Kitalah Yang Tahu


Kitalah Yang Tahu

Saya suka memperhatikan mamang tukang sampah yang sering lewat depan rumah. Dia membawa gerobak besar, kosong saat berangkat, dan penuh sesak saat pulang. Gerobak itu baunya minta ampun. Namanya juga sampah, jarang ada yang wanginya. Sepertinya berat sekali mendorong gerobak penuh itu. Mereka ini bekerja sepanjang hari, terus menyisir tong sampah rumah-rumah warga. Hari libur pun masih sering mendorong gerobaknya--saat orang lain sedang santai bersama keluarga. Hujan pun masih mendorong. Terik panas pun masih mendorong.


Perjanjian kerjasama mamang tukang sampah ini dengan ketua RW simpel: ambil semua sampah warga, dan dia dibayar Rp 300.000 saja setiap RT-nya. Jadi kalau pegang 6 RT, hanya Rp 1,8 juta. Mungkin mereka dapat tambahan dari memilah2 sampah, dapat kardus, besi, dsbgnya. Mungkin. Tapi bukan itu poin tulisan ini. Lihatlah, mamang tukang sampah ini terus bekerja serius saat mendorong gerobaknya. Saya tidak pernah melihat mereka tiba2 berhenti, membuka HP, laptop, lantas internetan. Badan mereka kotor, bau, mana ada keren2nya. Dan boleh jadi, saat mereka terlambat sedikit saja mengambil sampah2 itu, mereka merasa bersalah. Sudah dikasih uang, tapi tidak memenuhi janji. Mungkin.

Kasus kedua, orang2 modern saat ini lumrah punya pembantu di rumah. Mau dipanggil Bibi, Mbak, Bude, sama saja posisinya pembantu, helper. Perhatikanlah, mereka2 ini bekerja dari subuh buta sampai malam hari. Sibuk. Mulai dari masak, nyapu, nyuci, ngepel, bahkan plus mengantar anak2 majikan. Mengurus anak2 majikan. Tidak ada libur--kecuali di Hong Kong, negara2 tertentu yg ada UU-nya atau beberapa keluarga yg paham hak libur pembantu. Saat orang2 sudah asyik santai, mereka masih kerja. Orang lain berlibur, cuti, mereka masih kerja.

Perjanjian kerjasama pembantu dengan majikan itu simpel: beresin semua pekerjaan, A, B, C sampai Z, ditambah lagi A1, A2, dsbgnya daftarnya. Dan atas itu mereka digaji paling hanya Rp 600.000 s/d 1 juta (di Indonesia). Tidak ada tambahan lain. Hanya itulah gajinya. Tapi lagi-lagi bukan itu poin penting tulisan ini. Lihatlah, saya rasa hampir semua pembantu bekerja serius saat ngepel, nyuci, masak. Ada sih yang sambil membuka HP, internetan, tapi itu dilakukan di malam hari, di saat2 istirahat, dan masih masuk akal waktunya. Entahlah, mungkin mereka ini merasa bersalah saat pekerjaan tidak beres, merasa grogi saat tidak becus bekerja. Kan nggak enak, sudah dikasih uang, tapi tidak memenuhi janji pekerjaan.

Nah, sekarang mari kita lihat pekerjaan2 lain. Ada PNS, ada karyawan swasta (dengan menyebut dua jenis ini, maka itu berarti hampir semua jenis pekerjaan masuk). Apa perjanjian kerjasama PNS dan karyawan swasta? Kalianlah yang lebih tahu. Masuk kerja jam berapa, pulang kerja jam berapa. Harus bertugas apa, melayani apa, bertanggungjawab apa. Kalianlah yang lebih tahu. Toh kalian yang pegang SK, mengucapkan sumpah jabatan, dsbgnya itu. Bukan saya. Silahkan cek masing2. Berapa gaji yang diperoleh? Kalianlah yang lebih tahu. Nah, yang saya tahu persis, mayoritas pekerjaan ini pasti berpakaian rapi, berpenampilan rapi, dengan ruang kerja yang sebagian besar bahkan lebih dari memadai dibanding mamang tukang sampah, pembantu.

Maka, poin penting tulisan ini adalah, apakah PNS dan karyawan swasta (lagi2 ini berarti semua jenis pekerjaan, di pemerintah ataupun di perusahaan ataupun profesi) merasa bersalah saat pekerjaan tidak beres. Merasa bersalah saat berleha-leha. Merasa bersalah saat main internetan di jam kerja. Merasa bersalah saat tidak ada pekerjaan, padahal mau ada atau mau tidak ada yg dikerjakan, gaji terus jalan. Kalianlah yang lebih tahu. Bahkan, kalianlah yg lebih tahu apakah kalian berkeliaran di page Tere Liye ini saat jam kerja. Padahal jelas2 saya berkali2 melarang sejak bertahun2 silam. Kalianlah yang lebih tahu. Toh itu nurani kalian sendiri.

Semua orang mempunyai pilihan. Ada yang melakukan kekeliruan, salah, 'digebuki' orang sekampung dengan ocehan, dia pikirkan, berubah menjadi lebih baik. Keren sekali. Siapa sih yang tidak membuat kesalahan? Nah, sayangnya, ada yang melakukan kekeliruan, terus menerus, terus menerus, saat diingatkan sekali dua kali, dia memilih justeru membenci orang yang mengingatkan. Amat bencinya, sehingga bersiap 'membalas' saat kesempatan tiba.

Itu adalah nurani milik kita masing-masing. Maka kitalah yang lebih tahu. Sama persisnya, dengan apakah kita bersyukur, apakah mamang sampah tadi bersyukur dgn beban kerjanya yang luar biasa, pembantu2 itu bersyukur dengan gajinya yang amat kecil, mereka jugalah yang paling tahu.

Demikian.