuk memperkuat eksistensi organisasi dan  mendapat keteraturan oraganisasi diperlukan peraturan organisasi. Maka diperlukan teciptanya peraturan modul kaderisasi IPNU,” kata Fathoni Futakhi, Ketua IPNU Bidang Seni, Budaya, dan Olahraga di hadapan seluruh peserta Rakernas.

Pengambilan keputusan mengenai modul kaderisasi yang terus-menerus molor pengesahannya dari tahun ke tahun tersebut didasarkan kepada Peraturan Dasar IPNU, Peraturan Rumah Tangga IPNU, dan memperhatikan hasil pembahasan sidang Komisi Kaderisasi IPNU.

Senantiasa memohon petunjuk Allah Subhanahuwatta’alla, maka Rapat Pleno IPNU memutuskan, yang pertama mengamanatkan kepada Pengurus Pusat IPNU untuk segera menerbitkan modul kaderisasi nasional ipnu setelah terlebih dahulu melakukan penyesuaian  dan penyempurnaan modul,” lanjut pria yang akrab disapa Toni tersebut.

Penerbitan modul kaderisasi didasarkan pada hasil Rakernas IPNU pada 2010 di Pontianak, dan Rakornas IPNU di Bogor pada 2011.

Tidak lupa kami juga mengapresiasi masukan-masukan dari berbagai rekan-rekan IPNU selama rakernas 2014. Keputusan ini ditetapkan pada 26 Februari di Jakarta,” kata Toni.

Ketua Umum IPNU, Khairul Anam bersyukur modul kaderisasi disahkan pada Rakernas kali ini karena mulai dari beberapa rakernas dan rakornas IPNU selama beberapa tahun modul kaderisasi senantiasa hanya mengalami penyempurnaan.

Setelah kurang lebih mulai dari 2007 hingga rakernas 2014 ini proses kaderisasi yang kita jalani selama ini berjalan tanpa alur, dan semuanya berjalan secara spontan dan tanpa ada road map yang akan kita laksanakan untuk sistem kaderisasi, dan mudah-mudahan setelah kita sepakati tadi ditambah para pimpinan wilayah telah memberikan kepercayaan kepada pimpinan pusat,” kata Khairul di hadapan para kader IPNU yang hadir.

Sehari sebelumnya, Rabu (26/2) malam setelah melalui diskusi panjang dan alot, sidang komisi kaderisasi Rakernas IPNU 2014 akhirnya menyetujui pengesahan modul kaderisasi. Komisi Kaderisasi meminta jajaran PP IPNU untuk segera menerbitkan modul tersebut.

Keputusan Lain yang Disahkan

Selain modul kaderisasi yang diserukan oleh Komisi Kaderisasi, pada penutupan Rakernas IPNU siang tadi juga mengesahkan hasil kerja Komisi Organisasi IPNU. Hasil kerja komisi organisasi yakni peraturan organisaisi IPNU sebagai pedoman penyelenggaraan majelis IPNU di semua tingkatan kepengurusan (ranting, cabang dan wilayah).

Tidak ketinggalan juga hasil kerja dari Komisi Rekomendasi yang turut disahkan dalam rapat kerja nasional kali ini yakni Rencana Kerja Nasional dan Rencana Kerja Wilayah IPNU.

Rakernas IPNU dibuka bersamaan dengan Hari Lahir ke-60 Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama yang diperingati pada Senin (24/2) yang lalu, Rakernas IPNU resmi dibuka oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Said Aqil Siroj di Gedung Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Sumber : satuharapan.com
Editor : Bayu Probo
Menggagas IPNU Sebagai Sistem Mutu
Dalam 1-2 dekade ke depan, Indonesia diprediksi maju pesat dalam arus permodalan terutama bidang industri, jasa dan perdagangan. Arus modal negara maju mulai bergerak ke wilayah-wilayah negara berkembang. Arus modal yang besar ini menuntut kesiapan generasi muda yang matang dan cerdas, agar dapat bersaing secara kompetitif, menggarap arus permodalan tanpa menghilangkan jati diri serta kemandirian sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

30 – 40 juta warga negara yang menyandang identitas Nahdiyyin ini bukan garapan kecil. Ini merupakan warga mayoritas dengan taraf kehidupan menengah ke bawah. Garis taraf mesti dilentingkan, juga kita lenturkan agar dapat bergerak leluasa menuju kemandirian jamiyyah dan kemakmuran jamaah. Prasyarat menuju kemakmuran dan kemandirian yang kuat itu, terletak pada kekuatan sumber daya manusia dalam mengelola jamiyyah.

Harapan menjadikan IPNU sebagai sistem kaderisasi matang guna menyiapkan Indonesia mendatang merupakan peran kita semua. Pada saat yang sama, IPNU perlu bekerja keras membangun kadernya. Guna menghadapi persoalan kemandirian di tubuh NU. Warga NU, umumnya petani kadang tidak berdaya di banyak sektor, sehingga kurang mampu menopang kemandirian jamaah. Disisi ini, NU jelas dihadapkan pada pilihan-pilihan pragmatis untuk bertahan pada kemandirian yang substansial.

Bertahan dan mengandalkan institusi formal dalam membangun dunia pendidikan kita, sama dengan berpangku tangan mengharap kesejahteraan dan kemakmuran. Tidak ada analogi lagi untuk menggambarkan betapa sistem yang dibangun tidak dapat diandalkan sama sekali untuk membangun kemandirian dunia pendidikan kita. Maka IPNU masih menjadi alternatif dan jembatan pembangunan yang paling penting bagi pelajar NU. IPNU tidak berpotensi mengambil bagian dalam kebijakan pendanaan anggaran pendidikan, tapi IPNU harus memastikan bahwa anggaran pendidikan sampai ke tangan yang berhak, agar jaminan mutu pendidikan di Indonesia dapat berlangsung tanpa ketimpangan yang berarti.

Oleh karena itu, satu hal terpenting untuk dijadikan pegangan dalam pengelolaan organisasi di setiap tingkatan adalah kemapanan “sistem”. Salah satunya sistem di IPNU sebagai organisasi kader. IPNU bukan tanpa peran dalam kontekk kemajuan ke depan. IPNU bisa menjadi pilar yang menjadi jembatan penting bagi kemajuan dan pembangunan.

Paradigma Sempit

Tidak sedikit dari pengurus maupun anggota organisasi kita yang terjebak pada paradigma sempit bahwa organisasi ini tercipta untuk melahirkan tokoh atau semacam pejabat politik. Seolah proses ini menjadi puncak keberhasilan dari proses kaderisasi yang mereka jalani. Pandangan sempit ini hendaknya mendapat kritik keras, mengingat konteks yang substansial tidak menghendaki IPNU menjadi organisasi yang demikian. Jika paradigma ini terus berkembang ke arah demikian, organisasi benar-benar tumpul dan tidak akan mampu memberikan sumbangan brilian bagi kemajuan bangsa.

Sebelum berikhtiar memperbaiki dan mencintai organisasi dalam wujud supporting system kepengurusan atau pelaksana program. Hendaknya perlu ditilik sejauh mana peran evaluator dalam memandang IPNU sebagai organisasi. Sudahkah evaluator memerankan peran sebagai pengkritik agar organisasi tidak terjebak dalam sistem lama di atas, atau bahkan memandang organisasi dari kacamata kuda yang sempit, linier dan parsial.

Hasilnya IPNU akan bergerak bagai kuda, yang tergantung nahkodanya. Apakah IPNU tetap dalam rel kaderisasi atau berkembang menjadi organisasi perahan yang tidak mampu menelorkan ide dan gagasan brilian untuk membangun wadah yang kuat bagi jamiyyah dan jamaah. Jawabannya tergantung kader dan anggota, ke mana IPNU harus bergerak?

Evaluasi Input

Sejauh ini, harapan dan capaian yang kita inginkan cukup besar, dalam berbagai ranah/bidang garapan. Tidak sedikit energi IPNU tersebar dalam berbagai ide kreatif, yang tidak membentuk satu sistem yang mapan. Pada proses input ini, IPNU tidak lagi relevan menjadi organisasi yang tidak open mind terhadap perkembangan di luar.

Jika ditilik faktanya saat ini, basis kemandirian IPNU di level ranting, anak cabang dan cabang hampir dipastikan tidak ada yang bergerak dengan arus modal. Semua instrument dikembangkan dengan ketulusan dan keikhlasan. Tidak berwujud dalam sebuah sistem yang mapan. Memang instrument mapan itu tidak perlu dikembangkan pada level ranting, cukup pada level cabang. Akan tetapi, kemandirian itu mutlak diperlukan, guna menjamin IPNU memiliki kader dengan kualitas mental dan kemandirian yang tinggi.

Warga Nahdiyin jelas akan mendukung setiap sistem yang dikembangkan. Dengan syarat, IPNU perlu inovatif mengumpulkan donasi untuk kepentingan kaderisasi dan pengembangan bakat siswa yang kurang berada. IPNU akan dilirik jika mampu memberikan beasiswa PANTAS pada setiap jenjang pendidikan. IPNU wajib memberikan dorongan pada siswa berprestasi dari sekolah ma’arif untuk melanjutkan studi.

Evaluasi Proses

Beberapa proses yang dijalani IPNU sebagai organisasi kolektif, ternyata melahirkan tokoh yang tidak kolektif. Pada proses zigoting leadership, kepemimpinan lebih lahir dari proses garis keturunan kyai dan keluarga pesantren yang lain. Padahal kepemimpinan kolektif hendaknya melahirkan kepemimpinan dari sebuah sistem, yang dibangun atas dasar kesepahaman dan kesepakatan kuat antar anggota.

Situasi semacam ini menunjukkan bahwa proses kaderisasi untuk melahirkan kepemimpinan didominasi oleh wacana dan gagasan lama. Maka karakter yang lemah justru terletak pada kemampuan organisasi sendiri melahirkan kepemimpinan kolektif, yang lahir dari sistem kaderisasi, agar kepemimpinan di level IPNU teruji untuk mengisi pos-pos strategis NU dan banom lainnya.

Evaluasi Output

Ukuran terakhir dari input  dan proses adalah output. Ini merupakan ukuran yang terlihat. Dengan kuantitas jamaah terbesar di Indonesia, maka NU membutuhkan jumlah doktor yang setara untuk memastikan SDM yang berkualitas tersedia, sebagai ukuran riil tentang kualitas SDM.

IPNU dalam konteks ini tidak bisa lepas, selain menyiapkan kadernya menuju pada jenjang pendidikan-pendidikan yang lebih tinggi. Baik formal maupun non-formal. Semuanya perlu dipersiapkan dengan instrument yang baik. Jika diperlukan IPNU mempersiapkan sistem sendiri dengan kemandirian total, agar gagasan dan ide-ide brilian dapat dikembangkan tanpa menunggu sentuhan dari pemerintah.

IPNU sebagai Sistem

Sebagai sebuah sistem, IPNU perlu membuat standar mutu kaderisasi. Standar mutu yang paling baik dapat terukur dan teridentifikasi keberhasilannya, serta mudah dievaluasi.

Masa Kesetiaan Anggota (Makesta) pada jenjang kaderisasi formal, selain nilai-nilai universal yang sudah diterjemahkan dalam AD/ART, keberhasilan MAPABA juga diukur dari instrument keberhasilan di sekolah seperti: Prestasi mampu menjadi ketua OSIS, ketua Kerohanian sekolah, Pengurus Masjid Sekolah/Kampus, Peserta Lomba/Tingkat Kabupaten.

Demikian juga, output dari peserta latihan kader muda (Lakmud), kader Lakmud sudah mampu menjadi pembicara seminar tingkat kabupaten, pemimpin aksi pelajar sadar membaca, ketua dewan ambalan dan segudang peran lainnya.

Demikian juga kader Lakut, harus sudah menyiapkan diri memilih Universitas Unggulan pilihannya, juga sudah matang membina network dan jaringan untuk persiapan menuju dunia perguruan tinggi. Mampu mengorganisir dan membina jaringan kyai dan pesantren di tingkat lokal dan juga nasional. Puncaknya harus mempersiapkan diri menuju Universitas dan menjadi bagian dari pergerakan mahasiswa di Universitas.

Jika ketiga sistem di atas berhasil dikembangkan, tidak mustahil IPNU akan membawa perubahan besar bagi NU dan Indonesia. IPNU menjadi generasi paling depan, yang siap menyamput arus modal, dan juga industrialisasi di Indonesia 2030 mendatang. IPNU akan menjadi pemain di segala lini, tanpa gagap dan selalu memutuskan yang terbaik untuk jamiyyah dan warga NU sebagai landasan perjuangannya. IPNU akan menjadi sentrum kemajuan dan instrument pembangunan bangsa yang tangguh, yang mandiri dan bersikap moderat, yang keberadaannya benar-benar menjadi rahmat bagi alam semesta. Memastikan sistem input yang demikian adalah tanggungjawab IPNU.

Sebagai sebuah sistem IPNU harus bekerja “base on system” bukan skill individu, bukan pula trah garis keturunan. IPNU harus menjadi lahan garapan yang subur bagi tumbuhkembangnya kader, bukan justru menjadi penghambat kader dalam penggalian potensi. Hal ini bisa dimulai jika IPNU mampu mengidentifikasi kerusakan sistem yang bekerja pada dirinya saat ini. Selanjutnya menyusu instrument organisasi yang kuat agar menjadi sistem yang mempu menghasilkan kader yang berkualitas. Selamat berjuang menggarap kader menuju kemandirian.

Penulis : Ahmad Munir Chobirun (Sekretaris Jaringan Sekolah Pimpinan Pusat IPNU)
PW IPPNU se-Indonesia Bahas Pedoman Organisasi di Konbes 2014
Jakarta - Pimpinan wilayah Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) se-Indonesia akan membahas sekaligus menetapkan sejumlah rancangan pedoman organisasi demi penguatan internal. Pembahasan menentukan ini berlangsung selama digelar Konferensi Besar (Konbes) IPPNU 2014, Jumat-Ahad (28/2-2/3).

“Sebanyak 30 PW IPPNU sudah mengonfirmasikan kehadirannya,” terang Sekretaris Umum PP IPPNU Wildatus Sururoh kepada NU Online di Gedung PBNU lantai 5 jalan Kramat Raya nomor 164, Jakarta Pusat, Rabu (26/2) malam.

Pada forum nasional ini, mereka membahas antara lain pedoman pelaksanaan organisasi dan administrasi (PPOA), panduan kaderisasi, panduan komisariat, panduan Korp Kepanduan Putri (KKP), dan panduan Konseling Pelajar Putri (KPP).

“Di sana kita akan menyinkronkan peraturan dasar (PD) dan peraturan rumah tangga (PRT) dengan PPOA sebagai peraturan turunannya,” imbuh Wildatus.

Setiap wilayah mendelegasikan 3 pengurusnya ke area Konbes IPPNU 2014, Gedung PP PON Kementerian Pemuda dan Olahraga, Cibubur, Jakarta Timur. Mereka terdiri dari ketua wilayah, wakilnya, dan ketua wilayah bidang organisasi IPPNU.

Selain mengokohkan silaturahmi dan soliditas nasional, Konbes IPPNU 2014 digelar terutama sekali untuk mengevaluasi program PP IPPNU dan PW IPPNU. (Alhafiz K)

Sumber : NU Online
Imam Fadli Ketua PW IPNU Jawa Timur
Jakarta, NU Online-Sudah saatnya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) menggunakan basis data (database) dengan sistem online untuk menunjang kemajuan organisasi. Dengan pengelolaan secara online, potensi kader akan semakin tergarap dan terbaca secara rapi.

Demikian  dikatakan Imam Fadli, Ketua Pimpinan Wilayah IPNU Jawa Timur ketika menyampaikan laporan perkembangan program atau progress report pada rapat kerja nasional (Rakernas) IPNU, disaksikan Pimpinan Pusat dan Pimpinan Wilayah IPNU se-Indonesia, Selasa(25/02), di gedung LPMP Kemendikbud, Jakarta Selatan.

“Pengelolaan database dengan kertas kini sudah kuno. Saya merekomendasikan Pimpinan Pusat untuk menggunakan sistem online. PW Jawa Timur sudah merealisasikan ini,” ungkapnya diikuti tepuk tangan peserta Rakernas.

PW IPNU dari berbagai provinsi menyambut baik usulan tersebut. Anas Maulana, Wakil Ketua PW IPNU Jateng misalnya, mengapresiasiasi langkah progresif IPNU Jatim. 

“Sudah saatnya memang, pengelolaan organisasi sebesar ini menggunakan database berbasis online. Kita sendiri sudah membuatnya di Jateng, tinggal meng-SK-kan penganggungjawabnya,” kata Anas.

Dalam sesi progress report, Pimpinan Pusat dan Pimpinan Wilayah dari Aceh sampai Papua melaporkan kegiatannya selama setahun terakhir. Ini merupakan salah satu agenda Rakernas IPNU sebagai bentuk pertanggungjawaban dan evaluasi kinerja kepengurusan. (A Naufa Khoirul Faizun/Mahbib)
IPNU Trenggalek - Ketika buruh merasa dirugikan akibat gaji yang rendah dan fasilitas kurang layak, maka banyak buruh yang diorganisir oleh berbagai organisasi atau serikat buruh melakukan aksi ke jalan untuk menyampaikan aspirasi. Demikian halnya saat seorang dokter merasa dikriminalisasi oleh lembaga hukum, segera saja berbagai organisasi profesi dokter melakukan pembelaan baik melalui aksi solidaritas ataupun pembelaan di media massa. Alasan utama isu tersebut dengan mudah memunculkan aksi simpatik dan advokasi dari saudara sesamanya adalah adanya berbagai organisasi, paguyuban dari komunitas tersebut.   

Respon semacam inilah yang belum muncul saat berbagai isu mendera dunia pelajar. Masih ingat tentunya saat seorang siswi di daerah Tangerang diperlakukan tidak senonoh oleh oknum wakil kepala sekolah. Hampir tidak ada gerakan masif baik di dunia nyata ataupun media sosial untuk memberikan solidaritas dan kepedulian terhadap isu ini. Padahal, dukungan sosial  dan solidaritas yang kuat diperlukan untuk memberikan keyakinan positif terhadap korban. Begitupun dengan kasus-kasus serupa di berbagai daerah di Indonesia.

Salah satu persoalan mendasar lemahnya advokasi terhadap kasus yang menimpa pelajar adalah tidak adanya organisasi pelajar yang secara khusus konsen terhadap isu kepelajaran. Memang tidak dapat dipungkiri selama ini ada beberapa organisasi kepelajaran diantaranya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama , Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama, Ikatan Pelajar Muhammdiyyah dan Pelajar Islam Indonesia (PII).

Meskipun memiliki struktur dan jaringan yang cukup luas akan tetapi fungsi advokasi dan perlindungan terhadap pelajar belum terlihat secara nyata. Sementara OSIS sebagai organisasi pelajar yang hampir ada di setiap sekolah terlihat lebih terbatas karena tidak terkoordinasi dan terstruktur secara luas. 

Dalam kasus di atas, sejauh ini fungsi advokasi justru banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga yang mempunyai konsen terhadap soal lain seperti KPA, Komnas perempuan dll. Sehingga dalam banyak hal, secara tidak langsung menghilangkan esensi persoalan yaitu problem pelajar dan diarahkan kepada isu lain yaitu perlindungan perempuan, perlindungan anak, dsb. Pada akhirnya,  kenyataan ini memunculkan perspektif yang berbeda dalam menyikapi persoalan selain menimbulkan kesan apatisme organisasi pelajar terhadap persoalan saudara mereka sendiri. 

Menjadi sebuah ironi, ketika, ada jutaan penduduk Indonesia yang berstatus sebagai pelajar. Akan tetapi organisasasi pelajar yang ada belum memberikan aksi nyata dalam proses advokasi dan pengawalan isu-isu kepelajaran. Advokasi pelajar seperti berada di simpang jalan saat banyaknya isu yang terkait dengan isu kepelajaran justru tidak serta merta memunculkan proses advokasi yang memadai dari organisasi pelajar.  

Ada beberapa hal yang menjadikan kurang “gregetnya” organisasi kepelajaran dalam melaksanakan fungsi advokasi. Pertama, selama ini organisasi pelajar yang ada masih terkotak-kotak dalam garis ideologi dan kepentingan sendiri-sendiri. Kedua, fungsi organisasi pelajar hanya berhenti kepada wadah penyaluran kreatifitas, belum sampai kepada fungsi advokasi. Ketiga, belum adanya strategi dan wawasan advokasi yang memadai oleh para pegurus organisasi. Ketiga hal ini, diperparah dengan masih kurangnya akses terhadap media massa. 

IPNU dan Advokasi Pelajar

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama merupakan salah satu organisasi berbasis pelajar dan santri di bawah naungan NU. Sejak didirikan pada tanggal 24 Februari 1954 IPNU sudah mengambil bagian dalam proses gerakan pelajar di Indonesia. Sekurang-kurangnya selama ini ada 3 fungsi penting dalam membaca kiprah IPNU di panggung sejarah. Pertama, IPNU hadir terdepan dalam proses kaderisasi dan regenerasi pelajar NU. Kedua, IPNU menjadi pemegang mandat paling sah dalam membawa nama NU dalam setiap kontestasi dan dinamika gerakan pelajar di Indonesia. Terakhir, IPNU menjadi wadah aspirasi utama bagi pengembangan potensi pelajar NU.

Lantas bagaimanakah peran IPNU dalam proses advokasi pelajar? Menurut penulis, tak berbeda dengan organisasi pelajar yang lain, IPNU hampir tidak pernah hadir dengan persoalan isu-isu kepelajaran. Fakta bahwa IPNU merupakan organisasi pelajar yang berorientasi pengkaderan memang hal yang wajar akan tetapi sudah semestinya hal itu menjadi penghambat dalam proses advokasi pelajar. Bahkan jika IPNU mampu melakukan kerja-kerja advokasi yang memadai, hal ini akan menjadi nilai tambah tersendiri.  

Salah satu contoh, saat kurikulum 2013 diluncurkan tahun lalu sempat terjadi pro dan kontra. Semestinya organisasi pelajar termasuk IPNU mengambil bagian dalam proses itu. Artinya, organisasi pelajar dapat melakukan kajian dan diskusi terkait kurikulum 2013 dalam perspektif pelajar. Sehingga selain dapat  menonjolkan bagaimana sebenarnya suara pelajar dalam kontek isu tersebut juga dapat menambah sudut pandang dalam melihat hal itu. Akan tetapi ini tidak terlihat dilakukan oleh organisasi pelajar termasuk IPNU. 

Dalam konteks ini, maka diperlukan reorientasi terhadap gerakan organisasi pelajar. IPNU yang ada saat ini sebenarnya memiliki jaringan struktur yang cukup mapan sampai ke daerah-daerah. Namun, potensi itu belum diarahkan untuk melakukan fungsi advokasi dan kontrol terhadap isu-isu dunia pelajar. Hal yang berbeda dapat ditemukan di organisasi kemahasiswaan, selain sebagai wadah belajar organisasi, dalam banyak hal organisasi kemahasiswaan sudah menjadi tempat untuk menyampaikan aspirasi dan juga advokasi terhadap kepentingan mahasiswa. 

Dengan demikian, tantangan ke depan adalah bagaimana IPNU lebih fokus kepada isu dan persoalan dunia kepelajaran. Untuk itu paling tidak ada beberapa hal yang patut dilakukan untuk meningkatkan fungsi advokasi tersebut. Pertama, pemberian wawasan advokasi dan wacana isu-isu kepelajaran baik kepada kader, anggota atau pengurus di berbagai jenjang. Bahkan jika perlu materi advokasi pelajar dimasukkan dalam materi wajib di acara pengkaderan. Kedua, memperluas akses jaringan ke media dan pemerintah. Ketiga, meningkatkan sensitifitas terhadap isu yang menerpa dunia pelajar dengan mengoptimakan kajian dan diskusi tentang tema kepelajaran. 

Dalam skala lebih luas, IPNU dapat mendorong kembali poros pelajar untuk lebih proaktif dalam melakukan pengawalan isu-isu kepelajaran. Apabila itu dapat dilakukan, IPNU akan menjadi garda terdepan dalam mengawal nasib pelajar di Indonesia. Semoga dan Selamat Harlah IPNU ke-60.

Penulis : Nasukha Ibnu Thobary (Ketua Cabang IPNU Kota Yogyakarta dan penulis buku “Kunci Rahasia Menjemput Jodoh Idaman”)
PBNU: IPNU Harus Menjawab Peran NU ke Depan
Jakarta, NU Online - Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan, bahwa organisasi pelajar di lingkungan Nahdlatul Ulama (IPNU) harus bisa menjawab peran-peran NU di masa yang akan datang dengan tantangan yang semakin berat. 

“Mari kita lihat kira-kira seratus tahun yang akan datang, NU masih ada apa tidak? Kalau ada, masih berguna apa tidak? Kalau masih berguna, berperan di belakang, atau di pinggir atau di depan?” 

Ia bertanya seperti itu di hadapan para pengurus dan anggota IPNU pada peringatan hari lahir organisasi pelajar itu yang ke-60 di aula Perpustakaan Nasional Jakarta, Senin malam (24/2). 

Kiai yang masuk IPNU di tahun 1966 pada saat Ketua Umum KH Asnawi Latif itu mengaku, bahwa dirinya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang bisa menjawab adalah IPNU, organisasi termuda dalam jenjang kaderisasi NU. 

Kiai asal Cirebon itu kemudian mengimbau  supaya para anggota IPNU berperan dan berkarya sejak masa muda. Ia mencontohkan seperti apa yang dilakukan Rais Aam PBNU yang belum lama wafat, KH Sahal Mahfudh. Menurut dia, Kiai Sahal sudah berkarya menulis kitab Thariqatul Hushul ala Ghayatul Wushul. “Waktu menulis kitab itu beliau pada usia 24 tahun,” tegasnya. 

Soal peran, kiai yang akrab disapa Kang Said itu menukil firman Allah dalam Al-Qur'an Surah al-Baqarah 143 tentang ummatan washatan. Menurut penafsiran dia, kalimat itu adalah umat yang berkualitas yang berperan sebagai penopang, pendorong, penguat peradaban, budaya, intelektual, pendidikan, moral, ekonomi, dan politik. 

Kang Said bersyukur, kiai-kiai NU hingga saat ini masih berperan di tengah-tengah masyarakat. “Walaupun ulama-ulama kita, Rais MWC itu kalau berdoa kebalik-balik, tapi masih berperan di tengah-tengah masyarakat,” katanya disambut tepuk tangan dan gelak tawa hadirin. 

Hal itu, menurut kiai yang pernah nyantri di Kempek, Lirboyo, dan Krapyak tersebut, berbanding terbalik dengan ulama-ulama di Timur Tengah. “Syekh Wahbah zuhaili itu punya karangan tafsir belasan jilid, fiqhnya 8 jilid, usul fiqihnya dua jilid, orangnya masih hidup, tapi ulama sebesar itu, tidak mampu menjadi penengah konfflik di Syria,” ungkapnya. (Abdullah Alawi)
Wamenhan Percaya Wawasan Kebangasaan IPNU Kuat

Jakarta, NU Online - Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) RI Letjend Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan, sebagai bagian dari bangsa indonesia, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) wajib untuk meningkatkan wawasan kebangsaan. Ia yakin pelajar NU kuat dalam hal itu karena sudah memiliki modal dasar.

“Saya setiap saat Kang Said pidato selalu mendengar kata kebangsaan. Oleh karena itu tidak usah diragukan bahwa wawasan kebangsaan sudah berada di dalam lubuk hati IPNU,” ungkapnya pada stadium general peringatan hari lahir(Harlah) ke-60 IPNU di aula Perpustakaan Nasional Jakarta, Senin malam (24/2).

Ia juga yakin IPNU memiliki pemahaman kebhinekaan karena Ketua Umum PBNU sering ceramah tentang pluralisme. “Inilah modal yang harus dibina, proaktif untuk mewujudkan cita-cita bangsa mandiri, sehingga menjadi bangsa unggul dalam percaturan regional dan internasional,” katanya.

Wawasan kebangsaan, tambah dia, bukan datang dengan tiba-tiba secara apa adanya, tapi harus diperjuangkan terus-menerus karena hal itu untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa Indonesia.

Ia juga mengatakan tantangan IPNU ke depan, yaitu harus proaktif untuk berdiri di depan, tengah, dan belakang untuk menggerakakn wawawsan kebangsaan. Sebab, kata dia, ada indikasi gaya hidup sekarang yang mementingkan individu, sedangkan kepentingan bersama, gotong royong makin pudar. “Inilah tantangan generasi muda untuk mempertegas wawasan kebangsaan,” tegasnya pada harlah bertema “60 Tahun Berkhidmah untuk Indonesia” tersebut.

Selain stadium general Wamenhan, harlah yang digelar Pimpinan Pusat IPNU itu mendaulat Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj untuk menyampaikan taushiyah. Hadir juga pada kesempatan mantan-mantan Ketua Umum IPNU. (Abdullah Alawi)
Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Khaerul Anam Hs
Jakarta, NU Online - Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Khaerul Anam Hs mengatakan, tugas organisasi yang sekarang dipimpinnya adalah menyiapkan kayu pilihan, sementara NU bertugas membentuknya.

“Tinggal mau dijadikan apa kayu-kayu itu, itu tugas NU. NU mau menjadikannya apa, terserah,” katanya pada sambutan peringatan Hari Lahir (harlah) ke-60 IPNU di aula Perpustakaan Nasional, Jakarta (24/2).

Kayu-kayu itu, ketua umum kelahiran Sulawesi Selatan itu mengibaratkan, bisa dijadikan kursi, lemari atau yang lainnya.

Pernyataan Khaerul Anam diamini oleh salah seorang mantan Ketua Umum IPNU KH Asnawi Latif yang disampaikan kepada NU Online selepas acara. “Betul itu apa yang dikatakan ketua umum tadi, IPNU kayu, bahan bakar,” katanya. 

Menurut dia, dengan pengibaratan itu, IPNU berarti adalah organisasi pengkaderan untuk mempersiapkan kepemimpinan NU. Supaya pemimpin NU itu ke depan tidak karbitan, “Tahu-tahu sudah ada menclok aja di PBNU, tanpa ada kaderisasi di IPNU,” katanya. 

Ia menambahkan, bukan tidak boleh orang masuk NU, tapi jangan langsung jadi pemimpin di Pengurus Besar. Sebab, kata dia, hal itu bisa mematikan kaderisasi. “Itu preseden buruk. Apa gunanya kaderisasi? Akhirnya kader-kader terbaik lari kemana-mana,” tegasnya.

Harlah bertema “60 Tahun Berkhidmah untuk Indonesia” tersebut mendaulat Wamenhan RI Sjafrie Sjamsoeddin dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj untuk menyampaikan pidato. Selain itu, PP IPNU juga memberikan plakat penghargaan atas jasa mantan-mantan Ketua Umum IPNU. (Abdullah Alawi)
IPNU Peringati Harlah ke-60

Jakarta, NU Online - Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) menggelar peringatan hari lahir (Harlah) ke-60 di aula Perpusatakaan Nasional, Jakarta pada Senin malam (24/2). Kegiatan yang digelar pimpinan pusat pelajar NU tersebut bertema “60 Tahun Berkhidmah untuk Indonesia”.

Kegiatan yang diikuti Pimpinan Wilayah IPNU itu diisi pidato Ketua Umum PP IPNU Khaerul Anam, stadium general Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia Letjeend Sjafrie Sjamsoeddin dan taushiyah Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

Sebagai bentuk penghargaaan kepada para pengabdi organisasi, PP IPNU memberikan plakat kepada mantan-mantan Ketua Umum IPNU dari periode awal sampa periode terakhir. 

“Bagaimanapun juga, 60 persen hidupnya (mantan-mantan Ketua Umum IPNU) dihabiskan di organisasi. Harus kita apresiasi atas pengabdiaannya,” kata Ketua Umum PP IPNU Khaerul Anam. 

Rangkain Harlah

Menurut Anam, beberapa rangkaian kegiatan peringatan harlah telah dilakukan mulai dari pra-Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dengan mengadakan capacity building pemuda dan pelajar Indonesia di Salatiga dan Bogor.

Kemudian pra-Rakernas kedua dialaksanakan di Permata Hotel, Bogor, pada 13-15 Desember 2013.  pra-Rakernas Corp Brigde Pembangunan (CBP) PP IPNU di Grobogan, Jawa Tengah, pada 27-29 Desember 2013.

Kemudian laga futsal bertema Rembuk Persaudaraan Pelajar Indonesia yaitu PP IPNU, PP Pelajar Islam Indonesia (PII), dan PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), di Jakarta, 23 Januari 2014. Selanjutnya turnamen bulutangkis pelajar se-Jabodetabek kerjasama PP IPNU dengan Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) di Istora Senayan, Jakarta, 21-23 2014.

Kemudian puncak peringatan hari lahir IPNU ke-60 digelar di aula Perpusnas, Jakarta, 24 Februari 2014. Setelah itu dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang akan berlangsung di Jakarta mulai tanggal 24 sampai 27 Februari. (Abdullah Alawi)
Memantaskan IPNU Sebagai Penerus NU: Momen Reflektif Harlah Ke-60
Mengawali Kegelisahan

Keramaian dan tumbuh suburnya organisasi, khususnya dilingkungan NU, kadang menyisakan ambivalensi; magak dan tidak berkarakter. Seluruh anatomi organisasi, di internal NU, tidak pernah lepas dari keterkungkungan “Jabatan Ganda”. Fenomena itu terjadi baik antar struktur pengurus suatu organisasi, atau diantara badan otonom yang lain. Padahal, masing-masing badan otonom, baik dalam hierarkhi struktur maupun standar administrasi, memiliki tradisi nilai, visi dan arah gerakan yang, tentu, saling berbeda. “Jabatan Ganda” telah mengaburkan pembeda jelas dari masing-masing struktur suatu organisasi, maupun diantara badan otonom di lingkungan NU itu. Fenomena semacam itu, telah menegaskan ambivalensi, yang, sekali lagi, magak dan tidak berkarakter.

Selain”Jabatan Ganda”, bersimpul kuat pula dalam ambivalensi tersebut, muncul fenomena “Klientilisme Resiprokal”. Jaringan kepatuhan diantara kader, alumni dan anggota yang lain telah mengalienasi kompetisi diantara kader secara fair, dan agaknya fenomena ini menjangkit secara kontinyu dan signifikan. Sebab, hubungan klientilistik itu selalu bersifat resiprokal; saling memberi, saling menerima. Mereka yang terperangkap pada sikap klientilistik macam ini, akan terus mengupayakan secara subjektif, pada mereka saja yang telah berkontribusi banyak hal bagi jaringan kepatuhan tersebut. Klientilisme Resiprokal selalu memberi kesan bahwa organisasi adalah imperium bagi arena dominasi jaringan klientilisme kuasa terhadap klientilisme pinggiran.

Fenomena berikutnya, sebagai titik kegelisahan penulis, tidak lain menguatnya tendensi Oligarki. Fenomena oligarki ini seringkali paralel dengan klientilisme. Mereka yang menang, selalu mengeliminir pesaing. Mereka yang kuat, mendaku diri sebagai “Pemegang Saham” organisasi. Sedangkan jaringan klientilisme yang kalah, harus siap terhengkang dari kuasa metropolis. Kompetisi kader, tidak pernah diciptakan secara diskursif dan kompetitif, melainkan hegemonik dan politis. Kekuatan oligarki selalu bersemayam dalam penentu kebijakan organisasi, terutama berkaitan pada momen suksesi organisasi.

IPNU sebagai  ujung tombak awal proses pengkaderan dalam NU, sebagai pula kawah candradimuka kaum pelajar dalam mengawal proses-proses intelektualitas di tubuh NU. Lalu, bagaimana dengan kondisi IPNU kini yang kian renta? Apa saja proses pemantasan diri yang telah dilakukan oleh IPNU sebagai penerus NU? Atau, jangan-jangan IPNU tidak lebih baik dengan organisasi atau badan otonom NU yang lain?

IPNU: Sejauh yang Saya Ketahui  

Kurun beberapa waktu terakhir IPNU dianggap sebatas organisasi pelajar yang komplementer. Aktifitas dan rutinitas yang dijalin diantara struktur kepengurusan hanya bersifat simbolik. Bahkan, jalinan komunikasi, alur koordinasi dan penataan administrasi organisasi digenjot dalam titik kulminasi secara tiba-tiba pada momen politis saja; Rapat Anggota, Konferancab, Konfercab, Konferwil hingga Kongres.

Fakta demikian telah menegaskan, bahwa IPNU tidak jauh berbeda dengan badan otonom NU yang lain. Menjadikan dalih-dalih penataan, tetapi kepentingan faktualnya adalah mengonsolidasi kekuatan-kekuatan jaringan klientilisme diseluruh lini untuk memperjuangkan suatu hal; apalagi kalau bukan menyukseskan seorang kader untuk menduduki jabatan tertentu dalam organisasi. Lebih sial lagi, jaringan klientilisme itu selalu digerakkan oleh bayang-bayang kekuatan oligarki organisasi, dimana pemilik otoritas tunggal dalam penentu kebijakan pada momen politis adalah kekuatan oligarki yang bersemayam dalam bentuk personifikasi senior dan pemegang struktur sebelumnya. Maka tidak heran, arena kompetisi diantara kader dalam IPNU tidak diciptakan secara fair melainkan lebih bersifat hegemonik dan dominatif.

Jaringan klientilisme dan oligarki itu yang berakar pada adagium “saling memberi, saling menerima” telah membawa kehancuran IPNU itu sendiri. Muncul kader-kader hipokrit yang berkemampuan medioker menjadi bagian inti dalam struktur IPNU. Mereka diciptakan oleh instanisme yang diperoleh secara cepat, karena kedekatannya dengan jaringan klientilisme yang bersemayam dalam kekuatan oligarki organisasi. Sehingga, kader hipokrit dan berkemampuan medioker itu selalu menjadi penentu kebijakan organisasi yang, bukan tidak mungkin, menjadi makelar, pemburu rente, dan bermental koruptif untuk menjual aset organisasi.

Melampaui klientilisme dan oligarki itu, IPNU pun tidak pernah ketat dalam penataan struktur kader. Fenomena rangkap jabatan dalam Peraturan Rumah Tangga IPNU dibuat sangat fleksibel dan tidak terlampau rigid. Hal demikian berbeda secara diametral dengan konstitusi GP. Ansor yang cenderung lebih ketat dan terstruktur rapi, nyaris tidak ada sela sedikitpun bagi kader GP. Ansor dalam upayanya untuk rangkap jabatan.

Kita bandingkan konstitusi diantara dua organisasi ini yang mengatur berkaitan ketegasan rangkap jabatan. Sebagaimana PRT IPNU (Hasil Kongres 2009) Bab VII Pasal 22 tentang Rangkap Jabatan “Rangkap jabatan organisasi adalah merangkap dua atau lebih jabatan kepengurusan harian di lingkungan Nahdlatul Ulama, atau kepengurusan IPNU di daerah atau tingkat yang berbeda.” Sebaliknya, konstitusi GP. Ansor berdasarkan Peraturan Organisasi (Hasil Konbes 2012) Bab III Pasal 9 Ayat B “Seluruh jabatan pengurus Gerakan Pemuda Ansor dengan jabatan pengurus harian di PBNU termasuk Banom-banomnya kecuali jabatan Dewan Penasehat.” Ketegasan yang bernegosiasi semacam itu, sebenarnya, tidak langsung telah berakibat fatal pada upaya perapian organisasi dan penataan kader di lingkungan IPNU sendiri.

Klientilisme resiprokal, oligarki organisasi hingga problem rangkap jabatan telah menghasilkan mental organisasi IPNU yang telah kehilangan ruh pergerakannya. Tidak heran, bila IPNU kemudian hanya menjadi organisasi “kelas dua” di lingkungan NU. Sebab, Klientilisme resiprokal, oligarki organisasi dan fenomena rangkap jabatan adalah sebentuk logika konservatif yang menolak tentang ide kebaruan, kreatifitas dan inovasi. Maka sesampainya perjalanan IPNU hingga kini, mereka adalah sekumpulan yang tidak lebih sebagai penopang tradisi, bukan pendorong akselerasi nilai.

Ahlussunnah Wal Jama’ah bukan produk doktriner yang kaku, melainkan suatu manhaj berpikir yang sifatnya simultan, terus bergerak, dan selalu peka terhadap kontekstualitas. Sayangnya, sebagai penopang tradisi, IPNU selalu melihat Aswaja sebatas doktrin-doktrin suci dan kredo-kredo aksiomatik, sehingga mengutak-atiknya adalah haram, dan keluar dari NU. Padahal, kita tentu ingat bagaimana diskursus yang ditampilkan oleh Mbah Bisri Syansuri dengan Mbah Wahab Hasbullah dalam arena-arena Bahsul Masail dan Munas Alim Ulama’. Beliau berdua, meski masih bersanad intelektual kepada mbah Hasyim Asy’ari, keduanya tidak segan-segan berdebat habis untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi kepentingan umat. Sayangnya, IPNU tidak pernah menjadi pendorong akselerasi nilai dalam upaya melakukan simultanisasi Aswaja sebagai manhaj berpikir.

Kita tidak boleh naïf, seluruh rangkaian kegiatan IPNU, baik aktifitas program kerja maupun visi kerja kepengurusan, selalu saja terjebak pada logika modernisme; yang menghamba pada keteraturan, selalu tunduk pada penanda simbolik dan narasi besar, sekaligus kerap sibuk merias diri ditengah ringkihnya struktur organisasi dan sistem pengkaderan yang ada di internal IPNU. Aktifitasnya selalu hingar-bingar riuh tak terkendali ketika mengadakan Maulid Nabi, Tahlil dan Istighotsah, tapi selalu kering dan sunyi oleh semangat diskursif, kritisisme dan pengayaan intelektual terhadap problem-problem umat. Fenomena itu meminjam istilah Baudrillard, seorang Post-Modernism ekstrem, IPNU telah terjebak pada Hiper-realitas; bahwa organisasi hanya bisa dinyatakan bergerak melulu karena mampu menggerakkan tradisi rutinitas, hingga melupakan esensi dan ruh perjuangan utama, yakni, menyemai semangat Altruisme yang berpihak pada Sub-altern, dan penguatan struktur organisasi serta pembenahan sistem kaderisasi. Maka, tidak heran bila IPNU itu selalu cantik diluar, tapi keropos didalam.

Ada sederet intelektual NU jaman dulu, dimulai dari Mbah Hasyim Asy’ari seorang Ulama hadits terkemuka, lalu muncul Mbah Bisri Sansuri, ulama fikih yang tidak pernah mau bernegosiasi terhadap masalah agama, adapula Mbah Wahab Hasbullah yang selalu mengedepankan Ushul Fiqh. Sampai muncullah sederet intelektual kontemporer NU semacam (Almaghfurlah) Gus Dur yang konsisten dengan ide Islam Pribumi dan Keberpihakan pada kaum minoritas, lalu (Almaghfurlah) Mbah Sahal Mahfudl, yang pandangannya sangat luwes dan mampu mengayomi banyak golongan, dan ada pula KH. Masdar F. Mas’udi, salah satu Ketua PBNU yang berani mengkritik Kitab Safinatun Najah. Apakah kader IPNU tidak pernah berkaca dan menyemai spirit beliau-beliau semua? Atau, jangan-jangan beliau semua hanya dianggap sebagai berhala-berhala; yang hanya cukup diberi sesaji Al-fatihah, dan abai terhadap spirit intelektualnya? Semua itu, karena IPNU sedang terjebak pada logika konservatisme yang disebabkan oleh Klientilisme resiprokal, Oligarki organisasi dan rangkap jabatan. Kader-kader baru, diluar jaringan klientilisme itu, yang menawarkan ide-ide segar, gagasan-gagasan kritis, selalu harus rela terhengkang dari satelit kuasa.

Harlah Sebagai Momentum Refleksi: Mari Memantaskan Diri

Sebagaimana Nadirsyah Hosen dalam (Misrawi, 2010: XXIII), Khazanah kitab kuning telah mengenalkan kepada kita tentang Matan (Inti), Syarh (Ulasan), dan Hasyiyah (catatan pinggir). Tradisi itu sebenarnya, menyerukan kepada kita untuk terus melakukan pembacaan dan pengayaan oleh karya-karya ulama terdahulu. Dalam konteks organisasi, maka kita harus terus berupaya untuk melakukan refleksi total terhadap diri kita atas gagasan pemikiran ulama-ulama dan intelektual NU terdahulu. Sebagaimana pula adagium kaum nahdliyyin “Al Muhafadzatu Ala Qadim Ash Sholih Wal Akhdzu bi Al Jadidi Al Ashlah”.

Refleksi ini, bermula dari kegelisahan penulis dimuka, tidak lain berupaya untuk terus melestarikan budaya oto-kritik terhadap organisasi yang selama ini telah membentuk karakter kita. Kedepan, saya berharap, organisasi adalah ruang terbuka bagi pagelaran kompetisi yang fair diantara kader dalam memberikan kontribusi nyata bagi organisasi kita tercinta ini. Jangan sampai, karena berseberangan dengan klientilisme dan oligarki, akhirnya lalu mengorbankan kader-kader terbaik kita. Sehingga, secara tidak sadar kita telah mengamputasi gagasan pemabaharuan yang sebenarnya sangat signifikan bagi perbaikan organisasi kita sendiri. Pertimbangan-pertimbangan kebaikan organisasi jangan sampai lacur oleh kepentingan-kepentingan politis-klientilistik.

Kegelisahan penulis demikian penting diajukan, karena IPNU kini telah berumur senja. 60 tahun, secara psikologis, adalah umur dimana manusia mengalami fase anti-klimak. Dan, apabila IPNU tidak bersegera diri melakukan refleksi total, maka tidak heran, bila IPNU kemudian mengalami titik yang memprihatinkan, sebagaimana suatu adagium  “La yamutu wa la yahya”. Sudah saatnya, kita memantaskan diri untuk menjadi penerus NU, yang tidak lagi rela dipandang sebagai organisasi “Kelas Dua”.

Jangan pernah menjadikan alasan-alasan klientilisme, oligarki dan rangkap jabatan untuk membuang kader-kader terbaiknya untuk terlibat dalam memberi kontribusi terhadap organisasi ini. Jangan lagi, menggunakan logika-logika politik dalam memperjuangkan organisasi ini. Jangan pula, hanya berpikir merias dan menyolek organisasi yang hanya indah diluar, tapi keropos didalam. Meskipun, alasannya adalah karena cinta. Sebab, seharusnya cinta pada IPNU adalah cinta “memberi”, bukan lobi politik, bukan pula atas nama kepatuhan dan jaringan klientilistik. Semua kader berhak mendapat kesempatan untuk memberi cinta, karena menurut Erich Fromm, ketika kita memberi, maka kita menerima. Menerima adalah konsekuensi logis dari tindakan memberi. Kita akan pasti menerima kebahagiaan, selagi kita dapat mencintai IPNU, tanpa perlu Lobi Politik atas dasar Klientilistik dan alasan Oligarki.

Dari saya, untuk IPNU, Selamat merayakan Hari Lahir ke-60, selamat pula bagi seluruh pengurus IPNU melaksanakan RAKERNAS, semoga kegelisahan ini menjadi perhatian bagi pengurus pusat, dari penulis yang tidak pernah ingin menjadi besar hanya karena mencintai IPNU.

---------
(Penulis adalah Jama’ah NU Miring, Aktifis “IPNU Cabang Facebook dan Twitter”, Sekaligus Pengelola Paguyuban “Ahlul Kofi Wal Jama’ah”. Dapat dijumpai di FB: Achmad Azmi Musyadad, Twitter: @AzmiMusya)

Membaca Ulang Visi Tolchah Mansoer dan Refleksi IPNU Kekinian
Ketika menulis biografi Tolchah Mansoer, saya seakan menyusuri salah satu lorong waktu tahun 1950-an dimana Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) sedang manapaki masa-masa perintisan yang sulit. Kala itu beberapa pelajar dan mahasiswa NU, yang kemudian dinobatkan sebagai pendiri IPNU dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah. Tantangan itu bermula dari keputusan Kongres al-Islam pada 1949, yang menobatkan PII sebagai satu-satunya organisasi pelajar muslim. Namun, bagi kalangan pelajar nahdliyin, keikutsertaaan mereka ke dalam dua organisasi itu bukan tanpa masalah. Masalah ini terkait dengan kontestasi ideologi dan politik para “orang tua”nya yang berafiliasi di NU dan Masyumi.

Berdasarkan kenyataan itulah dalam suatu tulisan, Tolchah Mansoer bertestimoni:
...haruslah diinsjafi berdirinja organisasi Ikatan Peladjar Nahdlatul ‘Ulama’ bukan sekedar tumbuh dan ditumbuhkan begitu sadja, apalagi kalau diingat suasana dan waktu pertama kali organisasi ini dilahirkan di persada tanah air, sungguh waktu itu merupakan saat jang pahit, jang terdapat di dalamnja pertentangan dan perselisihan jang dirasakan tidak enak oleh masjarakat kita terutama masjarakat Islam.
Tolchah dan kawannya memang sangat menggelisahkan kondisi itu. Kegelisahan inilah yang pada gilirannya menginspirasi para aktivis mahasiswa NU ini untuk mendirikan suatu organisasi yang bisa mencakup pelajar pesantren dan pelajar umum.  Di sinilah cita-cita penggabungan dua komponen pelajar itu mulai terbangun di benak Tolchah Mansoer. Dalam kesaksian Ismail Makky, orang yang merepresentasikan dua dunia pelajar itu adalah Tolchah Mansoer. Pemikiran-pemikiran Tolchah muda kala itu juga merefleksikan pemikiran pesantren dan pendidikan umum. Penunjukkan Tolchah Sebagai Ketua Umum IPNU dilakukan lebih karena Tolchah merupakan tokoh pelajar yang mempunyai gagasan dan pemikiran untuk menggabungkan kaum santri dan pelajar umum.. Dalam konteks, Tolchah bukanlah satu-satunya pembentuk organisasi pelajar ini, namun peran dan pikirannya menjadi pijakan IPNU hingga kini. 

Kelahiran organisasi pelajar NU ini seperti memulai babak baru sejarah organisasi tradisional ini. Kelahiran IPNU dan IPPNU menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika Nahdlatul Ulama. Karena perintisan organisasi ini terjadi pada saat NU sedang berkiprah sebagai partai politik, maka keberadaannya jelas tidak bisa dilepaskan dengan konstelasi perpolitikan kala itu. Namun, semangat pendirian organisasi bukanlah semangat politik. Banyak orang menganggap bahwa berdiri IPNU sebagai bagian dari konsolidasi politik partai. Namun hal ini segera diklarifikasi oleh Tolchah Mansoer. Tolchah menulis:
Mungkin orang menganggap kita ini berpolitik. Tetapi orang tidak tahu bagian apa dari Nahdlatul ’Ulama’ itu jang berpolitik. Dalam hal ini perlulah dimengerti hubungan IPNU adalah dengan Ma’arif (bagian pengadjaran) dan IPNU tidak akan berbitjara dalam hal politik. Itu urusan tanfidziyah Nahdlatul ‘Ulama’. Ja, IPNU adalah anak Nahdlatul ‘Ulama’. Jang harus diketahui: IPNU mempunjai hak atas dirinja sepenuh-penuhnja.
Bagi Tolchah meskipun IPNU menjadi onderbow NU, sebuah organisasi kemasyarakatan yang tengah berstatus sebagai partai politik, namun ia lahir bukan untuk kepentingan politik praktis. Tolchah memandang IPNU tetap memiliki otonominya sebagai organisasi pelajar. Memang tidak bisa dipungkiri, IPNU berdiri menjelang Pemilu 1955. Keberadaannya merupakan bagian dari keluarga Partai Nahdlatul Ulama'. Di sinilah tantangan Tolchah Mansoer untuk mampu memposisikan IPNU sebagai organisasi penyatuan sekaligus pengkaderan pelajar NU tanpa harus terintervensi oleh kegiatan-kegiatan politik. Tidak mudah untuk mengembangkan organisasi kader yang non politik di saat organisasi induknya menjadi partai politik. 

Untuk menegaskan bahwa IPNU adalah organisasi kader maka PP IPNU memfokuskan diri pada proses kaderisasi untuk meningkatkan kualitas kader. Hal ini karena IPNU didirikan karena ada kebutuhan kaderisasi. Baik sebagai partai politik maupun sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan, NU dituntut untuk mendiversifikasi kader-kadernya. Berdasarkan kebutuhan itulah, IPNU lahir dengan misi penyatuan dua komponen pelajar sebagaimana digelisahkan oleh Tolchah Mansoer tersebut. Menurut Asnawi Latif, IPNU ingin meraih kembali para santri yang dimarjinalkan dalam pergaulan sosial oleh organisasi-organisasi pelajar kala itu, salah satunya PII. Memang, Tolchah adalah orang yang berada di garda depan dalam cita-cita penyatuan ini. Namun, bagi Tolchah, tujuan berdirinya IPNU lebih dari sekadar pemenuhan harapan itu. Menurut Tolchah:

... berdirinja organisasi Ikatan Peladjar Nahdlatul ‘Ulama’ tidak hanja sekedar mengumpulkan kawan baik dari pesantren, dari sekolah2 menengah Nahdlatul ’Ulama’ dan umum ataupun dari universitet2. Bukan hanja itu. Ada dasar jang bersifat ideologisch jang menjebabkan dia tumbuh. Dia mempunjai sebab dan memiliki principe idoelogisch jang memerlukan ideologiese dranger jang melaksanakannja walau bagaimana djuga zaman dan orang berkata tentangnja.

Dalam sejarah Nahdlatul Ulama, berdirinya IPNU jelas merupakan momentum penting bagi perkembangan organisasi terbesar di Indonesia ini. Sejak menyatakan dirinya sebagai partai politik pada tahun 1952 NU tidak memiliki kader potensial kecuali para santri di pesantren-pesantren dan madrasah. Dengan kata lain, di saat NU tengah menempati posisi menantang, justru belum memiliki perangkat kaderisasi yang dapat menjamin keberlanjutan organisasi. Oleh karena itulah selama dua tahun pertama, praktis program IPNU belum diarahkan keluar. Pimpinan Pusat IPNU mengkonsentrasikan programnya untuk konsolidasi dan penguatan kelembagaan internal serta membangun kesadaran ideologis kader. Hal itu tergambar dalam pengakuan Tolchah berikut:
Ja, memang dalam sa’at dua tahun ini IPNU tidak banjak melangkahkan kakinja keluar, so’alnya konsolidasi ke dalam. Dalam segala arti dan sifatnja. Dan terutama pada meletakkan dasar2 jang bersifat ideologisch ini. Sebab, jang diinginkan (djuga mendjadi tugas) oleh Pimpinan Pusat, ataupun oleh Pimpinan2 Wilayah dan Pimpinan Tjabang dan selandjutnja tertanamnja kesadaran jang sebenarnja tentang berorganisasi dan berideologie. Dan selandjutnja atas basis kekokohkuatan ini mentjoraki masjarakat dan memberikan sumbangan jang berarti kepada masjarakat.
Dengan peran tersebut IPNU telah menegaskan diri sebagai organisasi kader. Peran khas inilah yang pada masa-masa selanjutnya dijadikan pijakan strategis untuk membangun strategi dan pola gerakan. Dalam titik inilah peranan IPNU menjadi sangat strategis dalam upaya membangun “perkawinan intelektual” melalui integrasi khasanah keilmuan yang dinisbatkan dengan ilmu-ilmu ukhrowi dan duniawi. Sumber daya pelajar dan santri memiliki potensi untuk menggabungkan tradisi keduanya secara matang. Pergulatan di atas menempatkan Tolchah Mansoer sebagai figur sentral yang sangat menentukan dalam pembentukan gerakan pelajar. Aktivitasnya dalam organisasi sejak kecil membuat Tolchah sangat matang dalam dunia gerakan muda dan gerakan sosial selanjutnya. Di mata Tolchah, organisasi adalah wahana untuk membengun kemaslahatan publik. Organisasi memberi bekal kepada para anggota berupa ketrampilan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, serta mendidik dan menyadarkan masyarakat tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara. IPNU didirkan dengan cita-cita mulia, yaitu berdedikasi kepada masyarakat. Penegasan ini dikemukakan Tolchah sebagai berikut:
Saja masih djelas teringat akan masa2 awal IPNU ini didirikan bersama2 dengan para sponsors, pendiri2 organisasi kita ini. waktu itu bekal kami tidak lebih dari tawakkal dan kejakinan teguh, bahwa pada suatu saat organisasi kita akan mentjapai kedjajaanja, berdiri setaraf dengan organisasi2 lain dalam menjumbangkan karyanja kepada masjarakat.
Tapi bukanlah kedjajaan dan keagungan organisasi itu jang mendjadi tjita-tjita utama, bukan dimaksudkan organisasi itu menjadi unggul segala-galanja, tapi bagaimana organisasi itu bisa memberikan sumbangan kepada masjarakat dalam segala bidangnja, bidang materiil dan lebih2 spirituil. Tudjuan organisasi masih jauh; apa jang nampak di depan mata kita ini hanja sekelumit jang tidak banjak artinja.

Untuk tercapainya izzul Islam wal muslimin dan masjarakat adil dan makmur jang diridhoi Allah tidak akan djatuh begitu sadja dari langit. Masih diperlukan karya2 jang luar biasa. Tugas-2 masih membentang di hadapan kita. Dan bukan orang lain jang akan mengerdjakannja, melainkan kita sendiri angkatan muda jang penuh spirit, energy dan idee2 jang dinamis ini” 

Tolchah terus berupaya memotivasi dan menggerakkan kader organisasi agar dapat berkarya, yang berarti berkhidmat dalam masyarakat. Tolchah juga dengan tegas menginginkan kader IPNU ”membumi” dan tidak tercerabut dari masyarakat. Kader IPNU harus terjun dan berkecimpung melakukan kerja-kerja nyata dalam masyarakat. Dalam hal ini Tolchah menegaskan:
Sifat jang karakteristiek ada pada IPNU ini pada hakekatnja untuk tidak mendjadikan IPNU ini merasa golongan elite, merasa mempunjai harga diri jang besar dan penuh dengan ketjongkakan oleh karena dirinja  termasuk golongan terpeladjar. Tidak, sifat dan pengetahuan serta djiwa ke-kyahi-an dan ke-santeri-an harus tetap ada. Kita djangan membuat diri kita terpisah dari masjarakat. Dan harus kembali kepada masjarakat serta berketjimpung di dalamnja. Untuk itu sekalipun nampak perbedaan jang djauh ketjakapan otak kita dari masjarakat, adalah tidak bidjaksana kalau kita menganggap kita ini golongan bangsawan fikir. Tidak, kita berpengetahuan adalah untuk mendjadikannja pedoman bagi kita dan atas dasar itu kita memimpin masjarakat kelak. Dan, oleh karenanja kita harus tidak sadja dekat dan tidak mendjauhi masjarakat, tetapi, sekali lagi, terdjun berketjimpung ke dalam dan di dalam masjarakat.
Pendirian ini tampaknya dipegang kuat dan terus dikampanyekan oleh Tolchah. Dalam pidato resminya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU pada Muktamar IV di Yogyakarta, ia kembali kenegaskan:
Tjita2 daripada Ikatan Peladjar Nahdlatul ’Ulama’ jalah membentuk manusia jang berilmu, tetapi bukan manusia calon kasta elite di dalam masjarakat. Tidak. Kita menginginkan masjarakat jang berilmu. Tetapi jang dekat dengan masjarakat. Oknum jang berbuat karena ilmunya. Dan berilmu tetapi jang mau berbuat dan beramal. Sungguh akan merupakan malapetaka jang amat besar baik negara dipimpin oleh orang-orang jang tidak berilmu. Kita tidak menjandarkan semata-mata kepada kariere, lebih2 kariere dengan kekosongan ilmu dan bekal dalam kepala. 
Penegasan Tolchah tersebut dirasa sangat penting bagi peneguhan komitmen organisasi sebagai bagian dari masyarakat sipil yang lahir dan berkembang dari basis sosial tradisional. Pernyataan tersebut seperti menjadi ”platform” bahwa IPNU lahir untuk masyarakat, bukan untuk orgaisasi itu sendiri, terlebih untuk kepentingan para elitenya. Bagi Tolchah, pendirian tersebut juga tertanam dalam-dalam yang menjadi ”karakter” pribadi pada perjalanan selanjutnya. Tolchah memang prototype organisatoris intelektual yang sukses dalam dunia akademik dan organisasi. Dengan kelebihannya dalam penguasaan keilmuan umum dan agama menjadikan Tolchah bak “generasi ideal” sebagaimana yang dicita-citakan IPNU sejak berdirinya. Bagi para penerusnya, Tolchah merupakan inspirator bagi munculnya para intelektual di lingkungan NU. 

Membaca fakta sejarah tersebut, setidaknya ada beberapa hal penting yang perlu dicatat tentang pendirian IPNU. Pertama, secara ideologis IPNU lahir sebagai respons atas pertarungan ideologi. Para pendiri sadar betul akan perlunya wadah pelajar dari kalangan Islam tradisional yang berpaham ahlussunnah wal jamaah. Kedua, secara politis, meskipun NU kala itu sedang berstatus sebagai partai, namun IPNU lahir bukan untuk kepentingan politik Partai NU, sehingga perilaku organisasi dan para kadernya tidak politis. Ketiga, secara kelembagaan IPNU lahir sebagai wadah kaderisasi pelajar NU, Sehingga seluruh sumberdaya dikerahkan untuk kerja kaderisasi. Keempat, secara intelektual, IPNU lahir untuk menyatukan dua potensi generasi terpelajar, yaitu santri maupun pelajar umum. Dengan demikian, IPNU merupakan gerakan keilmuan. Dan kelima, IPNU lahir bukan untuk bertengger di menara gading yang elitis, melainkan membumi di tengah-tengah masyarakat dan terlibat dalam membangun kemaslahatan publik. Nah, berangkat dari idealisme itulah saya ingin mengajak kita semua merefleksikan IPNU pada masa kini.

Saat masih menjadi pengurus Pimpinan Ranting hingga Pimpinan Anak Cabang, saya merasakan idealisme itu masih kuat.  Barangkali ini merupakan kondisi umum yang dialami rekan-rekan kita di level bawah. Pengalaman saya menunjukkan bahwa ber-IPNU berarti berikatan yang disatukan oleh semangat ideologis yang kuat. Inilah mengapa hubungan sosial dan solidaritasnya sangat tinggi, sehingga membentuk komunitas yang solid dan “fanatik" dengan ikatan peguyuban yang kuat.  

Pada saat itu, ber-IPNU juga bukan berpolitik. Mereka menjalani masa-masa IPNU secara tulus tanpa interes politik apapun, apalagi berambisi untuk menduduki jabatan politik tertentu. IPNU juga benar-benar tampil sebagai organisasi kader yang konsen pada kerja-kerja kaderisasi, dengan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan kader. Kala itu IPNU yang saya rasakan juga merupakan “pertemuan” antara para santri dengan para pelajar umum. Mereka menyatu tidak saja secara fisik, melainkan berkolaborasi secara intelektual sehingga menjadi komunitas pembelajar yang asyik. Saat itu, IPNU juga bukan kelompok orang-orang pinter yang elitis. Mereka justru menjadi bagian aktif dalam masyarakat perdesaan untuk terlibat dalam pergumulan sosial.

Setelah beranjak ke level berikutnya, cabang dan wilayah, idealisme itu masih tertanam di IPNU, meskipun harus diakui terjadi pergeseran. Kala itu terjadi tarik menarik antara idealisme dengan “tantangan zaman”. Nah, begitu sampai Pimpinan Pusat, pergeseran itu semakin sempurna, bahkan, mohon maaf ini harus saya katakan, idealisme itu kini telah hilang di telan buruknya zaman. Setidaknya itulah yang bisa kita lihat saat ini. Jika diukur dengan idealisme awal organisasi ini didirikan, ada beberapa pergeseran yang harus kita refleksikan. Pertama, jika dulu IPNU lahir di tengah pertarungan ideologi dan dengan demikian menjadi gerakan ideologi ahlussunnah wal jamaah, kini kita tak merasakan nafas itu. IPNU seakan tak lebih sebagai pergumulan yang hampa,

Kedua, dulu IPNU lahir bukan untuk kepentingan politik, meskipun NU sedang berposisi sebagai partai politik. Namun kini, di saat NU kembali ke khittah sebagai organisasi sosial keagamaan (jamiyyah diniyyah ijtimaiyyah), IPNU justru kerap berperan politis. Fakta ini bisa kita lihat dalam dua hal. Dalam berbagai perhelatan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal, IPNU sering ditampilkan sebagai “mainan” politik. Lihat saja, setiap ada Pilpres atau Pilkada, IPNU hampir selalu tapil sebagai kekuatan politik, setidaknya oleh kalangan elitenya. Watak politik itu juga tampak dalam perhelatan internal, terutama Kongres dan konferensi. Perebutan jabatan Ketua Umum atau Ketua lebih banyak didominasi oleh pertarungan politik. Banyaknya “pihak luar” dan “bandar” yang bermain kerap mendistorsi perhelatan pelajar itu. Inilah yang kemudian membuat perilaku organisasi dan para kadernya semakin politis. 

Ketiga, jika dulu IPNU lahir sebagai wadah kaderisasi pelajar NU, kini gerakan kaderisasi itu tidak lagi tampak, sehingga IPNU kehilangan jatidirinya sebagai organisasi kader. Sebagai organisasi yang diberi mandat untuk menjadi garda depan kaderisasi, IPNU lebih rajin tampil keluar mengejar blow-up media dengan kegiatan-kegiatan yang wah, tapi jauh jari hakikat kaderisasi. Di samping karena tertutup oleh agenda lain yang lebih bernilai politis, terpuruknya kerja kaderisasi lebih disebabkan karena rendahnya political will pemimpinnya. Defisit visi kaderisasi inilah yang menyebabkan melemahnya semangat dan kegiatan-kegiatan kaderisasi IPNU di seluruh Indonesia.

Keempat, dulu IPNU dilahirkan untuk menyatukan dua potensi generasi terpelajar, yaitu santri maupun pelajar umum, Dengan demikian IPNU tampil sebagai gerakan intelektual pada dua ranah keilmuan, yaitu keilmuan agama dan keilmuan umum. Kini, spirit gerakan intelektual itu semakin menjauh dari IPNU. Dulu, kita menyaksikan forum-forum ilmiah dan karya-karya intelektual yang lahir dari IPNU. Sedangkan kini, IPNU sepi dari berbagai dinamika intelektual itu. IPNU lebih suka tampil sebagai gerakan politik atau kalau hanya menjadi ajang kongkow-kongkow yang tak bermakna strategis. Fenomena ini sekarang benar-benar semakin nyata.

Kelima, Pak Tolchah dkk mendirikan IPNU bukan untuk bertengger di menara gading dan menjadikan para pengurus dan kadernya sebagai “manusia calon kasta elite”. IPNU dilahirkan untuk membumi dalam masyarakat, menjadi bagian dari dan mendampingi masyarakat bawah, serta terlibat dalam berbagai penyelesaian masalah untuk membangun kemasalahan publik. Kini, IPNU tampil persis seperti yang dikhawatirkan oleh Pak Tolchah, yaitu menjadi ”kasta-kasta elite”, jauh dari masyarakat dan tidak terlibat dalam pergumulan sosial dan penyelesaian berbagai persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Bahkan perilaku para pengurusnya lebih suka tampil sebagai kelas-kelas elite yang jauh dari masyarakat alit, namun gila citra. Ketiadaan kerja advokasi dan pendampingan masyarakat –setidaknya masyarakat pelajar- oleh IPNU pada beberapa dekade terakhir menunjukkan realitas ini. 

Kini, 60 tahun sudah IPNU berkhidmad untuk Indonesia.

*Caswiyono Rusydie Cw. (Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, eks Ketua PP IPNU (mundur tahun 2011, karena perbedaan visi)Penulis buku “Tolchah Mansoer: Profesor NU yang Terlupakan”)
KH Moh. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan
Judul Buku : KH Moh. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan
Penulis : Caswiyono Rusydie Cakrawangsa, Zainul Arifin, Fahsin M. Fa’al
Pengantar : Prof Dr KH Moh. Tholhah Hasan & HM. Fajrul Falakh SH MA MSc
Epilog : Idy Muzayyad MSi
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2009 & II, Oktober 2009
Tebal : xxxvi + 290 Halaman
Peresensi : Abdul Halim Fathani Yahya*

Dibandingkan dengan tokoh-tokoh NU lainnya, nama Moh. Tolchah Mansoer barangkali tidak terlalu populer di mata masyarakat umum. Memang, beliau pernah menjadi pimpinan puncak dalam organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Namun, faktanya tidak banyak literatur yang mendokumentasikan sepak terjang dalam kehidupannya. Ketidakhadirannya dalam berbagai literatur, bukan berarti sosok ini tidak memiliki arti penting dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, khususnya bagi organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama’. Orang NU yang tercatat sebagai doktor hukum Tata Negara pertama dari Universitas Gadjah Mada ini telah banyak menelorkan karya-karya penting yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam kajian dan pengembangan hukum ketatanegaraan di Indonesia.

Julukan sosok integratif (baca: ilmuwan sekaligus kiai) tampaknya sangat tepat untuk dilekatkan kepada Prof KH Tolchah Mansoer. Ia merupakan salah satu contoh “orang NU” yang “sukses”. KH Tolchah merupakan founding fathers terpenting dalam organisasi IPNU. Ia merupakan pelopor, pendiri, dan penggerak pada masa awal berdirinya. IPNU dicita-citakan olehnya menjadi wadah bagi pelajar umum dan pelajar pesantren. (hlm. 261). Selain ahli di bidang hukum tata negara, kealiman di bidang pengamalan ajaran Islam tidak dapat dipungkiri. Ia banyak menulis buku ketatanegaraan dan banyak menerjemahkan buku-buku agama dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Tolchah Mansoer merupakan figur menarik dan penting dalam sejarah NU, sejak muda hingga masa tuanya. Ia merupakan aset berharga yang telah berjasa banyak dalam peletakan dasar-dasar gerakan dan kaderisasi NU hingga pembaharuan pemikiran dan arah organisasi NU.

Ada beberapa hal yang mendasari untuk “mendokumentasikan” lika-liku perjalanan hidup seorang ulama’ sekaligus ilmuwan, Prof Dr KH Moh. Tolchah Mansoer SH. Dalam pengantarnya, redaksi LKiS mengurai beberapa alasan dalam penerbitan buku ini.

Pertama, perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan, kegigihan, ketulusan, dan kerja keras setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi generasi zaman sekarang.

Kedua, jika ungkapan “Orang besar dapat mati saat hidupnya; namun ia bangkit dan justru hidup abadi setelah kematiannya” dapat dibenarkan. Semasa hidupnya, karena keteguhannya mempertahankan prinsip; karena suara lantangnya mengatakan kebenaran dan melontarkan kritik, ia sempat dikucilkan oleh penguasa. Namun, setelah sang penguasa tumbang, harum namanya kian semerbak: ide-ide jeniusnya tentang hukum tata negara pun diadopsi dan diterapkan pasca reformasi (50 tahun setelah ia berpulang). 

Ketiga, Tolchah adalah pakar hukum tata negara terkemuka pada masanya, sekaligus seorang kiai mumpuni yang berwibawa. Keempat, hasrat umat Islam untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dapat dikatakan sebagai ‘hasrat laten’.

Terlepas ada tidaknya pihak-pihak tak bertanggung jawab yang menunggangi mereka, sejarah telah membuktikan adanya usaha beberapa pihak untuk mewujudkan hasrat tersebut. Di era kontemporer ini, penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta beberapa kali juga diangkat kembali menjadi isu yang hangat. Jika kita ‘membaca’ Tolchah, sang pakar hukum tata negara yang kiai ini, tentu hasrat semacam itu menjadi patut untuk disayangkan.(hlm. vii)

Hadirnya buku ini tentu menjadi sangat penting. Sebagaimana penuturan Idy Muzayyad dalam epilognya, ada dua hal yang sangat berseberangan berkaitan dengan lahirnya buku yang merekam jejak petualangan Profesor Tolchah. Pertama, ada rasa bangga, karena dengan buku ini, generasi muda (khususnya IPNU) mengetahui bahwa dalam sejarah awal organisasi pelajar ini terdapat seorang tokoh yang patut dibanggakan. Di sisi lain, dengan membaca buku ini kita juga patut merasa malu, karena sebagai pewarisnya kita belum mampu sepenuhnya meniru prestasi yang telah ditorehkan beliau. (hlm.259-260).

Melalui buku ini, pembaca akan diajak untuk menelusuri masa lalu kehidupan KH Tolchah yang penuh dengan keteladanan, pengalaman, dan cita-cita besar. Banyak hal yang tentunya patut dijadikan sebagai rujukan dalam mengarungi medan perjuangan yang dihadapi saat ini. Dengan terbitnya buku ini, seseorang bukan hanya dapat ‘membaca’ Tolchah secara lebih komprehensif, melainkan juga membaca dirinya sendiri. Sebab, membaca perjalanan hidupnya berarti memetik inspirasi; membaca sepak terjangnya bermakna menuai spirit; dan membaca percik pemikirannya adalah mencerahkan. Lebih dari itu semua, buku ini adalah sebuah usaha melawan alpa: sebuah upaya untuk tidak sekali-sekali melupakan sejarah!

* Alumnus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, sedang Menempuh Program Magister di Universitas Negeri Malang
IPNU Trenggalek - Beberapa hari yang lalu PW IPNU Jatim telah meluncurkan program pengelolaan database anggota yang dinamakan dengan PASTI (Program Aplikasi SisTem Informasi). Program database online ini menyajikan manajemen informasi tentang data di lingkungan internal Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Jawa Timur. Aplikasi disajikan dalam bentuk web based yang interaktif serta berisi sistem data dan informasi manajemen IPNU, sehingga mempermudah input dan analisa data untuk kepentingan IPNU di semua tingkatan.

Melalui ketersediaan data dan informasi anggota diharapkan bisa menjadi pendukung bagi Pimpinan Ranting sampai Pimpinan Wilayah dalam meningkatkan komitmen untuk membangun pola kerja berbasis data dan informasi di level masing-masing, sehingga bisa meningkatkan kapasitas Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dalam membangun Pelajar yang berkarakter.

Pada halaman ini kami akan menjelaskan tentang langkah-langkah pendaftaran bagi anggota IPNU Jawa Timur dan yang ada di Kabupaten Trenggalek khususnya.

A. PANDUAN PENDAFTARAN
  1. Sebelum mendaftar siapkan alat yang terkoneksi dengan internet (Komputer, Tablet, HP), Foto Profile minimal resolusi 200x200 dengan besar file maksimal 1 Mb serta alat pendukung lainnya (KTP/KartaNU/KK, Sertifikat DIKLATAMA, MAKESTA, LAKMUD, LAKUT, LATPEL, LATFAS, dsb.);
  2. Silahkan mengunjungi halaman website PASTI IPNU JATIM : http://pastiipnujatim.com/
  3. Setelah terbuka pilih menu pendaftaran seperti gambar dibawah ini
    Panduan Pendaftaran Database PASTI IPNU
  4. Silahkan melengkapi form isian sesuai data diri yang sebenarnya dan sesuai identitas resmi dan alat pendukung yang ada. Panduan Pengisian kami sertakan dibawah. Panduan Pendaftaran Database PASTI IPNU
  5. Centang pernyataan "Saya menyatakan bahwa data yang saya kirim adalah benar, apabila ada kesalahan maka admin diperbolehkan untuk mengubah atau menghapus data."
  6. Klik daftar
  7. Setelah berhasil maka akan muncul tampilan seperti dibawah. Silahkan pilih file foto (Choose File) yang sudah disiapkan. Panduan Pendaftaran Database PASTI IPNU
  8. Klik Upload file.
  9. Sampai disini proses pendaftaran telah selesai dan rekan tinggal menunggu verifikasi dari admin PASTI.
B. PANDUAN PENGISIAN FORMULIR
  • Data Diri Panduan Pendaftaran Database PASTI IPNU
1. Tulis nama lengkap tanpa gelar. Contoh : Imam Muttaqin
2. Tulis Tempat lahir. Contoh : Trenggalek
3. Pilih tanggal lahir lewat menu dropdown.
4. Tuliskan pendidikan terakhir yang telah diselesaikan. Contoh : S1 Pendidikan Agama Islam
5. Tuliskan Alamat Lengkap. Contoh : RT. 20 RW.03 Ds. Kamulan Kec. Durenan
6. Pilih Kabupaten dengan memilih menu dropdown
7. Isikan Nomor Telp./Hp yang terus aktif tanpa spasi. Contoh : 085645864028
8. Tulis Alamat e Mail aktif yang telah didaftarkan. Contoh : imam_muttaqin@gmail.com
  • Pelatihan Panduan Pendaftaran Database PASTI IPNU
9. Pilih Lokasi/Penyelenggara Makesta yang pernah anda ikuti.
10. Pilih Lokasi/Penyelenggara LAKMUD yang pernah anda ikuti.
11. Pilih Lokasi/Penyelenggara LAKUT yang pernah anda ikuti.
12. Pilih Lokasi/Penyelenggara LATFAS/LATPEL yang pernah anda ikuti.
13. Pilih Lokasi/Penyelenggara Pelatihan Profesi yang pernah anda ikuti.
14. Tulikan Pelatihan yang tidak termasuk pada pilihan nomor 9-13 dengan dipisah dengan koma jika lebih dari satu pelatihan. Contoh : Diklat Jurnalistik, Diklat Kewirausahaan
  • Keanggotaan dan JabatanPanduan Pendaftaran Database PASTI IPNU
15. Pilih Tahun masuk IPNU melalui menu dropdown (Samakan dengan Sertifikat Tahun MAKESTA Jika lupa)
16. Pilih AKTIF jika masih aktif atau pilih ALUMNI jika sudah tidak aktif lagi di IPNU.
17. Jika sedang menjabat sebagai salah satu pengurus di Pimpinan Ranting, Anak Cabang atau Pimpinan Cabang. Jika Menjabat dalam dua kepengurusan pilih jabatan di tingkat yang lebih tinggi.
18. Pilih jabatan sesuai pada tingkatan yang dipilih pada nomor 17.
19. Isikan Keterangan lain tentang keanggotaan dan jabatan di IPNU.
  • Informasi AkunPanduan Pendaftaran Database PASTI IPNU
20. Tuliskan username untuk digunakan login anggota. Username harus berupa huruf dan angka {Tidak boleh ada spasi atau kode (!@#$%^&*)} dan belum digunakan oleh user/anggota yang lain.
21. Tuliskan Password untuk digunakan login anggota.
22. Tulliskan ulang Password sama persis dengan nomor 21.
Note:
  1. Penulisan kata/kalimat menggunakan Capital Each Word (Huruf besar setiap awal kata).
  2. Jika ada permasalahan atau pertanyaan silahkan tinggalkan komentar atau hubungi Admin PASTI Trenggalek (Rekan Imam Muttaqin)
IPNU Trenggalek - Tukang Sol Sepatu dan Seorang Pemuda

IPNU Trenggalek - Cuaca hari ini sangat sangat panas. Mbah sarno terus mengayuh sepeda tuanya menyisir jalan perumahan condong catur demi menyambung hidup. Mbah sarno sudah puluhan tahun berprofesi sebagai tukang sol sepatu keliling. Jika orang lain mungkin berfikir “mau nonton apa saya malam ini?”, mbah sarno cuma bisa berfikir “saya bisa makan atau nggak malam ini?”

Di tengah cuaca panas seperti ini pun terasa sangat sulit baginya untuk mendapatkan pelanggan. Bagi mbah sarno, setiap hari adalah hari kerja. Dimana ada peluang untuk menghasilkan rupiah, disitu dia akan terus berusaha. Hebatnya, beliau adalah orang yang sangat jujur. Meskipun miskin, tak pernah sekalipun ia mengambil hak orang lain.

Jam 11, saat tiba di depan sebuah rumah mewah di ujung gang, diapun akhirnya mendapat pelanggan pertamanya hari ini. Seorang pemuda usia 20 tahunan, terlihat sangat terburu-buru.

Ketika mbah sarno menampal sepatunya yang bolong, ia terus menerus melihat jam. Karena pekerjaan ini sudah digelutinya bertahun-tahun, dalam waktu singkat pun ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.

“Wah cepat sekali. Berapa pak?”

“5000 rupiah mas”

Sang pemuda pun mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompetnya. Mbah sarno jelas kaget dan tentu ia tidak punya uang kembalian sama sekali apalagi sang pemuda ini adalah pelanggan pertamanya hari ini.

“Wah mas gak ada uang pas ya?”

“Nggak ada pak, uang saya tinggal selembar ini, belum dipecah pak”

“Maaf mas, saya nggak punya uang kembalian”

“Waduh repot juga kalo gitu. Ya sudah saya cari dulu sebentar pak ke warung depan”

“Udah mas nggak usah repot-repot. Mas bawa dulu saja. Saya perhatikan mas lagi buru-buru. Lain waktu saja mas kalau kita ketemu lagi.”

“Oh syukurlah kalo gitu. Ya sudah makasih ya pak.”


Jam demi jam berlalu dan tampaknya ini hari yang tidak menguntungkan bagi mbah sarno. Dia cuma mendapatkan 1 pelanggan dan itupun belum membayar. Ia terus menanamkan dalam hatinya, “ikhlas. Insya allah akan dapat gantinya.”

Ketika waktu menunjukkan pukul 3 lebih ia pun menyempatkan diri shalat ashar di masjid depan lapangan bola sekolah. Selesai shalat ia berdoa.

“Ya Allah, izinkan aku mencicipi secuil rezekimu hari ini. Hari ini aku akan terus berusaha, selebihnya adalah kehendakmu.”

Selesai berdoa panjang, ia pun bangkit untuk melanjutkan pekerjaannya.

Ketika ia akan menuju sepedanya, ia kaget karena pemuda yang tadi siang menjadi pelanggannya telah menunggu di samping sepedanya.

“Wah kebetulan kita ketemu disini, pak. Ini bayaran yang tadi siang pak.”

Kali ini pemuda tadi tetap mengeluarkan uang seratus ribuan. Tidak hanya selembar, tapi 5 lembar.

“Loh loh mas? Ini mas belum mecahin uang ya? Maaf mas saya masih belum punya kembalian. Ini juga kok 5 lembar mas. Ini nggak salah ngambil mas?”

“Sudah pak, terima saja. Kembaliannya, sudah saya terima tadi, pak. Hari ini saya tes wawancara. Telat 5 menit saja saya sudah gagal pak. Untung bapak membiarkan saya pergi dulu. Insya allah minggu depan saya berangkat ke prancis pak. Saya mohon doanya pak”

“Tapi ini terlalu banyak mas”

“Saya bayar sol sepatu cuma rp 5000 pak. Sisanya untuk membayar kesuksesan saya hari ini dan keikhlasan bapak hari ini.”

Tuhan punya cara tersendiri dalam menolong hamba-hambanya yang mau berusaha dalam kesulitannya. Dan kita tidak akan pernah tahu kapan pertolongan itu tiba.
Keikhlasan akan dibalas dengan keindahan.