NU “Nunut”, Soekarwo “Katut”

IPNU Trenggalek - Pria tua itu terus memandangi dua potret yang tergantung di dinding rumahnya. Sesekali ia mengelus dada dan menepuk jidatnya, astaghfirullah…kadang terucap lirih dari mulutnya.

” Ada apa toh, mbah. Kok, akhir-akhir ini suka sekali memandang potret Hadlrotus Syaikh dan gus Dur.” tanya santri yang setia melayani

” Gus, gus…Aku ini bingung. Dulu jamane NU ikut politik ..mbah sangat semangat ikut kampanye, rapat agar NU bisa berbicara. Tetapi jam’iyyah malah seperti tak terurus, sekolah, pondok pesantren banyak yang “wujudihi ka adamihi”. Trus… si Durahman menggagas agar NU kembali ke khittah sebagai bentuk keprihatinan akan keadaan jam’iyyah yang tak terurus karena asyik dengan politik maupun karena tekanan dari pemerintahan pak Harto ketika itu.” ujar mbah Kyai

” Si Durahman itu siapa mbah.” tanyanya

” Durahman itu putu dari Hadlrotus Syaikh, anaknya gus Wahid yang jadi menteri agama.” jawab mbah Kyai

” Oohhh gus Dur toh mbah, lha itu kan pernah jadi presiden gara-gara kepencut rayuan poros tengahnya pak Amien.” katanya

” Ya…itu kecelakaan sejarah, Mbah pengin mengingat si Dur itu ketika dia menjadi orang PBNU. Ia yang membebaskan jam’iyyah dari keterikatan politik, sehingga pesantren seperti memiliki semangat untuk bangkit kembali. Dan  pak Harto beserta kodim-kodimnya nggak selalu curiga dengan gerak-gerik pesantren. Semoga almarhum Durahman mendapat tempat disisi Gusti Allah atas jasanya membebaskan dan membangkitkan jam’iyyah NU, kembali ke khittah sebagai jam’iyyah yang dibimbing oleh para ‘alim ulama, baik yang memiliki pondok pesantren maupun yang hanya menjadi kyai kampung. Dan kamu tahu…Gus, Durahman-lah salah seorang yang paling gigih agar jam’iyyah menerima Pancasila sebagai azas tunggal keberadaan organisasi di Republik ini. ” ujar Mbah kyai

” Tetapi ketika pak Harto  lengser dan suasana politik menawarkan segalanya, Durahman lupa. Itu yang Mbah sayangkan, kenapa NU harus memfasilitasi dilahirkannya partai politik. Politik hanya memecah belah jam’iyyah, itu yang dulu dihindari agar jam’iyyah fokus membangun santri, membangun masyarakat tanpa harus terlibat langsung dengan kegiatan politik. Lihat nasib PKB yang memecah-belah ikatan silaturahim keluarga besar mbah Hasyim,  diakui atau tidak. Lihat nasib PKNU dan partai-partai yang didirikan orang NU yang masih ingin bernafsu hidup dalam dunia politik, hidup segan mati tak mau. Partai itu jadi hanya alat tawar menawar kekuasaan, tak lebih. Kini lihat apa yang terjadi menjelang pilgub Jatim.” ujar Mbah Kyai

” Maksud mbah Kyai, Saefullah yang Ansor kembali dibenturkan dengan Khofifah yang Muslimat.” ujar santri

” Hebat juga kamu, ngikut juga berita politik. Lha…Ipul orang NU, si Ifah juga orang NU, masing-masing digunakan oleh orang-orang yang memburu kekuasaan. Apa NU untung ? nggak ! Jam’iyyah malah jadi bahan tertawaan ormas lain. Tuh ! orang-orang NU pada gila kekuasaan. Mbah liat potret Hadlrotus Syaikh, jangan-jangan beliau menitikkan air mata melihat NU jadi rebutan hanya untuk urusan kepentingan dunia. Mbah jadi ingat pesen Kanjeng Nabi SAW; “…nanti ummatku akan bertambah banyak, tetapi kondisinya bagai busa di lautan gampang terombang-ambing dan terpecah-belah”. Bukankah pesen Kanjeng Nabi SAW hampir sama dengan kondisi jam’iyyah kita sekarang ini, buanyak tapi nggak bersatu, buanyak tapi gampang dipecah-belah.” ujar mbah Kyai

” Husnudz-dzon saya terhadap partai politik hampir mencapai titik nol. Lihat yang terjadi di Senayan, bahkan orang partai politik yang mengaku sebagai parpol berazas Islam kelakuannya sama gendengnya dengan mereka yang berasal dari parpol non agama. Lihat yang ditangkepin KPK, tidak sedikit yang mengaku kader muslim. Tentu tidak semua kelakuannya bejad, tetapi yang kelakuannya lurus dan bersih, bisa mbah pastikan mereka tidak akan lama hidup dan bergaul dengan orang-orang parpol. Jadi kalau sekarang jam’iyyah NU dijadikan rebutan oleh orang-orang politik demi memenangkan kursi gubernur Jatim, bukan untuk kepentingan jam’iyyah, bukan untuk kepentingan ummat. Tapi untuk kepentingan KEKUASAAN, tidak lebih.” sambung mbah Kyai

” Tapi kan mbah Kyai, kalau orang NU tidak mau berpolitik, lantas siapa yang bisa menyuarakan kepentingan NU.” ujar santri dengan lirih

” Kepentingan NU itu kepentingan siapa, sepanjang yang dibicarakan itu kepentingan manusia, kepentingan warga negara, kepentingan bangsa, disitulah kepentingan NU. Kalau KPK gencar melawan korupsi, disitu ada kepentingan NU yang sedang diperjuangkan KPK. Kalau anggota dewan dan pemerintah membicarakan bagaimana nasib garam dan petani garam agar bisa dilindungi dari hantaman pasar, disitulah kepentingan NU sedang diperjuangkan. Kalau ada upaya perlindungan dari pemerintah dan jajarannya terhadap mereka yang dizalimi baik karena alasan ekonomi  bahkan alasan keyakinan, maka aspirasi NU sedang diperjuangkan. Asal semua dikerjakan untuk kepentingan kemaslahatan yang lebih luas, disitulah aspirasi NU sedang diperjuangkan.” ujar mbah Kyai

” Kalau elit NU tidak hati-hati, bukan tidak mungkin konflik seperti di Mesir bisa saja terjadi di negeri ini. Dalam skala kecil, jam’iyyah NU di Jawa Timur sedang dipertaruhkan. Sudah pasti para cagub yang bertarung akan berusaha untuk membawa  jam’iyyah NU agar berpihak kepadanya. Si calon A datang ke kyai Anu untuk minta restu sambil  membawa bantuan ke pondok pesantrennya, demikian juga si calon B, C dan D. Semua mendatangi kyai, semua mendatangi pesantren, apakah para calon itu murni memberi bantuan tanpa pamrih, pasti ada maunya. Mbah paham akan dunia politik walaupun sedikit, dalam dunia pulitik, “tak ada makan siang yang gratis.” ucap mbah Kyai

” Maksud mbah, apa yang telah diberikan oleh kaum politisi pasti akan diminta kembali jika perlu berikut bunga-bunganya.” ujar santri

” Ya, itulah dunia politik, dunia yang bisa mencerai-beraikan kesatuan dan persatuan ummat, termasuk jam’iyyah NU.” ujar mbah Kyai

Penulis : Ismail Solichin
Sumber : Kompasiana