Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja) : Kajian Kesejarahan, Konsepsi dan Penerapan Aswaja dalam Keseharian (Bag-1)

Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja)

Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) pada zaman sekarang diklaim kelompok Asy’ariyyah dan Maturidiyyah serta mazdhab empat saja, mengapa demikian? Padahal, keberadaan dua kelompok serta empat madzhab tersebut tidak pernah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, bahkan imam-imam mazdhab baru lahir jauh setelah periode Nabi Muhammad SAW.Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan kajian yang mengupas tuntas tentang permasalahan ini. Risalah ini sekedar sebagai pengantar memahami hal tersebut.

Berlatar belakang dari sejumlah hadis, diantaranya adalah hadis yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud IV/210, Rasulullah saw. bersabda :

فَإنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ المهديين الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ - رواه أبو داوود

Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelah wafatku, ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegangan dengan sunnahku dan sunah khulafa’ al-rasyidin (khalifah-khalifah atau para pengganti Rasul yang beroleh petunjuk), berpeganglah dengannya dengan kuat dan gigitlah dengan gigi gerahammu. (HR. Abu Dawud)

Dalam Sunan Tirmidzi V/26 juga disebutkan sabda Rasul :
وَإِنَّ بَنِى إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى – رواه الترميذي

Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya, “Siapakah golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Golongan berideologi dengan ajaran yang aku dan sahabatku ajarkan”. (HR. Tirmidzi)

Juga disinggung dalam Sunan Ibnu Majah XI/1322, bahwa Nabi bersabda :
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ . – رواه ابن ماجه

Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada pada genggaman-Nya, sungguh akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Satu golongan masuk sorga, 72 golongan lainnya masuk neraka. Ditanyakan pada beliau : “Siapakah satu golongan yang masuk sorga, ya Rasulullah?” Beliau menjawab :” jama’ah (golongan mayoritas, yakni mereka yang sesuai dengan sunnah para sahabat). (HR. Ibnu Majah)

Dalam Al-Milal wa al-Nihal hlm. 13, disebutkan sebuah hadis, bahwa Rasul bersabda :
سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً النَّاجِيَةُ مِنْهَا وَاحِدَةٌ وَالْبَاقُوْنَ هَلْكَى. قِيْلَ وَمَنْ النَّاجِيَةُ ؟ قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة، قِيْلَ وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّة وَالْجَمَاعَة ؟ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي، الْجَمَاعَةُ الْمُوَافِقُوْنَ لِجَمَاعَةِ الصَّحَابَةِ -رواه ابن ماجه.

Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat satu golongan, dan sisanya binasa. Ditanyakan pada Beliau, “Siapakah golongan yang selamat, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlussunnah wal Jama’ah” Ditanyakan pada Beliau “Siapakah Ahlussunnah wal Jama’ah itu?” Beliau menjawab, “Golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku. Al-Jama’ah adalah mereka yang bersesuaian dengan jejak golongan Sahabat. (HR. Ibnu Majah)

Pada zaman Rasul saw. tidak ada perselisihan diantara para sahabat. Akan tetapi, dengan mukjizatnya, Rasul telah mengetahui bahwa akan ada perpecahan pada masa setelah beliau wafat. Karenanya, beliau menyampaikan peringatan dan menggariskan bahwa golongan yang selamat adalah orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran khulafa’ ar-rasyidin dan golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rosul saw. dan sunah para sahabatnya.

Sepeninggal beliau, pernyataan tersebut terbukti, umat Muhammad saw. mengalami perselisihan. Awal-awalnya dipicu oleh sejumlah sebab, diantaranya. tentang kewafatan Rasulullah saw. Sebagian sahabat berpendapat bahwa Muhammad saw. tidak meninggal, namun diangkat, sebagaimana Nabi Isa as. Namun perselisihan reda ketika Abu Bakar as-Shiddiq tampil dan membacakan firman Allah swt. :
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ - الزمر : 30

Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). (QS. Az-Zumar : 30)

Dan Abu Bakar berseru, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Dan, barangsiapa yang menyembah Tuhan Muhammad, maka sesungguhnya Dia Maha Hidup, tidak akan pernah mati.”

Perselisihan kedua terjadi terkait pemakaman Rasulullah saw. Penduduk Mekah menginginkan Rasul dimakamkan di Mekah, karena merupakan tempat kelahiran beliau. Sementara itu, penduduk Madinah menginginkan beliau dimakamkan di Madinah sebagai tempat hijrah dan tempat tinggal sahabat Anshar. Pihak ketiga menginginkan beliau dimakamkan di Baitul Maqdis karena merupakan makam nenek moyangnya, yakni Nabi Ibrahim as. Perselesaian ini terselesaikan setelah Abu Bakar as-Shiddiq kembali tampil dengan menyitir hadis Rasulullah saw :
إِنَّ الْأَنْبِيَاءُ يُدْفَنُونَ حَيْثُ يُقْبَضُوْنَ

Sesungguhnnya para nabi dimakamkan di mana ia diwafatkan

Akhirnya, Rasulullah saw dimakamkan di ndalem beliau di Madinah.

Perselisihan ketiga terjadi dalam kaitannya dengan imamah (kepemimpinan). Bermula dari kaum Anshar yang membaiat Sa’ad bin ‘Ubadah sebagai khalifah. Begitu kaum Muhajirin mengetahui hal ini, mereka yang dipimpin Abu Bakar, Umar, dan ‘Ubadah, memasuki balai pertemuan kaum Anshar sehingga terjadi perdebatan sengit. Kaum Anshor menginginkan agar masing-masing dari kedua kelompok ini memiliki pimpinan sendiri. Persengketaan selesai setelah Abu Bakar kembali tampil dengan menyampaikan sebuah pernyataan:
نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ

Kami (bangsa Quraisy) yang menjadi pemimpin, dan kalian (golongan Anshar) sebagai menjadi menteri (pembantu). Kepemimpinan di tangan bangsa Quraisy.

Maka kemudian dibaiatlah Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah.

Pada masa kepemimpinan beliau, yang selanjutnya diteruskan oleh Umar bin al-Khaththab belum nampak adanya perselisihan yang berarti di kalangan umat Islam, kecuali sebagian kecil kelompok yang benar-benar menyimpang, seperti kelompok yang menolak membayar zakat, orang-orang yang mengikrarkan dirinya sebagai nabi seperti Musailamah al-Kadzdzab, segerombolan orang-orang yang murtad seperti Thulaihah yang kemudian masuk Islam kembali pada masa kholifah Umar, dan lain-lain.

Sebelum Khalifah Umar wafat karena ditikam Abu Lu’lu’ al-Majusi, beliau sempat merekomendasikan enam orang sahabat yakni Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubadah, untuk menentukan penggantinya. Akhirnya, terpilihlah Utsman bin Affan. Setelah beliau resmi dibai’at sebagai khalifah, muncullah ketidakpuasan dari sebagian golongan. Mereka sengaja memecah belah persatuan umat Islam dengan mengadakan gerakan pemberontakan hingga terjadilah tragedi pembunuhan Khalifah Utsman pada tahun 35 H.

Selanjutnya, Ali bin Abi Thalib tampil sebagai khalifah setelah mendapatkan dukungan bai’at dari penduduk Madinah. Meski demikian, perselisihan yang cikal bakalnya telah ada sejak masa kepemimpinan Utsman, bukan malah mereda, bahkan semakin meruncing. Dalam menyikapi tragedi pembunuhan Utsman, umat Islam terpecah dalam tiga golongan. Golongan pertama, menuntut segera diadakan pengusutan pembunuh Utsman sebelum diadakan pergantian pergantian khalifah. Mereka adalah orang-orang dekat Utsman, diantaranya Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Thalhah, Zubair, Ummul Mu’minin Aisyah dan Amr bin ‘Ash. Golongan kedua, berpendapat bahwa pergantian khalifah harus segera dilaksanakan, setelah itu baru melakukan tindakan pengusutan pembunuh Utsman. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang sependapat dengan beliau. Golongan ketiga, menganggap bahwa pemberontakan yang berujung pada pembunuhan Utsman telah prosedural, sehingga tidak perlu dilaksanakan qishash.

Perseteruan di antara mereka, terutama antara kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kubu Mu’awiyah tidak dapat diselesaikan dengan damai. Akhirnya, meletuslah pertempuran antara kedua kubu hingga menimbulkan banyak korban. Saat kubu Mu’awiyah mulai terdesak, mereka mengajukan tawaran damai dengan mengadakan tahkim (penyelesaian dengan juru hukum) dengan menunjuk wakil dari masing-masing kubu. Pada mulanya, Ali menolak tawaran ini, karena dianggap hanya sebagai siasat belaka. Pendapat ini amat didukung oleh sebagian pengikutnya. Namun atas desakan sejumlah sahabat senior yang bijaksana, akhirnya Ali menerima tawaran tahkim. Kubu Mu’awiyah mengajukan ‘Amr bin ‘Ash sebagai wakil, sementara kubu Ali mengajukan Abu Musa al-Asy’ari, seorang yang terkenal sufi. Namun demikian, tahkim tetap saja tidak menghasilkan sebuah kesepakatan.

Dari latar belakang sejarah ini, lahirlah sejumlah aliran teologi. Pengikut Ali bin Abi Thalib yang tidak menyetujui tahkim akhirnya membelot dan justru mengadakan perlawanan terhadap Ali sekaligus juga Mu’awiyah. Kelompok pembelot ini kemudian dikenal dengan sebutan Khawarij (secara harfiah berarti orang-orang yang keluar atau membelot). Mereka tidak mau menerima fatwa dan riwayat hadis dari Utsman, Mu’awiyah dan para sahabat yang menyetujui tahkim. Para sahabat tersebut dianggap kafir karena menyetujui tahkim, yang menurut Khawarij, termasuk dosa besar. Karenanya, termasuk salah satu ideologi Khawarij adalah bahwa orang yang melakukan dosa besar, atau orang yang tidak segolongan dengan mereka, dianggap kafir. Golongan Khawarij ini selanjutnya terpecah menjadi dua golongan. Masing-masing dari keduanya saling mengkafirkan.

Di sisi lain, terdapat golongan yang sangat fanatik terhadap Ali bin Abi Thalib ra. dengan mendukung dan mengagungkan beliau secara berlebihan. Golongan ini disebut Syi’ah (secara harfiah bermakna pengikut, yakni pengikut Ali). Mereka berkeyakinan bahwa legalitas kepemimpinan Ali berdasarkan nash Al-Qur’an dan wasiat Nabi Muhammd saw. Sedangkan Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman dianggap merampas jabatan itu. Akibatnya, mereka tidak mau menerima hadits ahkam dan fatwa-fatwa dari selain Ali bin Abi Thalib. serta keluarganya. Dengan rasa fanatik berlebihan ini, mereka berkeyakinan bahwa andaikan Ali ra. bersalah atau berbuat dosa, tidaklah mengapa, karena beliau adalah orang yang beriman. Hingga sekarang pun, mereka berkeyakinan bahwa jika orang sudah beriman, tidaklah mengapa melakukan kemaksiatan, sebagaimana pula orang kafir, tidak ada artinya melakukan ibadah, karena mereka belum beriman. Dalam perkembangannya, Syi’ah ini terpecah menjadi lima golongan yaitu Kaisaniyyah, Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghaliyyah dan Isma’iliyyah. (Keterangan selengkapnya mengenai Syi’ah dan Khawarij beserta sekte-sekte sempalan dari keduanya, ada di bagian akhir risalah ini)

Golongan ketiga adalah golongan mayoritas yang kerap disebut Ahlussunnah wal Jamaa’ah. Mereka adalah golongan yang masih memiliki komitmen terhadap sunnah Rasulullah saw. serta semua sahabat tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Semua sahabat memiliki sifat adalah (keadilan). Adapun perseteruan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyah merupakan masalah ijtihadiyyah (interpretable). Jika ijtihadnya benar maka akan mendapatkan dua pahala dan bagi yang salah mendapatkan satu pahala, sebagaimana jaminan dari sebuah hadis :
مَنْ اجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ , فَإِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

Barangsiapa yang berijtihad, dan hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Jika hasil ijtihadnya salah, maka dia mendapatkan satu pahala.

Dalam perkembangannya, terdapat satu lagi golongan yang lahir pada penghujung abad pertama hijriah, yakni Mu’tazilah (secara harfiah bermakna yang menyendiri, hengkang). Bermula dari forum halaqah Hasan al-Bashri, seorang ulama’ besar dari kalangan tabi’in. Salah seorang murid beliau yang bernama Wasil bin Atha’ al-Bashri, mengajukan pertanyaan kepada gurunya itu, mengenai nasib orang-orang yang melakukan dosa besar, yang menurut Khawarij telah divonis kafir, sementara menurut golongan lain masih dianggap orang-orang beriman, akan tetapi “hanya” melakukan dosa besar. “Bagaimana menurut Anda?” demikian Wasil menanyakan pada Hasan al-Bashri. Belum sempat dijawab, Wasil menjawab pertanyaannya sendiri ”Menurut saya, para pelaku dosa besar tidak bisa disebut beriman, tetapi juga dan tidak kafir. Mereka berada pada posisi antara surga dan neraka (manzilatun bainal manzilataini)”. Setelah itu Wasil keluar dari forum halaqah Hasan al-Bashri dan menyendiri (i’tizal) mendirikan kelompok sendiri dan menyebut diri mereka sebagai ahlut tauhid wal adli. Mereka berkeyakinan bahwa seseorang bisa masuk sorga jika beramal. Tanpa amal wajib, seseorang akan masuk sorga.

Bersambung ke - Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja) : Kajian kesejarahan, Konsepsi dan Penerapan Aswaja dalam Keseharian (Bag-2)

-----------------------------
Oleh : H. M. Azizi Hasbullah
Sumber : lbm.lirboyo.net